Mohon tunggu...
Sharfina
Sharfina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer

Suka jalan-jalan ke tempat baru sambil motret tidak asal jepret 📸

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Pengalaman Merasakan Dunia Seni Korakrit Arunanondchai dan Natasha Tontey di Museum Macan

23 Desember 2024   11:26 Diperbarui: 24 Desember 2024   14:27 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imago's Working Desk karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 

Halo Kompasiner, sebentar lagi libur Natal dan Tahun Baru 2025, bagaimana nih rencana liburan kamu?

Kalau kamu masih bingung mau ke mana liburan Nataru, aku saranin kamu pergi ke Museum Macan.

Pasalnya dari 30 November 2024 hingga 6 April 2025, kamu bisa melihat pameran seni "Sing Dance Cry Breathe I as their world collides on to the screen" karya perupa Thailand bernama Korakrit Arunanondchai dan juga "Primate Visions: Macaque Macabre" karya asal Minahasa bernama Natasha Tontey.

Nah belum lama ini, aku berkesempatan ke Museum Macan untuk melihat karya mereka berdua. Untuk harga tiketnya sendiri Rp 70.000 jika hari biasa, dan jika weekend kamu harus merogoh kocek sebesar Rp 90.000.

Menyelami persimpangan kehidupan kontemporer dan kepercayaan lewat Karya Korakrit Arunanondchai 

Nah berhubung belum lama ini aku baru saja mengunjungi Museum Macan, aku akan menceritakan bagaimana pengalaman melihat pameran tunggal perdana Korakrit Arunanondchai di Indonesia bertema "Sing, Dance, Cry, and Breathe as their world collides on to the screen". 

Sebelum memasuki ruang utama, aku menjumpai instalasi yang terbuat dari tanah yang dibentuk menjadi hamparan tanah retak bewarna cokelat dan di atasnya terdapat sebuah tulisan timbul yang terbuat dari campuran abu, tanah, dan cat rumah.

Stage Excerpts (Dokumentasi pribadi)
Stage Excerpts (Dokumentasi pribadi)

Selama melihat karya Korakrit Arunanondchai, terdapat dua symbol yang sering saya lihat, yaitu burung dan ular. Dari petunjuk teks yang saya baca, kedua simbol ini senantiasa muncul dalam berbagai mitos yang menceritakan tentang asal-usul manusia.

Selain burung dan ular, unsur api yang menjadi motif berulang dalam karyanya sebagai cerminan dari proses penciptaan dan kehancuran.

Memasuki ruang utama yang nampak temaram, terdapat patung tangan tanpa tubuh yang sedang memainkan keyboard. Kedua tangan tersebut menggambarkan sang kakek perupa yang dahulu biasa memainkan lagu favoritnya semasa hidup.

Lalu terdapat instalasi imersif berjudul "No history in a room filled with people funny names 5" yang sayangnya tidak dapat difoto. Di ruangan tersebut terdapat tiga kanal video yang menggabungkan berbagai kisah yang berbeda.

Selanjutnya, aku memasuki ruangan bernama "Stage" yang dipenuhi dengan lukisan dan teks doa yang dipahat di sepanjang pinggiran ruang.

Lukisan Self Portrait II karya Arunanondchai yang banyak memberi sentuhan warna biru serta api (Dokumentasi pribadi)
Lukisan Self Portrait II karya Arunanondchai yang banyak memberi sentuhan warna biru serta api (Dokumentasi pribadi)

Kemudian di Tengah kegelapan, terdapat jubah dukun dua sisi yang berjudul "The Medium" yang dikenakan oleh Arunanondchai saat ia memerankan karakter dukun dalam video Songs for Living.

Jubah The Medium (Dokumentasi pribadi)
Jubah The Medium (Dokumentasi pribadi)

Dan dengan pendekatan naratif yang tidak biasa, pameran ini mampu mengeksplorasi hubungan antara bumi dan langit.

Eksplorasi Interaksi antara Manusia dan Primata lewat karya Natasha Tontey dalam Primate Visions: Macaque Macabre 

Setelah melihat pameran seni sarat akan simbolisme dari karya Korakrit Arunanondchai, aku pun lanjut menelisik karya Primate Visions: Macaque Macabre menggambarkan hubungan kompleks antara masyarakat Minahasa Selatan dan monyet jambul hitam Sulawesi atau Yaki.

Cellular Being  karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 
Cellular Being  karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 

Memasuki ruang pameran, aku disambut dengan gua prasejarah dengan pintu berbentuk bokong makaka jambul hitam.

Gua yang tampak asing ini dibangun dalam lanskap surealis, memancing pertanyaan mendasar mengenai asal-usul manusia dan hubungannya dengan primata lain.

Dalam Primate Visions: Macaque Macabre, Natasha Tontey menggabungkan berbagai elemen artistik melalui instalasi seni yang menarik, seperti kostum, set film hingga proyeksi multi-layar yang menggabungkan elemen video game, video musik, dan fiksi fantasi sehingga pengunjung terasa seperti mengunjungi dunia fiktif.

Creation is Fabrication; Intimacy of Stangers karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 
Creation is Fabrication; Intimacy of Stangers karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 

Memasuki area tengah, instalasi yang ditemukan semakin unik karena pengunjung akan menemukan peralatan medis dan biologi serta dihiasi panel organik menyerupai daging, beberapa di antaranya ditutupi rambut. Dengan bentuknya yang menyerupai organ dalam, objek-objek ini memicu beragam emosi terhadap sesuatu yang asing atau bahkan mengerikan.

Imago's Working Desk karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 
Imago's Working Desk karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 

Kemudian, pengunjung juga akan melihat dua Yaki yang mengenakan kostum yang terinspirasi dari ritual Mawolay yang merupakan tradisi Minahasa, ritual yang melibatkan kostum menyerupai monyet untuk melindungi desa dari Yaki.

Yaki karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 
Yaki karya Natasha Tontey (Dokumentasi pribadi) 

Lewat pameran tersebut, pengunjung juga dapat menyaksikan Primate Visions: Macaque Macabre (2024). Film tersebut menceritakan seorang ahli primatologi eksperimental dengan spesialis studi kera dan monyet yang bersama kedua rekannya membebaskan dua ekor yaki dari kurungan. Kelimanya memulai sebuah perjalanan surealis hingga memunculkan ragam diskusi panjang mengenai evolusi manusia hingga bagaimana studi primata bergandengan dengan peradaban manusia.

Jadi itulah sepenggal Pengalaman Merasakan Dunia Seni Korakrit Arunanondchai dan Natasha Tontey di Museum Macan. Gimana, menarik kan?

Sumber referensi: 1 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun