Mohon tunggu...
sheila permatasari
sheila permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Sheila anak pertama yang hobi traveling dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Poligami dan Hukum Poligami di Dalam Islam Beserta Hadistnya

10 Januari 2024   16:27 Diperbarui: 11 Januari 2024   14:15 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang suami memiliki lebih dari satu istri pada waktu yang sama. Praktik ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun poligami diatur dalam hukum positif Indonesia, banyak masyarakat yang memiliki pandangan berbeda terkait dengan praktik ini. Beberapa masyarakat menolak poligami dengan alasan tertentu, sementara yang lainnya mendukungnya. Dalam konteks hukum Islam, poligami diatur dalam Al-Qur'an dan hadis, dengan persyaratan adil terhadap istri-istri yang menjadi kunci utama dalam pelaksanaannya.

Dalam studi keislaman setidaknya ada dua tokoh besar bernama al-Ghazali yang sangat berpengaruh dan terkenal baik di kalangan umat Islam sendiri (insider) maupu di kalangan luar (outsider). Tokoh pertama ialah Abū Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazālī atau lebih dikenal dengan panggilan al-Imām al-Ghazālī. Dia adalah seorang ulama tasawuf yang hidup di abad 11 Masehi. Selain tasawuf Imam al-Ghazali juga ahli pada bidang keilmuan lainnya seperti Tafsir, Filsafat, Fikih dan lainnya, karenanya ia dijuluki dengan Ḥujjah al-Islām.

Namun, tokoh yang dimaksud dalam tulisan ini ialah Syeikh Muhammad al-Ghazali yang lahir di Mesir pada 22 September 1917 M.1 Pada umumnya, untuk membedakan antara kedua tokoh di atas, masyarakat muslim biasa menggunakan kata ‘Imam’ untuk menyebut Abu Hamid al-Ghazali dan gelar ‘Syeikh’ untuk menyebut Muhammad al-Ghazali (1917-1996). Kesamaan nama kedua tokoh tersebut bukanlah suatu hal yang kebetulan, tetapi terdapat kisah yang menarik di balik itu. 

Singkatnya, ayah dari Muhammad al-Ghazali menamai anaknya dengan nama tersebut karena ia pernah bermimpi dan mendapat semacam isyarat dari Ḥujjah al-Islām al-Imām al-Ghazālī, agar menamai anaknya kelak dengan nama yang sama, yaitu al-Ghazali. Sumber lain mengatakan bahwa nama tersebut diberikan oleh ayahnya karena ketertarikannya pada dunia tasawuf terutama pada tokoh sufi yang tidak lain adalah al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī.

Istilah poligami dalam literatur sarjana muslim disebut dengan ‘ta’addud al-zaujāt’, kedua istilah tersebut tidak populer di kalangan masyarakat muslim awal karena baik pada alQur’an maupun hadis memang tidak ditemukan istilah tersebut, tetapi praktiknya sudah dikenal pada waktu itu.Hadis-hadis Nabi yang berbicara mengenai poligami cukup banyak, namun di antara hadis-hadis tersebut secara lahiriah tampak kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. Sebagian riwayat membolehkan poligami sebagian yang lain melarangnya. Dengan demikian, penulis akan membahashadis-hadis tersebut satu persatu, yaitu sebagai berikut:

•Ghailān bin Salamah

َدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ التَّقْفِيَ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ.

Hannād telah meriwayatkan”hadis kepada kami, ia berkata: ‘Abdah telah meriwayatkan hadis kepada kami dari Sa‘īd bin Abī ‘Arūbah, dari Ma’mar, dari al-Zuhrī, dari Sālim ibn ‘Abdullah, dari Ibn ‘Umar, sesungguhnya Ghailān ibn Salamah al-Tsaqafī telah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri pada zaman jahiliyah, mereka pun masuk Islam bersamanya, lalu Nabi saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang saja di antara mereka.”

B.Hadis Larangan Poligami

َدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَن ابْن أَبي مُلَيْكَة المشورِ بْنِ تَخْرَمَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ المَغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَلَا آذَنُ، ثُمَّ لَا آذَنُ، ثُمَّ لَا آذَنُ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطلِقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ، فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي، يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا، وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.

“Qutaibah meriwayatkan hadis kepada kami, al-Laits meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibn Abī Mulaikah, dari al-Miswar ibn Makhramah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: “sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam ibn al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, maka aku tak akan mengizinkan, sekali lagi aku tak akan mengizinkan, sungguh aku tak akan mengizinkan, kecuali kalau ‘Ali mau menceraikan putriku, lalu menikahiputri mereka. Putriku itu adalah bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya berarti mengganggu perasaanku juga, apa yang menyakiti hatinya berarti menyakiti hatiku pula. (HR. Bukhari)”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun