Isu ketahanan pangan merupakan masalah yang muncul karena adanya krisis pangan dan kelaparan di dunia. di Indonesia perhatian terhadap tantangan ketahanan pangan ini meningkat sejak tahun 2015. Pada tahun 2020, tantangan ketahanan pangan ini semakin kompleks karena adanya covid-19 dan a konflik antara Ukraina dan Rusia (Muhammad Alfarizi & Ngatindriatun Ngatindriatun, 2023). Bappenas (2022) juga mengatakan bahwa perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi global juga sebagai faktor  di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang mengancam kemampuan negaranya untuk menjamin pasokan pangan yang cukup untuk penduduknya, salah satu  tantangan yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan lahan pertanian.Â
Dilansir dari CNBC Indonesia, Â Pengamat pertanian Khudori mengatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi keterbatasan lahan pertanian. Di sisi lain, luas pertanian per kapita di Indonesia sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,096 hektare (ha) per kepala rumah tangga petani. Luasan tersebut juga masih tertinggal jauh dibandingkan lahan petani di negara lain di ASEAN. Dalam konteks ini Khudori menekankan pentingnya proyek Food Estate di Indonesia.Â
Â
Apa itu program food EstateÂ
 Dilansir dari berita sekretariat kabinet humas (2023), Pada tahun 2023 Presiden Indonesia Joko Widodo  kembali mengusulkan proyek  Food Estate pada periode kedua kepemimpinannya. Program  Food Estate,  proyek lumbung pangan yang dicanangkan kembali oleh presiden Joko Widodo yang  pertama kali dimulai pada era presiden Suharto. Pada tahun 1995, presiden Suharto dengan mengeluarkan "keputusan Presiden nomor 82 tahun 1995" yang dikenal dengan proyek lahan gambut (PLG) (Triswidodo & Faisal, 2024). Food Estate pada era Joko widodo merupakan inisiatif pengembangan produksi pangan pendekatan integratif, yang mencakup sektor perkebunan dan pertanian di lahan yang luas.
 Pada tahun 2020, berdasarkan "PP Nomor 109 tahun 2020 tentang percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Di mana pemerintah merencanakan lahan Food Estate seluas 770.601 Hektar di Kalimantan Tengah, 235.352 Hektar di Sumatera Selatan, 30.000 Hektar di Sumatera Utara dan 2.052.551 Hektar di Papua (Triswidodo & Faisal, 2024) . Pemerintah melihat kebijakan ini adalah kebijakan yang tepat karena tidak hanya mengatasi pangan untuk negaranya tapi proyek ini juga mendukung upaya Indonesia dalam mewujudkan tujuan ke-13 dalam Sustainable Development Goals (SDG's) yang tujuannya mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, dan meningkatkan pertanian berkelanjutan serta yang bersamaan dilakukan penanganan perubahan iklim (Rasman et al., 2023).Â
 Namun, hasil dari Proyek Food Estate di Indonesia mengalami kegagalan yang signifikan, baik dalam aspek lingkungan dan efektivitas peningkatan produksi pangan di beberapa lokasi. lahan Food  Estate yang dikelola tersebut  juga sebagian besar hutan dengan status hutan lindung yang  dihuni masyarakat adat, sehingga berdampak pada permasalahan ekologi dan juga sosiologis yang cukup besar. Karena dengan adanya proyek ini, beberapa masyarakat  merasa khawatir dengan ancaman terhadap hak-hak tanah dan akses atas sumber daya alam mereka. Keadaan ini membentuk beberapa gerakan sosial untuk menentang proyek tersebut.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial adalah salah satu jenis perilaku kolektif yang paling penting jenis perilaku kolektif yang paling penting karena seringkali memiliki efek jangka panjang pada masyarakat kita (Macionis, 2012). Gerakan sosial pada kasus ini muncul karena adanya keluhan dari rakyat adat yang merasa khawatir akan  kehilangan hak tanah dan akses atas sumber daya alam mereka. Kita bisa melihat pergerakan sosial ini melalui teori marxisme. Marxisme adalah sebuah teori yang dikembangkan dan dibuat untuk gerakan sosial karya Karl Max dan Engeles. Mereka merangkum gerakan-gerakan populer pada abad ke- 19 yang mereka hadapi dan mereka kembangkan kembali  menjadi teori marxisme (Barker et al., 2013).  Marx mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif, dalam teorinya Marx menegaskan bahwa di setiap masyarakat pasti ada yang dinamakan kelas sosial di mana ada kelas proletar  yang berisi masyarakat biasa atau kelas pekerja dan kelas borjuis yang berisi penguasa atau kelas menengah yang mempunyai modal atau properti (Roskin, 2017). Marx berpendapat bahwa 'social movement' sebagai reaksi atas kondisi masyarakat yang tertekan oleh kelas penguasa (Prasetijo, 2015).Â
Aksi Penolakan Proyek Food EstateÂ
Dilansir dari TEMPO (2024) Pada Rabu, 16 September 2024 masyarakat adat Papua menggelar aksi demonstrasi di jalan merdeka barat. Dalam aksinya mereka menolak program Food Estate seluas 2 juta hektare yang akan mencaplok hutan adat. Mereka mendesak Presiden, Menteri Pertahanan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, segera menghentikan proyek Food Estate untuk pengembangan kebun tebu dan bioethanol, dan proyek cetak sawah baru sejuta hektar. Demonstrasi ini juga mendapat dukungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebuah organisasi yang sejak lama mengkritisi proyek-proyek yang dianggap berpotensi merusak lingkungan. Walhi (2021) Â mencatat bahwa mencatat proyek bukan solusi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan pangan di wilayah tersebut, melainkan membuka jalan bagi perusahaan besar untuk mengeksploitasikan lahan. Aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak lain dan tidak bukan merupakan cerminan dari perlawanan terhadap kebijakan pembangunan yang sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal.Â
Di era yang digital saat ini, media sosial juga bisa menjadi wadah untuk mendukung gerakan sosial ini. dengan penggunaan tagar #TolakFoodEstate masyarakat dapat berpartisipasi dan menyatukan ribuan suara dari berbagai daerah untuk mendukung perjuangan masyarakat lokal dalam mempertahankan lahan mereka dari kerusakan. Namun gerakan ini menghadapi tantangan besar dari sisi kebijakan dan kekuatan korporasi yang mendukung proyek tersebut. Maka meskipun masyarakat banyak yang mendukung gerakan ini seringkali suara masyarakat tidak cukup untuk melawan kepentingan ekonomi yang ada.Â
kesimpulan
Proyek Food Estate ini menunjukkan bahwa asa ketimpangan besar dalam kebijakan yang dijalankan, di mana kepentingan ekonomi dan korporasi yang lebih diutamakan daripada keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Dalam konteks Marxisme gerakan sosial atau gerakan kolektif ini muncul karena adanya ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan kontrol atas alat produksi, yang di dalam kasus ini berupa akses dan kepemilikan lahan yang didominasi oleh kelas penguasa dan merampas hak-hak serta mengancam kesejahteraan masyarakat adat.Â
Proyek Food Estate seharusnya bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tanpa merenggut hak masyarakat adat dan menimbulkan masalah yang lebih besar. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan  juga sudah menjadi tugasnya untuk bisa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat bukan hanya mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek saja sementara kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan terabaikan. Proyek- proyek seperti Food Estate dapat menciptakan ketimpangan sosial yang lebih besar dan kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan ambisinya saja dalam menangani krisis pangan ini tetapi juga harus mempertimbangkan hal-hal yang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H