Mohon tunggu...
Sharon
Sharon Mohon Tunggu... Apoteker - Farmasis, Badminton lover

Manusia yang sedang belajar untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kadang Kita Tidak Sadar, Kitalah Penjahatnya

22 Agustus 2024   08:43 Diperbarui: 22 Agustus 2024   08:51 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu sewaktu kecil, ketika saya dibacakan kisah-kisah dalam Kitab Suci. saya sering bertanya dalam hati "Mengapa sekiranya seseorang mau mengambil peran antagonis?" Apalagi tokoh-tokoh yang dianggap suci. Mengapa mereka mau saja menjadi nabi palsu yang banyak menjilat rajanya yang sudah jelas tidak sesuai dengan Firman Allah. Pikiran polos itu pun tak kunjung menemukan jawabannya. Hingga suatu hari, hal ini terjadi dalam kehidupan saya.

Baru minggu lalu, saat saya beribadah pemuka agama saya memberkati orang yang jelas berdosa di mata Allah. Hal ini sangat membakar hati saya. Gejolak luar biasa saya rasakan. Saya tahu bahwa saya tidak boleh membenci siapapun. 

Tuhan saya mengajarkan kasih pada semua orang tanpa terkecuali. Tapi, hati nurani saya terasa teriris-iris betapa dengan mudahnya pemuka agama saya turut memberkati mereka yang tak layak. Lalu tiba-tiba, kalau bahasa orang suci si saya dapat pewahyuan. 

Terpikir lah dalam benak saya, benarkan Tuhan memberkati orang berdosa. Karena saya ingat ada satu kitab bijaksana yang jelas-jelas mengecam perbuatan buruk orang fasik. Sampai akhirnya saya sampai di satu titik pemahaman baru tentang Tuhan, ya saya tidak bisa membenci dan harus mengasihi orang berdosa. Bahkan saya pun harus mendoakan mereka. Tapi apa yang perlu saya doakan? Nah ini yang menurut saya menarik. 

Doa untuk orang berdosa bukan lah doa berkat, namun doa pertobatan. Nantinya bila sudah bertobat baru lah berkat bisa datang. Sebuah hal yang sangat melegakan untuk saya. Saya tahu bahwa hati nurani saya tidak salah saat pemuka agama saya mendoakan sesuatu yang 'tidak benar'. 

Nah lalu apa hubungannya dengan cerita masa kecil saya? Di sini lah saya menyadari satu  hal, bahwa bisa jadi pemuka agama saya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan sudah melenceng. Dia tidak pernah bermaksud menjadi si 'nabi palsu'. Dia masih berdoa pada Tuhan yang sama, meskipun jelas hati nuraninya ada yang salah. Dalam pikirannya dia masih merupakan sang nabi pilihan Allah.

Di sini lah saya paham dengan betul, bahwa sebenarnya tidak pernah ada orang yang ingin menjadi antagonis dalam hidupnya. Dalam pikiran kita, kita slalu benar. Bahwa kita lah sang protagonis dalam cerita-serita yang tertulis. Dan ini menjadi sebuah kengerian pula dalam hidup saya. 

Bahwa saya pun harus rajin berintropeksi, untuk memastikan nurani saya masih akan tetap hidup untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, agar suatu saat ketika cerita zaman ini ditulis di kemudian hari, saya bisa menjadi bagian dari protagonis. Bukan antagonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun