Mohon tunggu...
Sheika Rhan
Sheika Rhan Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Haloo! Namaku Sheika, biasa dipanggil shei atau dirumah dipanggil Icha. Aku suka banget baca! Ga se-baca itu sih tapi cukup untuk mendorong aku untuk mulai menulis and here we are~ Ohya, aku ada akun study lho boleh di stalk yaa @studyhalogenً jangan lupa difollow!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Perundungan: Antara Pelaku Perundungan dan Mediasi

1 Juli 2023   01:01 Diperbarui: 1 Juli 2023   07:59 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perundungan atau yang biasa kita sebut sebagai bullying adalah segala penindasan yang dilakukan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya. Definisi bullying sendiri menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.

Bullying dapat terjadi dalam bentuk apapun, dimanapun dan kapanpun. Dalam konteks yang berbeda definisi bullying juga dapat berubah tidak hanya terbatas pada umur atau tindakan. Umumnya, bentuk bullying terbagi 3 yaitu bullying secara fisik, bullying secara verbal dan cyberbullying. Bullying secara fisik adalah seluruh tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti korban, baik itu berbentuk dorongan ataupun pukulan. Bullying secara verbal adalah tindakan penindasan kepada orang lain yang bisa terjadi melalui ucapan ataupun tulisan yang berisi kata-kata menyakitkan yang dapat melukai korban. Sedangkan, cyberbullying adalah perundungan melalui dunia maya menggunakan teknologi untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengungkapkan bahwa bullying dapat dikelompokkan ke dalam 6 kategori:

  • Kontak fisik langsung.

Tindakan memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang yang dimiliki orang lain.

  • Kontak verbal langsung.

Tindakan mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put- downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.

  • Perilaku non-verbal langsung.

Tindakan melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.

  • Perilaku non-verbal tidak langsung.

Tindakan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

  • Cyber Bullying

Tindakan menyakiti orang lain dengan sarana media elektronik (rekaman video intimidasi, pencemaran nama baik lewat media social).

  • Pelecehan seksual.

Kadang tindakan pelecehan dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.

Penindasan ini dapat ditujukan pada anak umur berapapun, bahkan kepada umur yang berbeda sekalipun. Meskipun kita menutup mata dan telinga, kita tak dapat mengabaikan fakta bahwa tindakan berupa ejekan-ejekan dari anak-anak kecil kepada orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang berusia lebih tua dari mereka juga dapat digolongkan sebagai perundungan. Di kasus seperti itu, sangat dibutuhkan peran orang tua sebagai pendidikan pertama yang didapat oleh anak-anak. Tak menutup peluang, orang dewasa juga dapat dikatakan merundung anak dibawah umur. Begitu juga yang terjadi antara pelaku dan korban yang berada di usia yang sama. Menurut UNICEF, 41% pelajar berusia 15 tahun pada 2020 mengaku pernah mengalami setidaknya satu jenis perundungan sebanyak beberapa kali dalam sebulan, 18% persen diantaranya mengalami perundungan secara fisik seperti dipukul oleh teman seusianya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan pada tahun 2020 tercatat ada 119 kasus perundungan terhadap anak. Angka yang termasuk banyak, terlebih selalu ada kasus-kasus yang belum dilaporkan atau diketahui oleh khalayak. Lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2021 menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan anak sebanyak 2.982 kasus dan 1.138 diantaranya merupakan kasus kekerasan fisik dan psikis. Masih dari KPAI, tercatat pada tahun 2020 ini terjadi setidaknya 226 kasus kekerasan fisik dan mental serta 18 kasus cyberbullying. Kabupaten Malang saja tercatat 65 kasus perundungan telah terjadi di tahun 2022.

Kasus-kasus perundungan yang terjadi banyak yang berujung pada mediasi seperti kasus perundungan fisik yang dialami siswi SMAN 1 Ciwidey pada Februari 2023. Kasus perundungan siswi yang dilakukan oleh siswi lainnya di salah satu perladangan di kawasan Kecamatan Kabanjahe berakhir pada mediasi yang dilakukan langsung oleh Polres Tanah Karo. “Pemanggilan ini, ditunjukkan agar kita melakukan proses mediasi. Apalagi mengingat para pelajar ini, masih tergolong masih dalam usia anak di bawah umur," ucap AKP Aryya Nusa Hindranawan Polres Tanah Karo pada Jumat (13/01/2023).

Tak hanya itu, kasus yang terjadi di Musi Rawas, Sumatera Selatan siswa SD berusia 12 tahun yang mengalami patah leher akibat dikeroyok oleh 4 orang anak sebaya. Kanit PPA Polres Musi Rawas Aiptu Rohman mengatakan akan dilakukan upaya diversi atau penyelesaian masalah di luar pengadilan dengan alasan pelaku dan korban masih anak-anak.

Perundungan sesama anak berakhir pada ‘pengampunan’ terhadap pelaku perundungan dengan alasan pelaku masih di bawah umur. Bagaimana jika muncul pelaku-pelaku usia anak lainnya yang dengan sengaja melakukan perundungan kepada teman sebayanya, lantas berlindung dibalik kata-kata masih anak-anak? Hal ini patut kita tanggapi dengan serius karena berhubungan dengan masa depan bangsa Indonesia. Kita menyelamatkan masa depan pelaku perundungan anak dengan dalih tersebut, tetapi lupa jika hal tersebut dapat menimbulkan bumerang bagi bangsa kita sendiri. Karena tidak menutup kemungkinan, pelaku perundungan akan kembali melakukan perundungan lagi dan lagi yang akan menimbulkan lebih banyak korban.

Baik bullying fisik maupun psikis dapat membahayakan kesehatan mental korban seperti mengalami gangguan mental, gangguan kecemasan, depresi, agresif, menghambat potensi kognitif, sulit tidur nyenyak, merasa kurang percaya diri, tidak mau menghadapi lingkungan sekitar, memicu self-harm dan bahkan menyebabkan bunuh diri. Begitu banyak dampak buruk perundungan yang berujung serius, peringatan keras bagi kita semua untuk terus meningkatkan kesadaran akan apa yang terjadi di sekitar kita.

Bahaya perundungan bagi korban usia anak berupa bunuh diri bukan hanya ucapan belaka. Pada Senin 27 Februari 2023, seorang anak SD berusia 11 tahun ditemukan gantung diri, diduga ia mengakhiri hidupnya karena tak sanggup lagi menerima perundungan verbal berupa ejekan hanya karena ia tak lagi memiliki ayah. Dengan adanya kasus nyata seperti ini, sangat disayangkan apabila kita ‘membiarkan’ pelaku perundungan junior maupun senior melanjutkan aksinya kepada anak-anak lainnya dan kembali menimbulkan korban.

Kasus di Bandung pada november 2022, korban bullying yang mengalami pemukulan berkali-kali dan berakhir pingsan juga menemui akhir yang sama yaitu mediasi. Hal ini didorong langsung oleh pihak DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan pihak sekolah, meskipun awalnya pihak orang tua korban tidak setuju dan meminta tetap melanjutkan proses di jalur hukum sesuai dengan undang-undang. Pasal yang berkaitan tentang tindak penganiayaan terdapat pada pasal 351 KUHP dan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014 juga mengatur tentang hukuman bullying yaitu paling lama 3 tahun 6 bulan dan denda paling banyak berjumlah 72 juta. Apabila korban melakukan tindakan bunuh diri, hukuman yang diterima oleh pelaku akan lebih berat.

Dikutip dari artikel yang dipublikasikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Negeri Sengkang, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jalan mediasi ini kita ketahui sebagai jalan yang paling banyak dipilih di setiap kasus perundungan, alih-alih memilih untuk menempuh jalur hukum mengingat masa depan sang pelaku pelanggaran hukum tersebut masih panjang. Namun, jika ditelisik pelaku perundungan tidak akan merasa harus mengintropeksi diri akan kesalahan yang ia lakukan. Di samping pelaku yang masih anak-anak belum mengerti apa yang akan dirasakan korban kejahatannya dan juga pelaku yang melakukan bullying dapat dipastikan mereka memiliki rasa empati yang kurang sehingga tega melakukan hal tersebut. 

Jika hanya saling bertemu, berdiskusi dan meminta maaf tak ada jaminan pelaku akan berubah menjadi lebih baik kedepannya. Seperti kasus yang benar-benar terjadi di Cicendo, Bandung. Perundungan yang dialami oleh dua siswa SMP yang berakhir dengan mediasi kembali terjadi, hal itu disebabkan pelaku merasa marah dan tak terima dengan kesepakatan wajib lapor hasil mediasi, maka dari itu pelaku ulang melakukan perundungan terhadap korban.

Sebuah petisi yang dimulai pada 12 Desember 2021, bersuara bahwa ‘proses hukum pelaku bullying, mediasi tidak cukup’ telah ditandatangani oleh 30 dari 50 suara yang dibutuhkan. Dalam laman change.org tersebut juga diungkapkan proses hukum sangat dibutuhkan untuk menimbulkan rasa jera bagi pelaku karena perundungan bukan sekadar “candaan” belaka. Hukum di Indonesia tidak boleh terlihat selemah ini karena perundungan juga termasuk pelanggaran hukum yang juga harus menjalani proses hukum yang sesuai.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum harus tegas terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hukum terutama untuk kasus perundungan fisik terhadap anak karena bahaya fisik dan mental yang dirasakan korban harus ‘terbayarkan’ dengan setidaknya rasa jera atau kesadaran pelaku untuk tidak melakukan tindakan yang sama lagi kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun