Sudah 2 bulan lebih saya tidak nulis di Kompasiana, selama saya mengkarantina diri  di rumah aja. Gimana apa kabar kalian yang di rumah aja, sudah mulai jenuh dan bingung mau ngelakuin apalagi?
Memang kita tidak bisa berbohong kalau situasi seperti ini membuat diri kita jenuh, gabut hingga bingung dengan aktivitas apalagi yang mau dikerjain.
Selama di rumah aja, aktivitas kita pasti enggak jauh jauh dari streaming dan main sosmed, iya ga sih? Soalnya saya menyadari diri saya seperti itu. Niat mau "puasa" sosmed, tapi tangan gatel terus untuk buka sosmed khususnya Instagram. Sehingga, karena "rajinnya" buka Instagram, saya jadi sering lihat postingan Insta Stroy Instagram teman saya ketimbang postingannya di feed.Â
Di postingan Insta Story tersebut, saya sering melihat beberapa teman saya yang mengeluh karena kondisi ini, beberapa dari mereka mengeluhkan rasa bosannya karena di rumah terus, bahkan teman saya dikenal introvert  tiba-tiba muncul lagi di Instagram yang mengeluhkan "kalau orang introvert lama-lama juga bosen dengan kondisi ini."Â
Well, saya pun tak bisa berkomentar, sebab meski banyak yang bilang kalau di masa pandemi ini orang introvert akan merasa "blessing in disguise", tapi tetap saja yang namanya manusia pasti ada rasa jenuh dan tetap membutuhkan interaksi dengan orang lain. Namun, meskipun begitu, rasanya saya sedikit mau berbagi kisah kontemplasi sejenak yang sempat saya renungi akhir-akhir ini.
Jadi dulu sebelum diterapkan PSBB, pekerjaan saya sebagai pekerja media yang mengharuskan saya bekerja shift dengan kondisi libur yang berbeda dari pekerja normal pada umumnya, sering kali karena shift yang tidak menentu setiap minggunya, saya merasa tidak mungkin punya waktu untuk belajar atau bahkan upgrade skill.
Sempat ada keinginan yang tinggi sekali untuk melanjutkan S2 sembari kerja atau setidaknya upgrade skill dengan mengikuti kursus di luar setelah kerja, namun dengan jenis pekerjaan yang saya ambil sekarang ini, saya merasa tidak yakin akan sanggup, jadi saya pun memilih pekerjaan sebagai skala prioritas, maklum saya anak sulung.Â
Saya sadar, semakin bertambahnya usia, manusia pun harus bertambah ilmunya. Saya tidak mau menyesal seperti beberapa orang yang menyesal di usia tua karena meninggalkan ilmu. Jadi, ketika pandemi ini hadir dan mengharuskan semua orang bekerja dan sekolah dari rumah, saya melihat ada sebuah peluang positif.Â
Alhamdulillah, waktu yang biasa saya habiskan untuk perjalanan pulang dari kantor ke rumah, kini dapat saya manfaatkan untuk cari pelatihan online dari YouTube.Â
Meskipun, memang tidak relate dengan kerjaan saya sekarang ini, tapi saya tetap merasa perlu belajar, siapa tahu vocab saya jadi bertambah lagi, siapa tahu nanti saya mau kuliah S2 lagi dan siapa tahu lainnya....
Selain usaha untuk belajar dan upgrade skill, pandemi ini mengajarkan saya memeluk kembali sisi "kekeluargaan" yang sempat longgar. Ketika saya menulis bagian kisah  ini, jujur saya berusaha menahan air mata saya yang hampir jatuh. Iya saya sedih.Â
Saya sadar sebagai anak sulung dan adik-adik saya sudah besar sering kali kita sibuk dengan aktivitas kita masing-masing, kita jarang sekali bercengkrama. Komunikasi saya antar saudara dan orangtua bisa dikatakan tidak terlalu intens, bahkan seadanya dan jika ada perlunya saja.Â
Ada momen yang saya merasa gagal, sedih, kecewa sebagai kakak, saat sobat saya bertanya mengenai "sekolah adik yang yang kecil di mana dan sudah kelas berapa", namun saat itu saya tidak bisa jawab yaa karena saya "jarang" sekali bertemu dengan adik bahkan ngobrol meski kita satu atap. Ya gimana dong, karena saat saya pulang kerja, dia sudah tidur dan saat saya akan bersiap-siap untuk pergi kerja, dia sudah berangkat sekolah dengan motornya.Â
Miris memang, namun sekarang saya bersyukur Tuhan dekatkan jarak yang sempat longgar itu. Dengan kita "di rumah aja", kami jadi saling bercanda, saling usil lagi dan ternyata adik saya sudah pada besar, seketika saya jadi kangen masa-masa selesai jam kuliah, saya  jemput adik saya yang kecil di sekolah dasar.😢
Bahkan kini, kalau saya masuk di shift siang atau saya masuk pagi (it means shift kerja saya selesai sore), saya bisa bantu ibu saya di dapur untuk masak.Â
Dan lagi, dari dapur saya jadi belajar masak, dapat menu baru dan tentunya saya senang dengan bounding antara saya dan ibu saya. Itu istimewa sekali buat saya. Saya senang bisa membantu ibu saya, yang mana dulu tidak pernah saya lakukan karena waktu yang jarang sekali saya miliki.Â
Maka kini, waktu untuk ibadah berjamaah yang diberikan Tuhan dapat kita lakukan bersama meskipun dari rumah. Seperti itu sisi posistif yang saya dapat dari " di rumah aja" selama dua bulan ini.
Pernah suatu kali, saya dan beberapa teman saya video call dan banyak sekali orbolan yang kami bahas ketimbang saat harus ketemu tiap hari.Â
Ternyata benar kata Tulus, "Beri aku kesempatan untuk bisa merindukanmu. Jangan datang terus. Beri juga aku ruang bebas dan sendiri. Jangan ada terus. Aku butuh tahu seberapa kubutuh kamu. Percayalah rindu itu baik untuk kita."
Yaa begitulah sedikit kontemplasi yang saya rasakan selama hampir dua bulan di rumah aja, banyak hikmah dan sisi positif yang dapat diambil. Bagi kamu yang masih mengeluh, boleh aja mengeluh, namun jangan terlalu sering apalagi setiap hari.Â
Iya, saya tahu kamu bosan, tapi coba deh dilihat sisi postifnya. Coba kontemplasi sejenak supaya kamu tahu apa yang kamu mau dan apa yang kamu butuh dan apa yang perlu kamu perbaiki dan apa yang perlu kamu selesaikan.😊
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H