Mohon tunggu...
Sheila Gita Ardana
Sheila Gita Ardana Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Saya adalah seorang mahasiswi yang memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kritik Terhadap Mahzab Kapitalis Neoklasik

15 Desember 2024   09:28 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:28 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mazhab kapitalis neoklasik adalah salah satu cabang pemikiran ekonomi yang mendominasi sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini. Ini berfokus pada konsep pasar bebas, keseimbangan umum, dan utilitas individu sebagai dasar dari perilaku ekonomi. Pemikir-pemikir utama dalam mazhab ini, seperti Alfred Marshall, Leon Walras, dan Vilfredo Pareto, memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan teori-teori yang berfokus pada efisiensi alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar. Meskipun mazhab ini sangat berpengaruh, ia juga mendapat kritik tajam dari berbagai sudut pandang, baik dari perspektif teori ekonomi alternatif maupun dari data empiris yang menunjukkan kelemahan dalam penerapan konsep-konsep neoklasik dalam dunia nyata. Salah satu kritik utama terhadap mazhab neoklasik adalah asumsi bahwa individu bertindak secara rasional dan selalu memaksimalkan utilitas mereka. Menurut teori neoklasik, konsumen dan produsen dianggap memiliki informasi sempurna dan selalu membuat keputusan yang optimal. Namun, realitas menunjukkan bahwa individu sering membuat keputusan yang dipengaruhi oleh keterbatasan informasi, bias kognitif, dan emosi. Penelitian dalam bidang ekonomi perilaku, seperti yang dilakukan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, menunjukkan bahwa manusia tidak selalu rasional dalam pengambilan keputusan. Kahneman, dalam karyanya yang memenangkan Nobel Ekonomi, menegaskan bahwa bias seperti "anchoring" dan "framing" memengaruhi cara individu membuat keputusan ekonomi, yang bertentangan dengan asumsi neoklasik tentang rasionalitas sempurna.

Teori neoklasik menekankan pentingnya pasar sebagai mekanisme yang efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Namun, dalam praktiknya, banyak pasar yang gagal mencapai efisiensi karena adanya kegagalan pasar seperti eksternalitas, monopoli, dan informasi asimetris. Sebagai contoh, dalam masalah eksternalitas negatif seperti polusi, teori neoklasik tidak cukup memberikan solusi yang memadai. Kegagalan pasar yang disebabkan oleh eksternalitas memerlukan intervensi pemerintah untuk memperbaiki alokasi sumber daya, bertentangan dengan pandangan neoklasik bahwa pasar bebas dapat menyelesaikan semua masalah ekonomi. Menurut yang berjudul Capital in the Twenty-First Century menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat juga merupakan hasil dari mekanisme pasar yang tidak efisien dalam distribusi kekayaan dan pendapatan (Piketty 2014). Mazhab neoklasik juga mengasumsikan adanya kondisi keseimbangan umum, di mana semua pasar berada dalam keadaan seimbang pada harga yang optimal. Namun, kritik menyebutkan bahwa keseimbangan ini sangat sulit dicapai dalam dunia nyata, terutama karena ketidakpastian dan fluktuasi yang ada dalam perekonomian. Kritik dari ekonom post-Keynesian seperti Joan Robinson menunjukkan bahwa perekonomian jarang berada dalam kondisi keseimbangan dan lebih sering dipengaruhi oleh faktor-faktor ketidakpastian yang tidak dapat dijelaskan oleh model neoklasik. Ketidakpastian dalam pasar tenaga kerja dan modal sering kali menyebabkan ketidakseimbangan yang berkelanjutan.

Salah satu kritik terbesar terhadap mazhab neoklasik adalah ketidakpeduliannya terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam teori neoklasik, distribusi kekayaan dianggap sebagai hasil alami dari kontribusi produktivitas masing-masing individu, tetapi realitas menunjukkan bahwa ketimpangan sering kali disebabkan oleh faktor-faktor struktural, seperti konsentrasi kekayaan dan akses terhadap sumber daya. Ekonom seperti Thomas Piketty dan Joseph Stiglitz menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang semakin melebar dalam beberapa dekade terakhir sebagian besar disebabkan oleh mekanisme pasar yang memusatkan kekayaan pada segelintir individu atau perusahaan besar. Dalam jurnal (Stiglitz 2012), ia menyoroti bahwa ketimpangan bukan hanya masalah keadilan sosial, tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang, karena konsumsi dari kelompok berpendapatan rendah yang berkurang mengurangi permintaan agregat. 

