Hari itu, masih terlalu awal bagi saya untuk meninggalkan kantor. Walaupun sudah hampir jam setengah enam sore, tapi biasanya saya memilih waktu sehabis Maghrib untuk pulang ke rumah. Klise, biar bisa khusyu' maghriban dulu di kantor dan selain itu jalanan sudah bebas dari macet jam pulang kantor.
Tapi hari itu Senin, dan saya puasa. Entah kenapa, walaupun dengan perasaan yang ndak enak, saya tetap bergegas membereskan meja kerja saya. Mungkin karena saya pikir, lagi ndak pengen makan apa-apa. Buka se-ketemunya ajah di rumah. Ketemu teh anget, ya teh anget. Ketemu mi instan, ya mi instan.
Biasanya, saya adalah orang yang paling mengikuti feeling. Baru-baru ajah sih. Mencoba melatih indera ke-6. Ndak juga sih. Cuman sering kejadian kalau ada hati sudah bilang : 'ndak' atau 'jangan' , ndak kita hiraukan jadinya malah bener. Sering kecewa. Sugesti ya? tapi semenjak itu saya belajar untuk mengikuti kata hati. Tapi hari itu ndak tau, mungkin karena paginya saya sudah dapat omelan dan makian dari customer yang datang marah-marah ke kantor.  Alhasil, seharian itu bawaan hati saya ndak enak. Jadinya ndak kerasan di kantor. Dan kalo lagi ndak enak gitu, pelipur lara saya cuman satu. Tidur.
Bener saja feeling saya. Baru beberapa meter dari kantor, pas berhenti di lampu merah. Lampu masih hijau ketika saya pelan-pelan maju. Di depan saya jelas rapat ada mobil X-Over warna putih yang nasibnya seperti saya. Terjebak di tengan traffic light karena macet dari arah kanan yang sebelumnya. Baru ajah macet di depan saya mulai membuka jalan, X-Over maju, saya pun ikut maju, sambil kaki kanan saya berjaga di rem. Karena saya belok kanan, pandangan saya fokus ke kanan. Masih ada truk tronton besar disamping kanan saya yang menerobos lampu merah dan terjebak di tengah. Tiba-tiba dari sebelah kiri depan, Bruk!!! Sepeda motor berhenti tepat di depan mobil saya sebelah kiri ujung. Pengemudinya mau narik gas, tapi begitu dilihatnya saya, pengemudinya cewek, langsung dia pasang muka marah.
Kesel.
Paling kesel kalo ada sesama pengemudi ngeremehin pengemudi cewek.
Dengan muka marah dia melambai-lambai nyuruh saya minggir. Ndak tahu lagi sudah bunyi klakson bersahut-sahutan lihat kami berdua saling pelotot-pelototan. Iya, saya ndak takut sama yang namanya lelaki kayak begitu mah. Semena-mena ma cewek. Saya pasang wajah murka.
Begitu minggir, saya buka kaca mobil sebelah kiri. dia dengan arogannya langsung nopang tangan di situ. Laki-laki, awal usia 30-an kayaknya. Jelek, ndak terawat. Seperti pekerja kasar atau sales yang wajahnya sering terkena debu dan sinar matahari.
"gimana nih mbak urusannya?" tanyanya dengan suara pura-pura marah.
Yaiya pura-pura marah. Orang situ tadi dah mau lari eh, kok begitu yang dilihat yang nyetir cewek kok langsung mau bikin perhitungan. Dipikirnya takut apa.
"yah kita ke kantor polisi ajah..." jawabku enteng. Liat matanya.