Ini dia Jalur Perdagangan Tersibuk di dunia, Laut China Selatan atau The South China Sea. Laut China Selatan adalah wilayah laut yang terbentang dari Selat Malaka di barat daya, hingga Selat Taiwan di timur laut. Laut ini hanya berjarak 100 mil dari garis pantai China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Letaknya yang strategis menjadikan wilayah ini sebagai jalur utama pelayaran perdagangan dunia yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sehingga disebut sebagai Jalur Pelayaran Tersibuk di dunia.Â
Selain itu, Laut China Selatan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Diperkirakan terdapat 190 triliun kubik gas alami, 11 miliar ton minyak, dan sekitar 12% tangkapan ikan dari seluruh dunia berasal dari Laut China Selatan (EIA, 2013). Maka dari itu, banyak negara yang berusaha mengklaim wilayah ini sehingga Laut China Selatan menjadi kawasan yang disengketakan atau diperebutkan.
Sengketa ini diawali dengan klaim yang dilakukan oleh China pada tahun 2009 dengan mengirim sebuah peta kepada PBB. Ia mengklaim kawasan Laut China Selatan di peta dengan Sembilan Garis Putus-putus (Nine-Dash Line) yang merupakan hampir dari seluruh wilayah tersebut. Wilayah ini termasuk Pulau Spratly yang juga di klaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. China juga meminta hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di setiap pulau-pulau yang mengelilingi kawasan Laut China Selatan.Â
Klaim yang dilakukan oleh China didasari dengan catatan sejarah mereka yang menganggap Laut China Selatan sebagai daerah kekuasaan mereka sejak dinasti Han dan Qing. Klaim sepihak tersebut kemudian ditentang oleh internasional, terlebih negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.Â
Namun China tidak menanggapi reaksi internasional dan tetap melakukan pembangunan untuk memperluas pulau buatan serta memasang fasilitas militer di beberapa terumbu karang yang disengketakan, seperti di kepulauan Spratly dan Paracel. Klaim sepihak ini memicu ketegangan diplomatik dan militer antara China dan negara-negara yang terlibat. Karena wilayah ini bersinggungan dengan kedaulatan dan hak berdaulat Negara-negara lain. Â
Lalu apa hubungannya dengan kedaulatan Indonesia? Indonesia memang tidak sepenuhnya terlibat dalam konflik ini, namun Sengketa Laut China Selatan mengancam kedaulatan Indonesia karena wilayah Nine-Dash Line yang diklaim oleh China bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Â Hal ini tentu memicu ancaman kedaulatan Indonesia dengan potensi pelanggaran oleh kapal-kapal China. Indonesia perlu meningkatkan keamanan maritim dan diplomasi proaktif untuk melindungi kepentingan nasional.Â
Selain itu, Para pakar dan akademisi menyebutkan kekhawatiran mereka dengan konflik ini yang tidak hanya melibatkan claimant state tetapi memungkinkan akan terjadinya konflik dengan negara atau kawasan yang memiliki kepentingan besar di daerah perairan tersebut atau justru dapat melibatkan negara yang beraliansi dengan negara yang bersengketa (Asifa, Is mail, Nantika, 2021).
Pada tahun 2021, Pemerintah China mengirimkan surat protes kepada Kementerian Luar negeri Indonesia karena Indonesia telah melakukan pengeboran minyak dan gas alam di Natuna dan meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran mereka karena China menilai Indonesia telah memasuki teritorialnya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan oleh United Nation Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau Hukum Laut PBB. Karena wilayah yang diprotes oleh China merupakan hak berdaulat Indonesia yang sudah ditetapkan pada 1982 yang lalu.Â
Pemerintah Indonesia mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes dari China tidak bisa diterima, karena Indonesia melakukan pengeboran di wilayah landasan kontingen yang sesuai dengan UNCLOS (BBC.com, 2021). Hal yang serupa juga terjadi pada 2 Mei 2023, dimana Kapal riset perikanan China yang bernama Nan Feng terdeteksi dan diduga melakukan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin di ZEE Indonesia.Â
Sementara dalam Pasal 56 (1) dan 246 Unclos 1982 serta Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia hanya boleh dilaksanakan atas persetujuan/izin dari Pemerintah Indonesia (IOJI, 2023). Secara tidak langsung, segala aktivitas yang dilakukan oleh China di ZEE Indonesia adalah aktivitas yang ilegal, dan berarti China telah melanggar hak berdaulat Indonesia.
Dalam hukum internasional, tindakan China tersebut merupakan tindakan unilateral claim, karena mereka tidak bisa mengikat negara lain untuk mengakui apa yang telah mereka klaim. Secara hukum internasional, Indonesia telah melakukan persistent objection (penolakan secara terus-menerus) dan memilih untuk tidak bersikap reaktif. Meskipun China melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan China adalah normal activity karena klaim Laut China Selatan yang mereka buat merupakan klaim berdasarkan sejarah kelautan mereka atau historical title (FHUI, 2016).Â
Tindakan China tentu telah melanggar hukum internasional, karena klaim China sama sekali tidak berdasar dalam hukum internasional, sementara ZEE Indonesia telah diakui oleh UNCLOS dan pada saat itu China tidak keberatan atas klaim Indonesia terhadap teritorialnya. Klaim China terhadap LCS merupakan klaim yang tidak masuk akal dan tidak memiliki dasar hukum yang sah.Â
Dimulai dari klaim laut teritorial sampai mengklaim zona tambahan dan landas kontinen ZEE. Sementara jarak antara China dan titik terluar nine-dash line China sangat jauh dari apa diakui oleh hukum laut. Jika mereka mengklaim karena historical title, seluruh samudera bisa diakui oleh Inggris melihat bagaimana Inggris menguasai lautan pada jamannya.
Oleh karena itu, dalam permasalahan ini Indonesia juga harus mempertegas apa yang sudah menjadi haknya. Karena ini bukan hanya sengketa terkait perikanan, tetapi permasalahan pelanggaran zona maritim, pelanggaran hak berdaulat dan kedaulatan yang tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu adanya upaya yang lebih tegas seperti peningkatan kapasitas pertahanan di wilayah perairan, khususnya di sekitar Kepulauan Natuna. Selanjutnya, memperkuat diplomasi internasional dengan menggalang dukungan internasional melalui forum-forum internasional untuk menghormati UNCLOS 1982 (Hermawan, 2020).Â
Selain itu Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama regional untuk menciptakan front bersama dalam menanggapi klaim-klaim yang tidak sah di LCS (Pratama, 2019). Memperkuat ekonomi maritime Indonesia dari sektor perikanan, pariwisata laut, dan infrastruktur pelabuhan untuk semakin memperjelas kehadiran dan aktivitas ekonomi di Natuna. Meningkatkan patroli dan bertindak tegas jika ada kapal-kapal asing yang masuk dan mengusik hak berdaulat Indonesia.
Dengan langkah-langkah komprehensif tersebut, akan sangat berdampak pada pertahanan Indonesia. Deterrence Effect yang dilakukan oleh Indonesia akan mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh pihak yang tidak sah. Diplomasi internasional yang kuat, akan memberikan dukungan internasional terhadap Indonesia sehingga memperkuat posisi Indonesia di mata global dan Indonesia dapat memastikan bahwa klaimnya diakui dan dihormati oleh Internasional.Â
Selain itu, langkah yang terakhir yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kesadaran melalui kampanye pendidikan tentang pentingnya kedaulatan maritim dan peranan mereka dalam menjaga kedaulatan Indonesia. Peningkatan kesadaran publik tentu akan memperkuat dukungan-dukungan dari masyarakat akan kebijakan pemerintah tentang Laut China Selatan. Dengan itu legitimasi dan efektivitas kebijakan tersebut semakin kuat untuk melindungi kedaulatannya (Wijaya, 2018).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI