Apa yang kita pikirkan ketika mendengar isu tentang sampah? Bagaimana sampah itu muncul? Apa dampak sosial dari pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah yang buruk? Bagaimana kondisi lingkungan yang tercemar sampah mempengaruhi kualitas hidup masyarakat di sekitarnya? Apa saja inisiatif masyarakat yang berhasil dalam mengatasi isu sampah, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hubungan sosial?Â
Apa peran pemerintah dalam menangani isu sampah, dan bagaimana kebijakan mereka mempengaruhi masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, mungkin kita bisa melihat bagaimana situasi dan kondisi di tempat pembuangan sampah yang ada di Desa Tanggul Kulon.Â
Bayangkan saja, sudah 4 tahun berjalan sejak 2019 masyarakat desa Tanggul Kulon membuang sampah di tanah atau lahan milik salah satu warga. Namun, warga tersebut tak keberatan. Nah, ini yang menarik. Maka dari itu, mari kita bahas!
Berdasarkan perbincangan singkat dengan Sekertaris Desa di Kantor Kepala Desa Tanggul Kulon, terungkap bahwa saat ini belum ada fasilitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang disediakan oleh pemerintah. TPA terdekat berada di Manggisan, yang merupakan TPA dari tingkat Kabupaten.
Pengumpulan sampah di Tanggul Kulon dilakukan oleh petugas pengambil sampah, namun terbatas pada jam-jam tertentu. Pembuangan ini dikoordinir oleh 11 gerobak. Kondisi ini menyulitkan warga dalam membuang sampah, sehingga mereka akhirnya membuang sampah di pinggiran sungai yang melintasi wilayah desa. Di sepanjang pinggiran sungai tersebut, terdapat tanah milik warga yang telah mengalami erosi akibat aliran air sungai.Â
Sampah yang dibuang di lokasi ini mengakibatkan tanah yang tergerus kembali terisi, karena sampah-sampah tersebut dibakar dan diubah menjadi abu. "Sampah tersebut hampir dari semua Tanggul Kulon, efek positifnya sampah tersebut mengurangi erosi. Tapi minusnya disana berbau tidak sedap" Ujar Pak Sekdes.Â
Berdasarkan penelusuran dan pengamatan di pinggiran bantaran Sungai Tanggul Kulon, kami menemukan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Sampah-sampah yang berserakan telah menutupi seluruh permukaan tanah dan sebagian aliran sungai di area tersebut.Â
Penumpukan sampah ini mencerminkan masalah pengelolaan sampah yang signifikan di desa. Masih dilokasi yang sama, terdapat sekelompok orang yang sering berada di sekitar lokasi ini. Mereka terlihat bolak-balik membawa gerobak berisi sampah untuk dibuang di tempat tersebut.Â
Berdasarkan pada keterangan yang disampaikan oleh salah satu Ketua Rukun Tetangga, bahwa tempat pembuangan sementara tersebut baru ada 4 tahun yang lalu.Â
Sebelum warga membuang sampah disitu, lahan tersebut hanyalah lahan kosong yang berada di pinggiran sungai. Sekitar enam tahun yang lalu, lahan ini merupakan sebuah tanah perpajakan yang terletak dekat dengan area kuburan.Â
Awalnya, tanah ini digunakan sebagai tempat pembuangan sampah kayu. Namun, rumah-rumah yang berada di samping kuburan tidak menerima praktik pembuangan sampah tersebut, sehingga terjadi ketegangan antara pihak-pihak terkait. Akibatnya, pembuangan sampah di area tersebut dilarang. Pembuangan sampah kemudian dialihkan ke area yang lebih tengah, yang awalnya dilakukan dengan cara yang terbatas namun kemudian meluas.Â
Larangan pembuangan sampah di tanah perpajakan tersebut memaksa pembuang sampah untuk mencari lokasi lain, yang akhirnya menjadi tanah milik pribadi serta area di sekitar yang disetujui oleh pemiliknya. Â
Jadi tanah yang dimaksud merupakan tanah pribadi yang telah menjadi lokasi pembuangan sampah selama empat tahun terakhir. Pemilik tanah awalnya memutuskan untuk membuang sampah di lokasi ini dengan alasan untuk memperluas daratan dari lebar sungai yang sampai ke pemukiman warga.Â
Saat sungai meluap, pemukiman warga terkena air sungai, sehingga pemilik tanah merasa perlu membuang sampah agar daratan menjadi lebih jauh dari aliran sungai. Meskipun sungai ini awalnya luas, kini sudah tertimbun sampah selama empat tahun, mengubah lanskap dan fungsi ekologisnya.Â
Selain itu, tidak adanya persediaan lahan untuk TPA dari Pemkab juga menjadi salah satu alasan mengapa warga sekitar membuang sampah buangan dapur warga dan sampah plastik ke lokasi tersebut.
Bayangkan jika, 10 atau 20 tahun kemudian dengan kondisi sedemikian rupa, tanpa adanya penanggulangan sampah-sampah di daerah tersebut, kira-kira bagaimana kondisi disana?Â
Kemungkinan sampah akan semakin menumpuk, sejalan dengan terus berlangsungnya aktivitas masyarakat setempat yang akan menghasilkan sampah-sampah rumah tangga. Hal ini, beresiko tinggi terhadap masyarakat itu sendiri, bahkan kemungkinan terburuk hampir keseluruhan dari permukaan sungai akan tertutupi sampah, sehingga bisa berakibat banjir disaat musim hujan.Â
Ketika banjir tiba, sampah-sampah yang berada diatas sungai akan ambles dan menyumbat aliran sungai. Akibatnya, air dari hilir akan meluap karena aliran sungai yang sempit dan air sungai meninggi serta melahap bangunan - bangunan di sebelahnya. Hal ini akan memberi dampak yang merugikan masyarakat itu sendiri.Â
Hemat kami, Ketergantungan pada lokasi pembuangan yang tidak terstandarisasi dan ketiadaan fasilitas TPA mencerminkan kelemahan dalam sistem sosial dan infrastruktur desa.Â
Telah diketahui bahwa tanah tempat pembuangan sampah merupakan tanah pribadi yang telah digunakan selama empat tahun untuk memperluas daratan guna melindungi pemukiman dari banjir.Â
Meskipun awalnya sungai ini luas, penimbunan sampah yang berlangsung selama empat tahun telah mengubah lanskap dan fungsi ekologisnya. disini seolah olah masyarakat lah yang bertanggung jawab atas resiko resiko yang muncul akibat sampah. Dalam konteks ini, kami teringat satu pemikiran dari Ulrich Beck bahwa,Â
"Pada sisi lain, Masyarakat dan resiko diusik oleh suatu paradoks yang melebihi degradasi tingkah laku dan hukum serta peraturan tingkah laku yang lebih berat. Namun berdasarkan keserempakan kolektif sama sekali tak ada anggapan bahwa ada seseorang atau lembaga yang bertanggung jawab"(GoldBlatt, 2019 : 237).Â
Untuk mengatasi masalah ini, perlunya peran dan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, seperti pengembangan fasilitas TPA yang lebih dekat dan peningkatan sistem pengumpulan sampah dari pemerintah, agar semua elemen dalam sistem sosial dan lingkungan dapat berfungsi lebih baik dan lebih adil. Selain itu, pemerintah juga perlu lebih menekan kebijakan mengenai pengelolaan sampah.Â
Disusun Oleh : Ridlo Abdi Nasrulloh (Mahasiswa Sosiologi FISIP UNEJ), May Dinda Riski Adita (Mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP UNEJ), Meysinta Anggun Futsiyah (Mahasiswa Sosiologi FISIP UNEJ), Tria Cahya Anjani (Mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP UNEJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H