Sektor pariwisata di Indonesia tumbuh dengan pesat dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan pendapatan daerah. Selama ini pengukuran keberhasilan sektor pariwisata dilihat hanya dari perolehan devisa negara, padahal banyak indikator keberhasilan lainnya yang patut untuk diketahui.
Banyak negara termasuk Indonesia mulai mengembangkan pariwisata jenis ekowisata ini agar lebih sustainable. Dalam pengembangannya, ekowisata diatur dalam UU RI No. 9 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Lantas apa yang membedakan ekowisata dengan pariwisata jenis lainnya?
Apa itu Ekowisata?
Ekowisata sendiri merupakan suatu konsep pembangunan pariwisata yang bertujuan dalam mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat terkait pengelolaannya, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat lokal.
Sering kali ekowisata hanya diketahui sebatas perlindungan atau konservasi dan pelestarian lingkungan alam. Nyatanya konsep dari praktik ekowisata tidak hanya sependek itu. Damanik dan Weber (2006) menyebutkan empat ciri-ciri utama yang dapat membedakan bentuk dari ekowisata.
Pertama, praktik kegiatan ekowisata harus lebih ditonjolkan pada konservasi lingkungan.
Kedua, memberikan insight kepada wisatawan terkait dalam menghargai dan melestarikan budaya lokal maupun lingkungan hidup.
Ketiga, daya tarik wisata yang ditawarkan adalah berbasis alam.
Keempat, perlunya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan ekowisata dalam daerahnya.
Dalam kata lain, ekowisata tidak hanya berbasis pada lingkungan alam saja, namun pelestarian budaya lokal dan besar partisipasi masyarakat lokal juga harus diperhatikan.
Sehingga, ekowisata (TIES, 2015) adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat lokal, melibatkan interpretasi, dan pendidikan.
Konsep Utama Ekowisata
David dan Weaver (2008) menyebutkan ekowisata memiliki lima konsep utama, yaitu berbasis alam, keberlanjutan konservasi, sustainable manusia dalam bentuk partisipasi, pembelajaran dan pendidikan, serta keharusan etis.
Praktik ekowisata masuk dalam konsep ecological, dimana bentuk tanggung jawab terhadap kegiatan pariwisatanya semakin besar. Ekowisata harus dapat mengurangi dampak minimal terhadap lingkungan, memberikan penghormatan maksimal kepada budaya lokal, menghasilkan keuntungan ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat lokal, serta kepuasan rekreasional bagi wisatawan yang terlibat.
Ekowisata juga dapat menjadi sarana kegiatan edukasi untuk wisatawan dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan dan pelestarian lingkungan alamnya.
Kacamata Ekowisata di Indonesia
Indonesian Ecotourism Network (1996:1) ditinjau dari sisi pengelolaannya, ekowisata sebagai kegiatan wisata yang bertanggung jawan di daerah alami dan/atau daerah yang terbuat sesuai prinsip alam, yang secara ekonomi berkelanjutan, dan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam, serta meningkatkan kejehahteraan masyarakat setempat.
Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa Indonesia menghendaki bahwa sektor pariwisata juga harus menyuarakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Menurut I Nyoman Sukma Arida (2017) kebijakan pariwisata yang selama ini hanya berorientasi pada jumlah kunjungan wisatawan, dinilai mengancam keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia. Mulai dari berkembangnya gaya hidup dan kesadaran lebih dalam nilai-nilai hubungan manusia, pariwisata, dan alam menghasilkan satu produk wisata baru yang lebih berorientasi pada budaya lokal dan kelestarian lingkungan alam.
Dengan begitu, sebagai negara dengan kekayaan SDA yang melimpah, Indonesia kini mampu bersaing dan memiliki kesempatan yang terbuka lebar dalam strategi perencanaan pengembangan ekowisata.
Tidak hanya terbatas pada praktik “ekowisata” saja, Indonesia memiliki kategori pengelolaan ekowisata, seperti kawasan cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, kawasan lindung, dan ekowisata bahari.
Hal tersebut dilakukan demi penjagaan dan pelestarian ekowisata di Indonesia terjamin sustainable nya. Bentuk konservasi lingkungan memiliki banyak pertimbangan penting dalam keberlangsungan ekowisata, seperti faktor ekonomi dalam pengelolaan supply air, mitigasi, dan penjagaan keadaan lingkungan.
Disisi lain, bentuk partisipasi masyarakat yang kurang paham dalam konsep konservasi alam menjadi salah satu hambatan praktik ekowisata di Indonesia. Gunardi Djoko dan Sugeng Prayitno dalam bukunya berjudul Ekowisata (2017) menyebutkan bahwa perencanaan pada berbagai level sangat penting guna mencapai kesuksesan pembangunan dan pengelolaan ekowisata.
Daya dukung ekowisata juga menjadi perhatian oleh pemerintah Indonesia dalam perencanaan pengembangan ekowisata. Perhitungan jumlah wisatawan dengan bentang luas konservasi SDA diharuskan dapat menghasilkan kepuasan wisatawan yang berkualitas (kaitannya dengan edukasi).
Seringkali praktik ekowisata di Indonesia telah memenuhi prinsip-prinsip ekologi, namun nyatanya beberapa masih belum memahami arti ekowisata secara keseluruhan. Penentuan lokasi dari daya dukung ekowisata menjadi variabel dalam perhitungan apakah suatu ekowisata mampu mengurangi dampak pada daerah lainnya.
Potensi Hutan Selelos, Lombok Utara sebagai Kawasan Ekowisata
Hutan Selelos terletak di Desa Selelos, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara menyimpan keanekaragaman hayati dan atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai potensi ekowisata di Indonesia.
Pencegahan dan pemanfaatan Hutan Selelos harus segera dilakukan untuk mencegah alih fungsi lahan menjadi perkebunan/pertanian. Namun hal ini juga dapat menjadikan atraksi wisata baru dengan sarana edukasi kepada wisatawan mengenai berkebun yang baik.
Terlihat dari kondisi eksisting Hutan Selelos yang masih terjaga keasliannya menjadikan daerah tersebut memiliki banyak objek yang berpotensi menjadi atraksi wisata seperti sumber mata air dan air terjun.
Beberapa air terjun (tiu) juga sudah dibuka menjadi atraksi wisata, seperti tiu saong dan mata air Medjet. Didukung dengan tradisi yang masih terjaga, eksistensi hutan adat Bebekeq juga menjadi salah satu faktor budaya lokal yang dapat menyokong perkembangan ekowisata di Hutan Selelos ini.
Selain itu, keberadaan Pokdarwis di Desa Selelos juga telah terbentuk demi memberikan kontribusi pada lapisan masyarakat.
Didukung dengan keberagaman flora dan fauna yang berkembang di Hutan Selelos menjadikan poin unggul dalam potensi pengembangan ekowisata di Lombok Utara.
Karena keaslian Hutan Selelos yang masih sangat terjaga dan banyak objek yang berpotensi menjadi atraksi wisata, maka Hutan Selelos cocok untuk dijadikan pengembangan kawasan ekowisata baru di Indonesia.
Karena letak Hutan Selelos ada pada Desa Selelos, maka hal ini dapat menjadi tombak sustainable tourism di Lombok Utara dengan menjadikannya sebagai ekowisata berbasis CBT (Community Based Tourism) yang baik.
Dari hal-hal diatas, perkembangan ekowisata di Indonesia memiliki variabel dan nilai lebih menguntungkan menjadi sustainable tourism. Terlebih lagi jika dalam pengelolaan ekowisata yang berlangsung menjunjung tinggi tingkat partisipasi masyarakat melalui Community Based Tourism, maka sektor pariwisata di Indonesia diharapkan mampu bersaing secara unggul di mata dunia dan menjadikannya sebagai destinasi berjangka waktu yang panjang.
I Nyoman Sukma Arida. 2017. Pengembangan, Partisipasi Lokal, dan Tantangan Ekowisata. Bali: Cakra Press.
Kuswara, R. D., & Nurmiati, N. (2020). Potensi Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Hutan Selelos Kabupaten Lombok Utara. Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi, 8(2), 187-204.
Pandung, M. A., & Arida, I. N. S. 2017. Praktik Ekowisata Di Kampung Waerebo Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(1), 78-83.
Winarno, G. D., & Harianto, S. P. 2017. Buku Ajar Ekowisata. Bandarlampung: Pusaka Media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H