Mohon tunggu...
Sheila Kartika
Sheila Kartika Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang perempuan yang mengaku sebagai bocah petualang, tertarik dengan media massa, media sosial, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Oceans, DPR Kentut dan Ariel Peterporn

9 Juni 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

8 Juni 2010, satu hari yang cukup fenomenal buat saya. Seperti biasa dalam perjalanan menuju Bogor saya mengakses jejaring sosial T*itter dengan Ne*ianberak kesayangan saya. Pagi-pagi timeline sudah dipenuhi topik mengenai video (lagi) kali ini antara AP dan CT setelah kemarin dengan LM. Begitu antusiasnya pengguna T*itter dengan topik tersebut hingga akhirnya Ariel Peterporn sukses menjadi Trending Topic di situs jejaring sosial tersebut. Terakhir hingga saya menulis ini, trending topic tersebutpun belum hengkang. Di saat yang bersamaan isu mengenai dana aspirasi juga sedang naik daun. Beberapa pengguna T*itter yang mungkin muak dengan tema AP-pun melancarkan topik #TolakDanaAspirasi meski belum mampu menggeser AP. Selain #TolakDanaAspirasi topik yang ikut muncul adalah #DPRKentut, mungkin saking geramnya dengan kelakuan anggota dewan yang terhormat. Satu tweet yang sempat saya baca dan bikin senyum “Gedung DPR kan bentuknya kaya pantat, wajar kalo anggota #DPRKEntut”

Tapi bukan video AP dan DPRKentut yang ingin saya bahas. Satu hal yang terlupakan pada 8 Juni adalah peringatan Hari Samudera Sedunia atau World Oceans Day. Kenapa hal ini menjadi penting buat saya? Pasalnya Sabtu lalu saya baru saja menonton film dokumenter berjudul Oceans. Anda harus menyaksikan film tersebut! Sungguh! Gambar yang sangat apik dan ciamik hingga membuat saya melongo seperti bango. Sepanjang film saya terus mengumpat “Damn! Gimana coba itu dia ngambil gambar underwaternya?” Pesannya jelas, mengingatkan kita manusia bahwa bumi ini bukan milik manusia saja. Kita juga harus berbagi dengan makhluk lainnya, apalagi sebagian besar bumi tertutup oleh permukaan air, bukan daratan. Sayapun merinding dan meringis menyaksikan adegan pamungkas. Ikan-ikan dan binatang laut lainnya diam tak berdaya terbelit jaring. Adegan makin dramatis dengan iringan musik orkestra dan slow motion. Matapun sedikit berkaca-kaca. Seekor hiu tertangkap nelayan dan kembali dilepaskan ke laut. Hanya saja, saat kembali ke birunya lautan, hiu tersebut sudah tak bersirip, tidak bisa berenang hanya bisa menggeliat dan akhirnya jatuh ke dasar lautan. Lautpun ternoda merah, tak lagi biru.

Terhenyak. Saya merenung dan berpikir. Menjadi manusia seharusnya menjadi sebuah kebanggaan. Manusia adalah makhluk paling mulia, memiliki akal sehat, dan hati nurani. Tapi entah mengapa saya merasa sebaliknya. Saya merasa menjadi manusia jahat dan jauh dari gambaran tersebut. Saya bukan orang relijius, tapi ijinkan saya mengutip sepenggal ayat dari Alkitab usang dan berdebu yang sudah lama tak disentuh. “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.’” Tetapi kekuasaan seperti apakah yang akhirnya kita miliki dan gunakan hingga akhirnya menyebabkan kepunahan? Begitu rakusnya manusia hingga tak mau berbagi bumi dengan yang lain. Lalu apa bedanya saya dan DPRKentut? Sama-sama rakus!

Laut, menyimpan begitu banyak kekayaan dan misteri. Kini laut punya penghuni baru. Kantong plastik, botol kaca, kaleng, sampah manusia, hingga kereta dorong supermarket. “Selamat datang di rumah kami!” kata ikan badut lucu kepada plastik. Tapi plastik tidak menjawab. Plastikpun melayang-layang menyamar menjadi ubur-ubur hingga akhirnya masuk ke dalam perut penghuni laut. “Gotcha! Kamu tertipu!” kata plastik. Penelan plastikpun perlahan keracunan dan akhirnya mati. Penghuni Teluk Meksiko ikutan berteriak, “Lengket! Saya tak bisa bergerak dan bernafas.” Merekapun mati. Lumba-lumba di Jepang menjerit pilu menahan tusukan tombak. Laut kembali memerah. Tragis!

Bukan itu gambaran laut yang saya bayangkan. Bukan hal itu yang ingin saya ceritakan pada anak saya kelak. Bukan hal semacam itu yang nantinya akan hadir di film anak-anak seperti Finding Nemo. Bukan! Dan jangan biarkan! Saya tidak rela! Karena saya selalu suka pantai dan laut. Ombak akan selalu setia berpulang ke pantai hingga akhir zaman. Bagi saya, percumbuan mereka sangat romantis dan seksi. Lebih seksi dari Ariel Peterporn.

Duduk di pasir putih dan memandang laut lepas, jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, konsumerisme khas remaja, dan semunya dunia penuh kemunafikan. Ah, saya jadi ingin pulang. Pulang ke pantai, mengadu pada ombak dan bersandar pada pasir, serta berbisik “Hei Laut, kami dedikasikan satu dari 365 hari dalam setahun untukmu. Saya akan jaga kamu dan ajak yang lainnya juga. Semoga penghuni baru tidak bertambah. Semoga tidak ada merah merona lagi, semoga hanya biru saja. Ya, tetap biru.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun