"Saat 2017-2019 saya mengunjungi wisata ini, Â keadaan tempat ini tidak begitu. Bahkan ada beberapa warga setempat yang berjualan dan menjadikan wisata ini sebagai sumber pendapatan. Namun sekarang tempat ini di luar bayangan saya tempat ini jadi seperti ini, sangat disayangkan sekali." Ujar Shelvia Pardede
Pada tahun 2017, Mangrove ini berhasil berkembang menjadi salah satu wisata di Langkat yang mampu menarik perhatian para pengunjung dari luar daerah maupun wilayah setempat. Â Dengan harga lima ribu rupiah telah saja para pengunjung dapat menikmati wisata ini. Warga setempatlah yang membuat wisata ini sedemikian menarik dengan membuat menumen bertuliskan eko wisata mangrove lubuk kertang dari bambu dan rute jalan diantara antara tanaman bakau. Rute ini dibuat dari susunan bambu hasil kerjasama pemuda setempat.
Namun, kini Mangrove telah rusak dan tanaman bakau ditebangi oleh mafia penebang bakau liar  dan kehilangan dalam luasan lahan yang berhasil dihijaukan itu, setidaknya telah menaman 3.000.683 batang tanaman Ryzophora (bakau). Tapi, perambah atau mafia tak pernah berhenti mencuri batang mangrove untuk bahan baku arang. Sejak tahun 2020 hingga kini, aktivitas perambahan mangrove di kawasan itu kian meraja rela.
Sudah 1.200 hektar rusak karena ulah mafia dan penebangan liar, petani tanam 10 ribu Mangrove di Desa Lubuk Kertang. Harapan petani agar Mangrove dapat menjadi wisata kembali seperti semula hingga warga setempat dapat menjadikan wisata ini sebagai sumber pendapatan dengan berjualan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H