Kasus-kasus perundungan yang terjadi banyak yang berujung pada mediasi seperti kasus perundungan fisik yang dialami siswi SMAN 1 Ciwidey pada Februari 2023. Kasus perundungan siswi yang dilakukan oleh siswi lainnya di salah satu perladangan di kawasan Kecamatan Kabanjahe berakhir pada mediasi yang dilakukan langsung oleh Polres Tanah Karo. “Pemanggilan ini, ditunjukkan agar kita melakukan proses mediasi. Apalagi mengingat para pelajar ini, masih tergolong masih dalam usia anak di bawah umur," ucap AKP Aryya Nusa Hindranawan Polres Tanah Karo pada Jumat (13/01/2023).
Tak hanya itu, kasus yang terjadi di Musi Rawas, Sumatera Selatan siswa SD berusia 12 tahun yang mengalami patah leher akibat dikeroyok oleh 4 orang anak sebaya. Kanit PPA Polres Musi Rawas Aiptu Rohman mengatakan akan dilakukan upaya diversi atau penyelesaian masalah di luar pengadilan dengan alasan pelaku dan korban masih anak-anak.
Perundungan sesama anak berakhir pada ‘pengampunan’ terhadap pelaku perundungan dengan alasan pelaku masih di bawah umur. Bagaimana jika muncul pelaku-pelaku usia anak lainnya yang dengan sengaja melakukan perundungan kepada teman sebayanya, lantas berlindung dibalik kata-kata masih anak-anak? Hal ini patut kita tanggapi dengan serius karena berhubungan dengan masa depan bangsa Indonesia. Kita menyelamatkan masa depan pelaku perundungan anak dengan dalih tersebut, tetapi lupa jika hal tersebut dapat menimbulkan bumerang bagi bangsa kita sendiri. Karena tidak menutup kemungkinan, pelaku perundungan akan kembali melakukan perundungan lagi dan lagi yang akan menimbulkan lebih banyak korban.
Baik bullying fisik maupun psikis dapat membahayakan kesehatan mental korban seperti mengalami gangguan mental, gangguan kecemasan, depresi, agresif, menghambat potensi kognitif, sulit tidur nyenyak, merasa kurang percaya diri, tidak mau menghadapi lingkungan sekitar, memicu self-harm dan bahkan menyebabkan bunuh diri. Begitu banyak dampak buruk perundungan yang berujung serius, peringatan keras bagi kita semua untuk terus meningkatkan kesadaran akan apa yang terjadi di sekitar kita.
Bahaya perundungan bagi korban usia anak berupa bunuh diri bukan hanya ucapan belaka. Pada Senin 27 Februari 2023, seorang anak SD berusia 11 tahun ditemukan gantung diri, diduga ia mengakhiri hidupnya karena tak sanggup lagi menerima perundungan verbal berupa ejekan hanya karena ia tak lagi memiliki ayah. Dengan adanya kasus nyata seperti ini, sangat disayangkan apabila kita ‘membiarkan’ pelaku perundungan junior maupun senior melanjutkan aksinya kepada anak-anak lainnya dan kembali menimbulkan korban.
Kasus di Bandung pada november 2022, korban bullying yang mengalami pemukulan berkali-kali dan berakhir pingsan juga menemui akhir yang sama yaitu mediasi. Hal ini didorong langsung oleh pihak DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan pihak sekolah, meskipun awalnya pihak orang tua korban tidak setuju dan meminta tetap melanjutkan proses di jalur hukum sesuai dengan undang-undang. Pasal yang berkaitan tentang tindak penganiayaan terdapat pada pasal 351 KUHP dan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014 juga mengatur tentang hukuman bullying yaitu paling lama 3 tahun 6 bulan dan denda paling banyak berjumlah 72 juta. Apabila korban melakukan tindakan bunuh diri, hukuman yang diterima oleh pelaku akan lebih berat.
Dikutip dari artikel yang dipublikasikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Negeri Sengkang, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jalan mediasi ini kita ketahui sebagai jalan yang paling banyak dipilih di setiap kasus perundungan, alih-alih memilih untuk menempuh jalur hukum mengingat masa depan sang pelaku pelanggaran hukum tersebut masih panjang. Namun, jika ditelisik pelaku perundungan tidak akan merasa harus mengintropeksi diri akan kesalahan yang ia lakukan. Di samping pelaku yang masih anak-anak belum mengerti apa yang akan dirasakan korban kejahatannya dan juga pelaku yang melakukan bullying dapat dipastikan mereka memiliki rasa empati yang kurang sehingga tega melakukan hal tersebut.
Jika hanya saling bertemu, berdiskusi dan meminta maaf tak ada jaminan pelaku akan berubah menjadi lebih baik kedepannya. Seperti kasus yang benar-benar terjadi di Cicendo, Bandung. Perundungan yang dialami oleh dua siswa SMP yang berakhir dengan mediasi kembali terjadi, hal itu disebabkan pelaku merasa marah dan tak terima dengan kesepakatan wajib lapor hasil mediasi, maka dari itu pelaku ulang melakukan perundungan terhadap korban.
Sebuah petisi yang dimulai pada 12 Desember 2021, bersuara bahwa ‘proses hukum pelaku bullying, mediasi tidak cukup’ telah ditandatangani oleh 30 dari 50 suara yang dibutuhkan. Dalam laman change.org tersebut juga diungkapkan proses hukum sangat dibutuhkan untuk menimbulkan rasa jera bagi pelaku karena perundungan bukan sekadar “candaan” belaka. Hukum di Indonesia tidak boleh terlihat selemah ini karena perundungan juga termasuk pelanggaran hukum yang juga harus menjalani proses hukum yang sesuai.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum harus tegas terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hukum terutama untuk kasus perundungan fisik terhadap anak karena bahaya fisik dan mental yang dirasakan korban harus ‘terbayarkan’ dengan setidaknya rasa jera atau kesadaran pelaku untuk tidak melakukan tindakan yang sama lagi kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H