Suatu pengembangan kota/wilayah sangat bergantung pada lingkup ekonomi, hal ini dikarenakan perekonomian merupakan faktor penentu dan pemicu terjadinya suatu pengembangan wilayah. Maka pembangunan membutuhkan dana untuk berkembang. Sumber dari dana-dana tersebut bisa didapatkan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan investor swasta/asing.Â
Indonesia adalah negara yang baru menjadi negara berpenghasilan menengah (middle income country) dan perlu waspada akan jebakan pendapatan menengah. Jebakan Pendapatan Menengah adalah istilah yang  digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan suatu negara untuk meningkat dari statusnya sebagai negara berpendapatan menengah menjadi negara maju.Â
Selain itu, suatu negara bisa terperangkap dikarenakan tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki tingkat upah rendah dalam memproduksi barang ekspor dan tidak mampu bersaing dengan negara maju menghasilkan produk dengan inovasi dan teknologi tinggi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, diperlukan investasi yang cukup besar. Maka pemerintah harus pintar dalam mengelola anggaran dan pemfokusan pada sektor/bidang yang berpotensi menaikan ekonomi, seperti contohnya pembangunan infrastruktur yang merata sehingga muncul keintegrasian.Â
Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan operasional rumah tangganya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah karena adanya keterkaitan dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda pemerintahan daerah (Rozali Abdullah, 2002).Â
Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah sebagai pemasukan dana daerah. Obligasi Daerah (Municipal Bond) adalah salah satu bentuk pinjaman biaya (surat utang) daerah yang memiliki waktu rentang jangka menengah dan jangka panjang yang bersumber dari masyarakat.Â
Secara umum obligasi daerah diterbitkan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Penerbitan obligasi daerah hanya dapat dilakukan di pasar domestik dalam mata uang rupiah dan hanya dapat dilakukan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.Â
Regulasi yang mengatur Obligasi Daerah menyatu dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan aturan teknisnya terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Sedangkan untuk kelembagaannya yaitu; Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek maupun Pemerintah Daerah, termasuk DPRD.Â
Obligasi merupakan salah satu instrumen yang diperdagangkan di pasar modal serta menjadi alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan dan pemerintah. Sebuah negara / wilayah membutuhkan pasar obligasi yang baik dan berkembang guna meningkatkan ketersediaan modal. Adanya pasar obligasi kuat di dalam negara / wilayah dapat mengurangi ketergantungan pada modal asing dan memperkuat daya tahan sistem suatu negara / wilayah. Manfaat dari obligasi ini juga akan dirasakan sendiri oleh masyarakatnya terutama pada pembangunan infrastruktur.
Dengan adanya obligasi daerah, wilayah tersebut akan menjadi terbangun karena adanya sumber dana untuk segala macam pelaksanaan proyek pembangunan di wilayah tersebut. Masyarakat berperan sebagai investor yang membiayai proyek pembangunan daerah dengan cara memberikan keuntungan di awal atau akhir investasi.Â
Dalam kegiatan berinvestasi terdapat beberapa alternatif lain yang dapat dilakukan masyarakat yaitu bisa berupa membeli tanah atau bangunan, menabung, dan membeli surat-surat berharga atau saham. Masyarakat akan merasakan manfaat dari penerbitan obligasi daerah sendiri, dengan memberikan peran pada masyarakat dalam pembangunan akan memberikan peningkatan rasa partisipatif masyarakat sehingga dengan aktif dapat mengawasi arah pembangunan daerahnya.Â
Namun pada kenyataannya pengupayaan obligasi daerah tidak maksimal dan masih banyak daerah yang belum memahami upaya penerbitan obligasi daerah secara komprehensif sehingga tidak siap melakukan skema pembiayaan ini. Pemahaman terkait obligasi daerah yang lengkap wajib dimiliki baik oleh kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maupun para pemangku kepentingan lain. Sehingga banyak daerah di Indonesia yang dianggap tidak siap untuk menerbitkan obligasi daerahnya.Â
Banyak pemerintah daerah yang masih belum memenuhi syarat-syarat yang diperlukan dalam menerbitkan obligasi daerah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut maka pemerintah harus lebih aktif turun tangan dalam mengajak masyarakat (investor) dalam mengeluarkan penerbitan obligasi daerah. Diperlukan adanya lembaga-lembaga pendukung untuk membantu penerbitan obligasi daerah di pasar modal serta pengawasan manajemen finansial di pemerintah daerah tersebut.Â
Namun di dalam obligasi daerah terdapat beberapa resiko yang kemungkinan muncul dalam berinvestasi. Resiko-resiko tersebut yaitu; hambatan dari regulasi sendiri, kurangnya kesiapan dari pemerintah daerah, minimnya inovasi dari daerah tersebut, persaingan terhadap daerah lain, korupsi daerah, dan yang terakhir yakni resiko adanya gagal bayar (default). Untuk permasalahan regulasi, terdapat hambatan dalam menerbitkan obligasi daerah tersebut di pasar modal.Â
Terdapat hambatan pada kewajiban audit keuangan daerah oleh akuntan publik, sinkronisasi peraturan tentang obligasi daerah dan peraturan yang berlaku di bidang pasar modal, penjaminan dan  penerbitan obligasi daerah yang panjang alurnya serta cukup banyak persyaratanya. Hal-hal tersebut ini menyebabkan adanya hambatan regulasi dalam menerbitkan obligasi daerah di pasar modal. Kesiapan pemerintah merupakan modal awal tercapainya maksud dan tujuan diterbitkannya obligasi daerah, maupun bagi pemangku kepentingan yang lain.Â
Untuk permasalahan kesiapan PemDa sendiri, rendahnya pemahaman pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif  tentang obligasi daerah menyebabkan banyaknya daerah yang tidak menggunakan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan daerah. Rendahnya pemahaman pada fungsi penerbitan obligasi daerah juga berimbas pada permasalahan persetujuan legislatif (DPRD). Persetujuan tersebut penting dikarenakan dalam APBD harus menyisihkan anggaran sebagai dana talangan untuk membayar bunga kepada pemegang obligasi (investor) selama proyek belum menghasilkan pendapatan.Â
Dalam masalah minimnya inovasi daerah, banyaknya daerah yang menghindari resiko obligasi menyebabkan pertumbuhan Penghasilan Asli Daerah (PAD) menurun dan hal ini akan berdampak pada rendahnya rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman. Dalam hal persaingan obligasi daerah hanya cocok diterapkan pada daerah yang dapat dikatakan stabil secara finansial, namun untuk daerah yang keuangannya minim lebih baik tidak mengeluarkan obligasi.Â
Untuk masalah korupsi daerah, tingginya angka korupsi ini menjadi resiko karena dapat mengakibatkan kegagalan investasi akibat infrastruktur yang dibelanjakan tidak sesuai rencana dan menurunkan image pemerintahan daerah tersebut dan menurunkan kepercayaan investor. Untuk resiko terakhir yakni gagal bayar, risiko gagal bayar adalah suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.Â
Semakin tinggi kupon bunga yang ditawarkan, maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung oleh investornya. Pemerintah dalam menanggulangi resiko tersebut dapat memperbaiki regulasi dan pengawasan ketat dalam pengelolaan dana di daerah-daerah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H