Mohon tunggu...
Shela Rahmadhani
Shela Rahmadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis artikel politik dan ideologi

Alumni universitas Gadjah mada yang hari ini berkonsentrasi dalam memperhatikan isu politik

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Saat Masalah Perumahan Makin Menyulitkan

8 Desember 2023   17:44 Diperbarui: 8 Desember 2023   19:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah adalah sebuah kebutuhan vital bagi satuan unit keluarga. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Berdasarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada 12,7 juta orang di Indonesia yang tak memiliki rumah per 2021 lalu (liputan6.com, 30/08/2023). Data menunjukkan tingkat backlog yang tinggi yang dan menunjukkan tingkat permintaan akan rumah tidak sebanding dengan ketersediaan. Adanya backlog yang tinggi juga mendorong terjadinya kenaikan harga rumah dan semakin mempersulit rumah tangga untuk memiliki rumah.

Padahal negara melalui UU no. 1 tahun 2011 telah menyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman bagi penduduk baik melalui Kebijakan Startegis Nasional (KSN) di bidang perumahan dan pemukiman, dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan (RP3KP) tingkat provinsi dan daerah. KSN dan RP3KP diharapkan dapat menjadi panduan proses pengadaan pemukiman layak huni dan dapat menekan angka rumah tangga yang tidak memiliki rumah. Namun, permasalahan perumahan belum dapat teratasi.

Berbeda dengan negara lain misal seperti Jepang justru mengalami kelebihan perumahan bahkan hingga lebih dari 10 juta rumah di Jepang tidak memiliki penghuni (dunia.tempo.co, 17/02/2023). Indonesia dan Jepang adalah dua kondisi yang saling berseberangan dimana satu negara kekurangan belasan juta rumah sementara yang lain sebaliknya kelebihan hampir belasan juta rumah.
Tentu ketimpangan ini membutuhkan penataan yang teliti dan perencanaan yang serius dan berorientasi pada masyarakat.

Permasalahan perumahan tentu bukan permasalahan yang berdiri sendiri. Melainkan masalah perumahan adalah masalah multidimensi yang terakumulasi. Faktor terjadi nya backlog diantaranya lonjakan penduduk, lahan yang berkurang, peraturan perundang-undangan, dan tata ruang. Lonjakan penduduk dapat mempengaruhi permintaan akan perumahan, sedangkan lahan yang terbatas menjadikan pembangun perumahan tak bisa dilaksanakan. Peraturan perundangan dan tata ruang yang bergantung pada hadirnya swasta sebagai pengembang menjadikan urusan berorientasi bisnis semata. Perumahan menjadi komoditi yang strategis dalam bursa efek terutama properti yang bernilai fantastis semisal hunian mewah, hotel, atau apartemen

Namun, mengapa negara lemah dalam menyelenggarakan pembangunan perumahan dan infrastruktur lainnya demikian pula pengembang mengapa tidak memiliki performa ??

Kondisi tersebut berpangkal dari ekonomi global yang berpijak pada sistem ekonomi kapitalisme sehingga pembangunan sektor riil secara umum lesu. Setidaknya ada 3 alasan  sebagaimana Triono, 2016 dalam Buku Ekonomi Pasar Syariah menyebutkan. Ketiga faktor tersebut adalah yakni lembaga perbankan, pasar modal, dan pasar sekunder, maupun pasar derivatif nya. Pertama, lembaga perbankan wajib menahan sejumlah dana yang berasal dari sektor rumah tangga dan menumpuknya di bank sentral. 

Hal tersebut dikenal dengan persen loan to deposit ratio (LDR). Kerangka seperti ini akhirnya berefek terhadap sektor riil karena ada dana menganggur di bank sentral dan pembangunan tak terlaksana. Kedua, keberadaan pasar modal yang spekulan menjadikan dana investasi justru tertahan untuk menciptakan spekulasi-spekulasi bukan untuk disalurkan ke sektor riil. Demikian juga pasar sekunder yang yang menyebabkan aliran capital gain hanya menggelembung nilainya namun hampir tidak mengalir ke sektor riil. Para investor hanya berkutat pada membeli dan menjual saham ketika kondisi suatu perusahaan berpontensi menguntungkan atau tidak.

Kementerian Keuangan Sri Mulyani misalnya mengatakan akan menggelontorkan anggaran sebesar Rp3,2 triliun untuk memberikan insentif kepada sektor perumahan berupa pembebasan pajak dan bantuan biaya administratif. Suatu suntikan yang besar walaupun kurang memadai. Terlebih jika dibandingkan dengan dana yang bergerak di sektor non-riil, Rp3,2 T merupakan dana yang cukup kecil untuk mendukung pembangunan perumahan.

Negara wajib menyediakan perumahan yang terjangkau dan layak bagi masyarakat terlepas hal tersebut memberi keuntungan kepada negara atau tidak. Urusan pemenuhan rumah sangat bergantung bagaimana proses penataan negara berjalan dengan baik.  Sistem ekonomi yang berlandaskan pada liberalisme yang kapitalistik tidak dapat menjadi pijakan untuk menuntaskan permasalahan perumahan. Negara harus menata sistem ekonomi yang menyentuh sektor riil dan berprinsip pada kemandirian ekonomi. Dengan demikian masyarakat akan lebih merasakan dampak pembangunan meskipun di tengah aliran ekonomi yang bermasalah.

Oleh : Shela Rahmadhani, S. Pt
(Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun