Mohon tunggu...
Shella Elvina
Shella Elvina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Halo! Saya Mahasiswa program studi ilmu komunikasi, artikel-artikel yang saya tuliskan disini masih dalam seputar ranah ilmu komunikasi. Semoga artikel ini dapat membantu anda menambah pengetahuan nantinya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inovasi Sektor Kuliner dalam Pemanfaatan Makanan Khas Daerah untuk Meningkatkan Industri Kreatif di Yogyakarta

22 Desember 2020   09:13 Diperbarui: 22 Desember 2020   09:43 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : m.omiyago.com )

Dan agar industri kreatif tetap lanjut dan berkembang, pemerintah pun mengadakan Pekan Produk Kreatif dan juga Pameran Ekonomi Kreatif yang diadakan setiap tahunnya, selain itu Indonesia juga turun tangan dalam laju perkembangan dan persaingan bisnis dengan adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 

Perkembangan ini berlanjut hingga sekarang dan memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat Indonesia, yaitu lapangan kerja yang semakin tersedia sehingga dapat menurunkan angka pengangguran di Indonesia, membantu mewujudkan masyarakat yang kreatif serta cepat tanggap hingga mampu berkompetisi di dunia bisnis yang memiliki banyak tuntutan, serta meningkatkan pemikiran yang inovatif terhadap berbagai kalangan dan juga sektor. 

Industri kreatif yang berkembang di Indonesia terbagi menjadi 15 subsektor, namun pada rencana pengembangan ekonomi kreatif 2015-2019, 15 subsektor tersebut kemudian dipecah menjadi 18 subsektor, yang meliputi (1) animasi, (2) arsitektur, (3) desain, (4) fotografi, (5) musik, (6) kerajinan, (7) kuliner, (8) mode, (9) penelitian dan pengembangan, (10) penerbitan, (11) perfilman, (12) periklanan, (13) permainan interaktif, (14) semi pertunjukan, (15) seni rupa, (16) teknologi informasi, (17) televisi dan radio, (18) video. Di antara kedelapan belas subsektor tersebut, sektor kuliner yang memberikan kontribusi sebesar 41% dari total pendapatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif pada tahun 2017 lalu. Berbagai inovasi yang dituangkan dalam bentuk kuliner khas dari Indonesia sebagai salah satu kontribusi ekonomi kreatif, yang kemudian menjadikan sektor ini sebagai penopang ekonomi di Indonesia. 

(sumber : .tangkapan layar dari ecommerce )
(sumber : .tangkapan layar dari ecommerce )

Salah satu wujud produk dari ekonomi kreatif sektor kuliner adalah gudeg kaleng khas Yogyakarta. Terciptanya inovasi gudeg kaleng ini, mewujudkan kemudahan serta efisiensi dalam mengkonsumsi gudeg. Gudeg biasanya hanya dapat dikonsumsi hingga maksimal 2 hari, padahal tidak sedikit wisatawan yang ingin membawa gudeg sebagai buah tangan untuk kerabat atau temannya di kota asal. Gudeg kaleng ini muncul pada tahun 2011, dan pencetus dari gudeg kaleng ini adalah gudeg Bu Tjitro. 

Dalam pengolahan gudeg kaleng ini, Bu Tjitro bekerjasama dengan Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia agar hasil dari gudeg kaleng lebih awet karena dapat bertahan sampai lebih lama serta lebih higienis. Sejak munculnya produk ini, gudeg kaleng menjadi populer di kalangan masyarakat Yogyakarta dengan ciri khasnya yang kering tetapi sama sekali tidak mengubah rasa aslinya. 

Kemudian mulai muncul beberapa merek-merek gudeg yang lain seiring dengan meluasnya pemasaran gudeg kaleng ini. Bahkan tak hanya populer di kota Yogyakarta, gudeg kaleng juga populer bahkan di ekspor ke mancanegara, seperti Inggris, Belanda, dan Australia. Jangan khawatir dengan isian dari gudeg kaleng ini, karena didalamnya terdapat isian yang sama dengan gudeg basah pada umumnya, yang berupa ayam, telur, gudeg, dan areh. 

Namun,  seiring berjalannya waktu muncul juga inovasi baru yaitu varian gudeg vegetarian, yang isiannya tanpa ayam dan telur. Perkembangan inovasi terhadap gudeg kaleng semakin meluas yang dilihat dari munculnya gudeg kaleng dengan berbagai varian rasa, ada yang manis, asin, pedas, bahkan rasa rendang. Gudeg kaleng sekarang tidak hanya dapat ditemui di sentra gudeg di Yogyakarta saja, namun sudah mulai merambah pada pasar modern atau swalayan juga toko oleh-oleh yang ada di Yogyakarta dan tentunya merambah pada pemasaran secara daring sehingga jangkauannya lebih luas. 

Tidak hanya gudeg yang berinovasi menjadi  lebih modern, tetapi juga bakpia. Serasa belum berkunjung ke Yogyakarta apabila belum berkunjung ke sentra bakpia di Yogyakarta tepatnya di daerah Pathok, Yogyakarta. Jika pernah mendengar Bakpia Pathok, memang dalam perkembangannya, daerah Pathok menjadi sektor yang ramai produsen. Bakpia merupakan makanan hasil dari akulturasi budaya. Awalnya bakpia merupakan kudapan Cina, tetapi malah menjadi ikon Yogyakarta.

Bakpia dibawa dari Negeri Tirai Bambu ini oleh Kwik Sun Kwok. Ia menyewa sebidang tanah milik pribumi untuk berjualan bakpia. Bakpia merupakan kue bulat agak pipih dengan isian. Bakpia berasal dari bahasa Hokkian dengan nama asli Tou Luk Pia. Bak merupakan bahasa Tiongkok yang berarti daging babi, jadi secara harfiah sebenarnya bakpia adalah kue berisi daging babi. 

Namun, dikarenakan rakyat Indonesia tidak semuanya diperbolehkan mengonsumsi daging tersebut, isian bakpia diganti dengan kacang hijau.  Lambat laun masyarakat mulai mengenal kudapan ini dan banyak yang tertarik dan cocok dengan rasanya. Varian rasa bakpia pun berinovasi semakin beragam seiring dengan zaman, mulai dari coklat, keju, ubi ungu, kumbu hitam, dan sekarang ada yang rasa teh hijau, nanas, nangka, dan masih banyak lagi. Selain berkembang dalam varian rasa, bakpia juga berkembang dalam varian jenis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun