Mohon tunggu...
Sheila Kartika
Sheila Kartika Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang perempuan yang mengaku sebagai bocah petualang, tertarik dengan media massa, media sosial, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajarlah Sampai ke Negeri Cina

2 Desember 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:06 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12912781791281628473

Carut marut dunia pendidikan seperti benang kusut yang tak jelas ujung pangkalnya. Ada saja masalah yang tak terselesaikan dari masa ke masa. Kalau dulu Iwan Fals bernyanyi “Oemar Bakrie…Oemar Bakrie…banyak ciptakan menteri. Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri…Yihaa!” Sejak lagu itu dinyanyikan hingga detik ini, masih ada saja cerita guru seperti Oemar Bakrie. Sudah berpuluh tahun mengajar mesti ada sertifikasi biar bisa naik gaji. Dosen di kampus berjaket kuning ikut-ikutan menyampaikan uneg-uneg. Sambil senyum-senyum bapak dosen berkata, “Maaf ya kalau nilai ujian lama keluarnya, habis sudah tidak ada uang periksa ujian, Bapak jadi ga semangat meriksanya.” Mungkin Iwan Fals sudah terlalu lelah menyanyi lagu-lagu hits jaman perjuangan dulu. Sampai sekarang kondisi tidak jua berubah. Mungkin suaranya jadi sudah benar-benar fals hingga akhirnya pindah saja menyanyi lagu-lagu cinta.

Di Indonesia, semua harga-harga membumbung setinggi langit. Tak mau kalah, biaya pendidikan juga membuat dahi orang tua mengernyit. Pemerintah menerapkan wajib belajar sembilan tahun tapi masih ada yang tak mampu. Kalau begitu bukan wajib namanya, karena bisa memilih mau sekolah sembilan tahun atau tidak. Berarti wajib belajar beda dengan wajib militer, meski kata depannya sama-sama wajib. Harusnya kalau memang wajib, warga negara mau tidak mau harus mengikuti.

Bicara mengenai pendidikan, semua tetap berujung pada satu akar masalah, yaitu duit alias hepeng. Persis seperti salah satu lagu yang berbunyi, “It’s all about the money.” Tidak bisa lanjut ke SMP karena tidak ada duit, tidak bisa masuk SMA atau SMK juga karena duit, boro-boro kuliah. Ya, semua gara-gara duit.

[caption id="attachment_78159" align="alignright" width="369" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Ironisnya, pendidikan tak ubah layaknya komoditas. Yang mampu ya silahkan beli, yang tak mampu ya silahkan bermimpi. Pemerintah pasti setuju sekali dengan pepatah ini, “Jika kamu pikir pendidikan itu mahal, cobalah kebodohan.” Jadi wajar dong kalau biaya pendidikan mahal.

Buat apa jadi sarjana toh ujung-ujungnya menganggur juga. Lihat saja berita di koran judulnya “Satu Juta Lulusan Perguruan Tinggi Menganggur.” Makanya tidak usah sekolah tinggi-tinggi nanti kalau gagal jauh lebih sakit hati dibandingkan mereka yang bukan sarjana tapi dapat kerja. Jangan sampai nanti diledek seperti di iklan televisi, “Hei, sarjana ojek!”

Sudah, masuk saja SMK atau Diploma. Selesai dari situ bisa langsung kerja. Jadi buruh pabrik juga tak apa, yang penting kerja. Daripada jadi TKI, malah nelangsa. Daripada jadi sarjana, ujung-ujungnya pengangguran juga.

Bagi institusi pendidikan, yang penting itu kuantitas bukan kualitas. Dalam setahun saja, Universitas Indonesia meluluskan 8.425 sarjana. Ibarat peternak yang berharap sang ayam bisa bertelur lebih banyak bagaimanapun caranya. Semakin banyak telur, semakin untung. Semakin banyak mahasiswa, semakin untung. Jadi mahasiswa tidak ada bedanya dengan ayam. Mungkin dari situlah istilah ayam kampus berasal.

Mau cepet lulus? Gampang! Yang penting ada fulus. Mau gelar apa tinggal pilih saja, mau gelar S1, S2, hingga S3, ‘S Teler’ dan‘S Mambo’ semua tersedia. Mau lulusan mana universitas mana? Semua bisa diatur. Jangan heran kalau tiba-tiba kepala daerah nambah embel-embel di belakang namanya. Kapan kuliahnya? Duh ketinggalan jaman deh, sekarang semua serba eskpres dan instan. Mau nyari apa juga ada, cari skripsi, tesis, dan disertasi juga bisa. Karena biasa makan mi instan, dan makanan cepat saji jadi terbawa ke semua aspek kehidupan. Jadilah generasi instan, maunya serba cepat dan instan. Mungkin pepatah “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” sudah harus diganti karena sudah tidak relevan.

Ada banyak sekali pepatah dan peribahasa di negeri ini. Orang Indonesia percaya dan mengamalkan betul pepatah dan peribahasa itu. Pemerintah dan wakil rakyat yang paling juara. Kata pepatah “Belajarlah sampai ke negeri Cina”. Jadi, sudah jelas buat apa membenahi carut marut dunia pendidikan Indonesia, kalau mau belajar ya pergi saja ke Cina. Gitu saja kok repot!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun