Judul Buku: Ikan Adalah Pertama
Judul Asli: 오래된 것들을 생각할 때에는 (Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno)
Pengarang: Ko Hyeong Ryeol
Penerjemah: Kim Young Soo & Nenden Lilis Aisyah
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Tahun Terbit: 2023
Tebal: 259 + xxiii halaman.
Ikan Adalah Pertapa, buku ini mengajak pembaca untuk merenungi arti kehidupan. Seperti ikan yang berenang menyelami jauh ke dalam lautan, puisi-puisi yang dituliskan dalam buku ini membawa pembaca menyadari akan berbagai fenomena rasa yang pernah hadir dalam kehidupan. Proses pendewasaan yang begitu mencekik, mencari jati diri yang sulit dikenali, saat-saat kehilangan yang menyesatkan, hingga kebingungan parah dalam menetapkan tujuan hidup, dan berbagai fenomena rasa lainnya hadir kembali menyapa saat membaca puisi-puisi dalam buku ini.
Ko Hyeong Ryeol seorang penyair Korea modern yang lahir setahun setelah Perang Korea (1954) ini menuliskan puisi yang memancarkan energi kasih sayang dan kehangatan berdasar pada sudut pandangnya sendiri terhadap dunia. Tidak sebagai seseorang yang mengamati dari jauh, melainkan berperan bagai tetangga dekat yang merenungkan berbagai hal seolah-olah mereka merupakan bagian langsung dari hidupnya. Ko sering menggambarkan dunia sebagai penuh kesedihan dan penderitaan, tetapi di sisi lain juga secara bersamaan puisinya mengungkapkan kehidupan dengan kasih sayang dan pengertian (1).
Buku ini merupakan kumpulan puisi dwi bahasa (Korea-Indonesia) yang memuat 60 buah puisi yang diseleksi dari antologi dalam bahasa Korea yang berjudul Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno karya penyair modern kenamaan dari Korea Selatan, Ko Hyeong Ryeol (2).
Antologi puisi karya Ko ini banyak menggunakan tanda-tanda atau diksi yang memiliki makna konotasi yang tersembunyi, beberapa kata yang ditulis bukanlah makna leksikal atau makna sebenarnya. Tidak hanya sekadar kepentingan estetika, tanda-tanda tersebut hadir untuk membuat pembaca lebih terbawa hanyut ke dalam atmosfer renungan yang diciptakan oleh Ko. Berikut salah satu kutipan puisi Ko dalam antologi puisi Ikan Adalah Pertapa yang menggunakan tanda:
Batu ingin menjadi awan sebab terlalu lama berdiam diri di padang rumput/
Meski awan bertiup,/
awan tak mengunjungi batu/
di negeri rumput dan batu ini,...//
("Awan putih dan Rumput", Ryeol, hlm. 8)
Dari kutipan tersebut terdapat beberapa tanda seperti 'batu', 'awan', 'padang rumput' 'bertiup', dan 'negeri rumput dan batu'. Kata dan frasa tersebut adalah penanda (signifier) dari petanda (signified) yang merupakan makna atau pesan yang ada di pikiran pembaca tentang sesuatu yang pembaca tangkap.
Penanda (Signifier)
Petanda (Signified)
Batu
Sosok seseorang yang mendambakan kesuksesan
Awan
Sosok seseorang yang dikagumi karena dianggap sukses
Padang rumput
Keadaan hidup seseorang yang berada di bawah masalah
Bertiup
Bepergian ke berbagai tempat
Negeri rumput dan batu
Kehidupan yang memiliki banyak masalah dan rintangan
Penanda pada "Awan Putih dan Rumput" ini menggunakan diksi-diksi alam yang dekat dengan kehidupan manusia, sehingga pembaca akan mudah terkoneksi dengan suasana yang digambarkan secara kias dalam puisi tersebut. Pada larik pertama, letak 'batu' yang berada di bawah, di antara rumput-rumput yang panjang, mendambakan posisi awan yang berada di atas langit luas nan indah mempresentasikan keadaan seseorang yang ingin menjadi orang sukses sebab ia bosan hanya berdiam diri dalam keadaan hidup yang dikelilingi masalah tanpa bisa melakukan apa pun seperti si 'awan' pada larik kedua. 'Meski awan bertiup' menandakan seseorang yang sukses itu dapat bepergian ke berbagai tempat, dapat merasakan berbagai macam suasana yang tidak bisa dirasakan oleh 'batu'. Meski dapat pergi ke mana pun yang diinginkan, 'awan' tetap tidak akan mengunjungi 'batu di negeri yang dipenuhi rumput dan batu', kalimat tersebut mengartikan bahwa sejauh apa pun seseorang yang sukses, ia tidak mengunjungi seseorang yang hidup dalam masalah yang dipenuhi banyak rintangan.
Puisi ini mengambil sudut pandang dari 'batu' yang berada di bawah tanpa tahu seperti apa keadaan sebenarnya yang dialami oleh 'awan' di atas sana. Namun hal ini relate dengan keadaan banyak orang khususnya pembaca yang pernah merasakan di posisi si 'batu', ketika hidup kita sedang mengalami banyak masalah kita sering menganggap bahwa orang-orang sukses di atas sana itu hidup senang tidak ada beban, tanpa kita tahu seperti apa keadaan sebenarnya yang dialami oleh orang-orang sukses tersebut.
Puisi ini berhasil membangunkan imaji pembaca yang membuatnya merenungi kehidupan seperti apa saja yang telah dilalui sebelumnya. Puisi ini juga sejalan dengan tema umum pada antologi puisi, yaitu pendewasaan dan mencari tujuan hidup. Sosok si 'batu' yang mendambakan hidup seperti 'awan' pasti akan mencari cara agar bisa mencapai keinginannya tersebut untuk tujuan hidup yang lebih baik.
Kelebihan pada antologi puisi ini ialah pengarang mampu membawa pembaca hanyut merenungi berbagai fenomena rasa dalam kehidupan. Pemilihan diksi sebagai penanda atas makna kias yang ditandai, menghadirkan nilai estetika dalam puisi dan membuat rasa pembaca semakin dalam untuk merenungi. Selain itu, pemilihan judul yang unik menarik perhatian pembaca untuk ingin segera mengetahui isi puisi tersebut. Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan penggunaan diksi-diksi tersebut juga menjadi PR tersendiri bagi pembaca awam dalam memahami makna yang tersembunyi, sehingga perlu mengulang beberapa kali bacaan agar paham makna dan maksud dari kumpulan puisi tersebut.
Sheila Syalsabilla
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H