Meski dikenal sebagai daerah dengan potensi pertanian yang melimpah dengan lahan seluas 83.833 hektare, Grobogan memiliki potensi besae pada sektor pertaniannya dalam melakukan berbagai inovasi bagi mendukung perekonomian sekitar. Namun Grobogan, Jawa Tengah masih menghadapi masalah pengangguran yang signifikan hingga saat ini.
 Sebagai Kabupaten yang memiliki luas 2.023,85 kilometer persegi dan menduduki oeringkat kedua kabupaten terluas di Jawa Tengah, Grobogan memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya. Luasnya lahan pertanian yang ada di Grobogan merupakan sebuah kelebihan yang tak dimiliki oleh banyak daerah lain. Struktur tanah yang subur juga merupakan anugerah bagi rakyat sekitar dan memungkinkan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman. Sektor Pertanian di Grobogan memberikan kontribusi sekitar 43,6% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten setiap tahunnya, hal menjadikan pertanian merupakan sektor primer yang strategis.
Pengaruh Pertanian Terhadap Perekonomian Grobogan
 Pada tahun 2021, sektor pertanian Grobogan mencatat nilai produksi tanaman pangan mencapai 7,5 triliun rupiah, ini menunjukkan potensi besar dari sektor pertanian di kabupaten Grobogan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pertanian berperan sangat penting sebagai penyangga perekonomian daerah. Produksi padi mencapai 800 ribu ton yang menjadikannya tertinggi di Jawa Tengah dan menduduki peringkat tujuh nasional. Selain itu, produksi jagung juga mencapai 835 ribu ton yang merupakan produksi tertinggi tingkat nasional, sedangkan kedelai dan kacang hijau masing masing diproduksi sebanyak 25 ribu ton dan 30 ribu ton. Angka tersebut mencerminkan kontribusi signifikan sektor pertanian terhadap perekonomian daerah, mengingat Grobogan dikenal sebagai salah satu daerah penghasil pangan utama di Jawa Tengah.
Tantangan Sektor Pertanian di Grobogan
 Ternyata keunggulan dan pemanfaatan tersebut belum cukup untuk menunjang kesejahteraan rakyat di Grobogan. Kemiskinan yang terjadi akibat pengangguran masih menjadi masalah besar bagi pemerintah setempat. Banyak warga grobogan yang masih berpenghasilan rendah bahkan kurang untuk menghidupi keluarga mereka.
 Hal tersebut disebabkan karena banyaknya petani di Grobogan yang masih menggunakan metode manual dalam mengolah lahan pertaniannya, mereka seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh dan menggunakan alat pertanian yang modern. Ini menyebabkan hasil pertanian tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan dan membuka lapangan pekerjaan yang memadai.
 Salah satu faktor lain yang memperburuk angka pengangguran adalah migrasi penduduk yang tinggi ke kota kota besar. Banyaknya warga Grobogan, terutama generasi muda, memilih untuk meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari pekerjaan di kota besar dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih dan kehidupan yang lebih layak. Fenomena ini berdampak pada kekosongan tenaga kerja di desa desa kecil yang akhirnya membuat beberapa orang memilih untuk pengangguran karena mereka menganggap bertahan pada sektor pertanian kurang menguntungkan.
 Kurangnya pendidikan di Grobogan juga menjadi tantangan besar terhadap maraknya pengangguran yang terjadi, di bidang pertanian sendiri, keterampilan dalam mengelola lahan secara efisien atau menarapkan inovasi teknologi pertanian sering kali kurang dimiliki oleh petani lokal. Masyarakat yang tidak memiliki keterampilan lain selain bertani mungkin merasa kesulitan untuk beralih ke sektor lain, terutama dengan rendahnya tingkat pendidikan di Grobogan.
 Selain internal diatas, faktor eksternal seperti perubahan cuaca dan kurangnya dukungan infrastruktur juga menjadi alasan mengapa sebagian besar masyarakat Grobogan enggan untuk bekerja pada sektor pertanian. Perubahan cuaca yang tidak menentu, seperti kekeringan atau banjir, bisa merusak tanaman dan mengurangi hasil pertanian. Walaupun Grobogan memiliki potensi pertanian yang besar, infrastruktur yang memadai untuk mendukung distribusi hasil pertanian dan pengembangan sektor non-pertanian masih terbatas. Pada awal Februari 2024, Grobogan mengalami banjir besar yang menggenangi 32 desa di 12 kecamatan. Hujan lebat dan jebolnya tanggul menyebabkan kerusakan signifikan, dengan lebih dari 2.600 rumah terendam dan 56 hektar lahan pertanian terancam gagal panen. Banjir ini tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga mengancam ketahanan pangan daerah, yang berdampak pada pendapatan petani dan harga pasar produk pertanian. Jalan raya yang rusak, akses ke pasar yang kurang memadai, serta kurangnya fasilitas untuk pengolahan hasil pertanian juga menjadi hambatan bagi petani untuk meningkatkan pendapatan mereka.