Data empiris menunjukkan bahwa negara-negara yang menganut prinsip-prinsip pasar bebas yang sangat kuat sering menghadapi masalah ketimpangan yang tajam. Menurut data dari World Inequality Report 2020, ketimpangan pendapatan di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1980-an, seiring dengan penerapan kebijakan neoliberal yang mendasarkan diri pada teori neoklasik. Data ini menunjukkan bahwa meskipun pasar bebas dapat mendorong efisiensi dalam alokasi sumber daya, hal itu sering kali terjadi dengan mengorbankan distribusi yang adil. Di Amerika Serikat, 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 20% kekayaan nasional, sementara 50% penduduk terbawah hanya menguasai sekitar 10% kekayaan. Krisis keuangan global 2008 adalah contoh empiris lain dari kelemahan teori neoklasik. Sebelum krisis, banyak ekonom neoklasik percaya bahwa pasar keuangan dapat mengatur diri sendiri dan menciptakan efisiensi tanpa perlu intervensi pemerintah. Namun, krisis menunjukkan bahwa pasar keuangan yang tidak diatur dapat menyebabkan spekulasi berlebihan, penggelembungan aset, dan pada akhirnya kehancuran sistemik. 

Dalam jurnal This Time is Different menjelaskan bagaimana deregulasi pasar keuangan, yang didorong oleh keyakinan neoklasik pada efisiensi pasar, berperan besar dalam menyebabkan krisis tersebut (Reinhart, et all 2009). Masalah perubahan iklim juga merupakan bukti kegagalan pasar yang signifikan dalam teori neoklasik. Pasar tidak mampu memperhitungkan eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Sebuah laporan yang komprehensif tentang dampak ekonomi dari perubahan iklim, menunjukkan bahwa jika pasar dibiarkan beroperasi tanpa campur tangan, biaya ekonomi dari kerusakan lingkungan akan jauh lebih besar di masa depan. Teori neoklasik, dengan penekanan pada efisiensi pasar, gagal mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim yang memerlukan kebijakan kolektif dan intervensi pemerintah yang kuat . (Stern Review 2007). 

Kesimpulan Mazhab kapitalis neoklasik, meskipun memberikan banyak kontribusi penting dalam memahami alokasi sumber daya dan perilaku pasar, memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Asumsi-asumsi teoretis seperti rasionalitas sempurna, keseimbangan umum, dan efisiensi pasar sering kali tidak sesuai dengan realitas empiris. Data empiris tentang ketimpangan pendapatan yang meningkat, krisis keuangan global, dan kegagalan pasar dalam mengatasi perubahan iklim menunjukkan bahwa pendekatan neoklasik terhadap ekonomi membutuhkan revisi yang lebih mendalam. Pemikir-pemikir modern, seperti Joseph Stiglitz dan Thomas Piketty, telah menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil, perlu ada keseimbangan antara mekanisme pasar dan intervensi pemerintah yang lebih kuat dalam mengatur distribusi kekayaan serta mengatasi eksternalitas

Daftar Pustaka Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2021). 

Sixth Assessment Report: Climate Change 2021. Kahneman, D., & Tversky, A. (1979).

 Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk. Econometrica, 47(2), 263--291. OECD. (2019). 

Income Inequality Update. OECD Publishing. Piketty, T. (2014). 

Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press. Reinhart, C. M., & Rogoff, K. S. (2009). 

This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly. Princeton University Press. Stern, N. (2007). 

The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge University Press. Stiglitz, J. E. (2012). 

The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. W. W. Norton & Company. 

World Inequality Lab. (2020). World Inequality Report 2020.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun