Aku punya kecenderungan kesasar dalam level yang mengkhawatirkan. Bukan satu kilometer atau dua kilometer tapi bisa sampai dengan 40 km! Payahnya lagi aku tak begitu paham menggunakan google maps dan tidak membawa peta atlas sebagai acuan jika ada kendala teknis. Aku hanya membawa peta yang dibuatkan oleh rekanku dalam satu forum yang disesuaikan dengan daya jelajahku yang lemah. Dan tentu saja aku belum pernah merambah Sumatera, kecuali aku pernah numpang lahir di Sigli, Aceh. Itu saja.
Sungguh, petualanganku kemarin membuat banyak orang sesak nafas, lalu menjulukiku dengan banyak sebutan, nekat, konyol, dan gila. Duhhhh
Dalam forum yang kuikuti di facebook, dunia hobi selalu mempunyai ciri-ciri yang khusus. Dulu sekali sewaktu aku bekerja di sebuah media hobi yang akhirnya bangkrut, aku selalu merasa takjub sendiri dengan para penghobi yang rela melakukan apa saja untuk apa yang dicintainya, orang-orangnya pun lebih hangat, dan aku sering harus menjadi pendengar yang setia ketika mereka bicara tentang apa yang dicintai dan menjadi kebanggaan dalam hidupnya.
Nusantaride adalah sebuah forum yang kutemukan tanpa sengaja ketika aku mulai putus asa mencari informasi solo riding ke Sumatera. Berbulan-bulan aku mencari di google dengan banyak kata kunci, tapi akhirnya Tuhan mempertemukan dengan caraNya ketika aku hampir patah arang. Di tanggal 30 Agustus 2015 lah kali pertama aku mengajukan sebuah pertanyaan, yang akhirnya menghubungkan aku dengan banyak orang dengan hobi yang kurang lebih sama. Memberiku banyak informasi, fokus di titik-titik tertentu, dan tentu saja peta. Peta, sang penunjuk arah.
Andre Prayhard Prihardi
Aku memanggilnya om Andre, karena sepertinya panggilan Om, Pakde, Bro, Sist, Tante, sudah sangat familiar di forum ini, walau untukku pribadi butuh waktu untuk membiasakannya. Dalam salah satu komentarnya, om Andre, menawarkan untuk membantuku membuatkan jalur yang relatif aman untuk kulalui. Dalam komentar-komentar lainnya, aku menilai om Andre ini punya kapabilitas area Sumatera dengan sangat baik. Tentu saja tawaran ini tidak aku lewatkan begitu saja. Bahkan aku perlu waktu untuk menyusun pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang kadang membingungkan. Tapi aku lega om Andre bisa membaca maksud pertanyaanku yang kadang sering kuanggap aneh. Om Andre juga menjelaskan dengan cukup gamblang dan sabar menghadapi pertayaanku yang kadang tidak penting. Hahaha.
Peta yang dibuatkan om Andre ini dari google maps yang disesuaikan dengan kemampuan jelajahku setiap harinya. Jika kota yang akan kusinggahi itu sebuah kecamatan, maka om Andre akan membuatkan catatan sedikit tentang kota itu. Beliau juga memberiku informasi, di daerah mana saja aku harus lebih hati-hati terutama antara Lampung sampai dengan Palembang. Selama perjalanan, jika ada yang tidak aku tahu, orang pertama yang kuhubungi pasti om Andre. Dari peta yang diberikan padaku, memang ada beberapa perubahan jalur. Itu semata-mata karena aku ingin menyebrang ke pulau Samosir, yang akhirnya aku ke Medan melalui Pangururan, bukan melalui Pematang Siantar.
Aku hanya bertemu kurang dari 30 menit ketika pulang ke Bandung. Karena waktu berangkat, aku tak menemukan letak rumahnya, maklum saat itu aku sedang grogi bertemu pertama kalinya dengan lintas Sumatera.
Kisemar Arry Lufti
Nah , beliau ini tinggal di Banda Aceh. Waktu pertama berkomentar di pertanyaanku, rata-rata mereka memanggil dengan sebutan suhu. Jadi, aku menyimpulkan bahwa beliau ini sudah sepuh, lalu aku memanggilnya dengan sebutan pakde. Hahahaha
Komunikasiku dengan pakde Arry tidak seintens komunikasiku dengan om Andre. Baru di Samosir, pakde Arry mengirimiku pesan melalui WhatsApp, mewanti-wanti agar aku jangan sampai kesasar dan salah belok. Aku mengiyakan. Tapi memang begitulah kawan, aku salah belok dari pertigaan Tele, mestinya ke kanan ke arah Sidikalang, tapi aku malah belok ke kiri ke arah Doloksanggul. Rasanya malu hati.
Lima hari kemudian aku bertemu beliau di Banda Aceh. Kami mengobrol banyak hal. Lebih tepatnya aku yang banyak menanyakan kepada pakde Arry perihal pernak-pernik dunia hobi jalan-jalan dengan motor dan segala peminjaman istilah yang membuat keningku berkerut-kerut. Waktu aku ditanya soal kesasar yang tingkat dewa itu, aku hanya bisa cengengesan. Aku pun tak bawa peta atlas, beliau hanya bisa geleng-geleng kepala. Lalu memberikan peta atlas Sumatera, mengajariku menggunakan google maps dan memberikanku tali untuk tas bajuku yang pengaitnya patah karena isi tasku yang super rempong dan selama berjam-jam terpapar terik matahari yang menggila.
Arief Satriya Wilasa dan Miftahul Mukhlis
Dua orang ini sejatinya tak kukenal, lebih tepatnya tak pernah berkomunikasi sekalipun dalam forum NR, hanya karena om Andre yang tahu bahwa aku selalu punya daya jelajah yang lemah dan menghawatirkan, maka dua orang ini gencar menghubungiku, karena aku akan memasuki daerah mereka. Sebenarnya aku senewen setengah mati pada mereka. Pertanyaanku tidak dibalas perihal alamat penginapan murah, tapi selalu gencar bertanya sudah sampai mana aku.
Masalahnya, sepanjang perjalananku tidak ada yang menanyaiku sampai beberapa kali melalui media yang berbeda dalam satu waktu, kecuali keluargaku dan biasanya aku akan mengabari jika sudah sampai di penginapan. Sampai akhirnya aku bertemu mereka di pukul empat sore hari selasa.
Dalam setiap pertemuan dengan orang-orang baru, rasanya aku terlalu banyak mendominasi. Maklumlah ke-kepo-an ku pada dunia biker membuatku banyak bertanya. Selama ini aku selalu agak risih melihat biker-biker itu dari cara berbusana sampai dengan sikapnya di jalanan. Lebay. Hahahaha.
Tapi bertemu dengan mereka, membuatku punya sudut pandang yang lain, bahwa “brotherhood”, kata yang sering di usung itu memang sarat makna bagi mereka. Mereka pun tak segarang yang kukira. Hati mereka lembut. Sampai-sampai aku bingung melihat mereka berdua yang sibuk berpikir keras macam memikirkan kemelut negeri sendiri untuk memberikan solusi tasku yang sering miring-miring itu. Karena menurutku masalah tas itu sudah terpecahkan dengan tali yang diberikan pakde Arry padaku. Tapi bagi mereka, daerah yang akan kulalui nanti menuju Bengkulu, membutuhkan lebih dari seutas tali itu.
Aku tak bisa bicara lagi, kecuali membiarkan mereka datang pagi-pagi keesokan harinya hanya untuk memberiku temali yang akan mengikat tasku dengan erat.
Peta dan temali itu kini menggantung di kamarku. Setiap melihat itu, aku selalu ingat akan orang-orang dibalik itu beserta semua ceritanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H