Berbicara mengenai kota Rangkasbitung yang berada di Banten, pasti untuk sebagian orang akan memandang sebelah mata dan beranggapan bahwa di kota tersebut tidak ada sesuatu yang menarik untuk dikunjungi. Â
Kalau kamu masih beranggapan demikian, kamu salah besar, guys. Justru sebaliknya, selain menawarkan objek wisata alam dengan panorama pantai serta air terjunnya yang indah nan memanjakan mata, di kota tersebut juga terdapat sebuah objek wisata edukatif, yaitu Museum Multatuli.
Museum Multatuli merupakan objek wisata edukatif yang berada di Jalan Alun-alun Timur No. 8 Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Untuk menuju ke sana, tentu tidaklah sulit.Â
Belum lama ini tepatnya hari Sabtu, 22 September 2018, saya bersama adik saya mengunjungi Museum Multatuli dari stasiun Jurangmangu dan kami menunggu di peron 2. Kami berangkat pukul 12.20 siang dan saat itu kereta sangat penuh, sehingga kami berdiri selama 1,5 jam.Â
Peron 2 di Statiun Jurangmangu yang membawa kami ke Rangkasbitung
Berdiri selama 1,5 jam membuat kaki kami pegal, beruntung selama perjalanan, kami berdiri di dekat pintu kereta sehingga kami masih bisa melihat pemandangan sawah dan juga sungai. Ketika tiba di Rangkasbitung, kami pun mencari angkot, awalnya kami bingung karena tidak ada angkot untuk jurusan ke Museum, untungnya angkot yang kami tumpangi mau mengantarkan kami bersama para penumpang lainnya ke tujuan mereka masing-masing (baca: nyarter angkot dadakan).
Bagian depan Museum Multatuli
Tak butuh waktu lama, perjalanan selama 5 menit, akhirnya kami tiba di depan Museum Multatuli. Museum Multatuli sendiri merupakan bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibagun pada tahun 1920-an dan baru diresmikan pada tanggal 11 Februari 2018.
Letak Perpustakaan Saidjah Adinda yang berada di samping Museum Multatuli
Museum Multatuli berdiri berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah Adinda. Â Jadi, jangan heran ketika ke sana, kamu akan menemukan perpustakaan tersebut lalu disusul dengan Museum Multatuli yang berada di dalam sebuah pendopo yang cukup luas dengan tiang-tiang yang panjang. Selain itu, di dekat halaman Museum tepatnya pintu masuk, kamu akan menemukan patung Multatuli yang sedang membaca buku.Â
Patung Multatuli dan Adinda karya Dolorasa Sinaga
Sejarah anti koloniasme itu pun dimulai saat memasuki Museum Multatuli Sebelum memasuki Museum, saya dan adik saya mengisi buku kunjungan terlebih dahulu. Ketika kami mulai memasuki museum, saya melihat sepenggal kalimat "Tugas Manusia Adalah Memanusiakan Manusia", lalu di samping kalimat tersebut terpampang wajah Multatuli yang tak lain merupakan nama pena Eduard Douwes Dekker yang merupakan penulis Max Havelaar.
Patung Multatuli yang berada di dekat pintu masuk
Berhubung hari sabtu siang itu sepi, kami pun menjelajahi setiap bagian ruangan dengan santai. Meskipun bangunan museum ini sangat kecil dari luar, namun tata letaknya mampu dibagi menjadi 7 ruangan dan 4 segmen. Di ruangan ini juga, kamu akan melihat kata-kata inspiratif dari Multatuli yang ditampilkan melalui slide. .
Selanjutnya, di ruangan kedua terdapat mini teater yang menceritakan masuknya sejarah kolonialisme ke Indonesia dan bagaimana penerapan tanam paksa digambarkan melalui audio visual berbentuk gambaran animasi.Â
Selain itu, di ruagan tersebut juga terdapat replika perahu kolonial Belanda yang digunakan ketika datang ke Indonesia dan juga terdapat replika rempah-rempah yang diperdagangkan oleh Belanda, mulai dari pala, lada, cengkeh dan kayu manis.
Penampakan di ruangan kedua yang mana di sini terdapat mini teater dan replika kapal Kolonial Belanda beserta rempah-rempah yang diperdagangkan ketika Belanda masuk ke Indonesia.
Replika kapal kolonial Belanda
Rempah-rempah yang diperdagangkan oleh Belanda ketika datang ke Indonesia
Memasuki ruangan ketiga, saya masuk ke sebuah ruangan yang sedikit lebih kecil, yang mana ruangan ini berisikan barang-barang yang pernah dikenakan pemerintah Belanda dan warga lokal ketika masa penjajahan.Â
Agak sedikit ke tengah, saya melihat ruangan berisi biji kopi dan alat-alat yang digunakan untuk membuat kopi kala itu. Menariknya lagi, di sini, kamu juga dapat melihat peta persebaran kopi di Indonesia, bahkan kamu juga dapat melihat uang logam koin 1 Sen yang dikeluarkan tahun 1857.
Topi Sinder digunakan pengawas perkebunan di masa kolonial, topi Udeng biasa digunakan masyarakat Lebak.
Alat penggiling biji kopi di masa itu
Ruangan berikutnya yang agak lebih besar adalah ruangan para tokoh terkenal, seperti Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, R.A. Kartini yang terinspirasi oleh aksi anti kolonialisme yang pernah dilakukan Multatuli.Â
Di dalam ruangan ini kamu bisa melihat buku-buku karya Multatuli, salah satunya yang terkenal adalah Max Havelaar. Tak hanya itu, di ruangan ini juga terdapat surat Multatuli yang dia tulis sebagai bentuk protesnya kepada Raja Belanda, William III terhadap penjajahan yang dia lakukan di tanah Indonesia.
Para tokoh yang menginspirasi
Max Havelaar karya Multatuli
Surat Multatuli kepada Raja Belanda, william III yang berisi protes terhadap penjajahan
Nah, selanjutnya saya pun melanjutkan ke ruangan berdinding merah. Pada ruangan ini, kamu akan melihat cerita penjajahan yang terjadi tanah Banten serta pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Banten terhadap Belanda di kala itu. Bahkan, di sini kamu juga dapat melihat tombak yang digunakan penduduk Banten saat melawan Belanda.
 Eits....tapi tak boleh disentuh, cukup dilihat.
Ruangan yang menceritakan bagaimana perjuangan masyarakat Banten dalam menolak dan melawan penjajahan. Di ruangan ini juga terdapat tombak yang digunakan masyarakat Banten untuk melawan penjajahan di kala itu
Setelah meneusuri ruangan bercat merah, saya pun menelusuri ruangan bercat cokelat. Di dinding ruangan tersebut ditampilkan sejarah terbentuknya Kabupaten Lebak pada tahun 1828. Di tengah ruangan itu, kamu akan menemukan replika prasasti Cidanghiyang dan baju bupati yang biasa digunakan dalam acara resmi. Di samping baju bupati, kamu juga akan melihat alat tenun motif Baduy yang sudah terkenal di seantero dunia.
Di ruangan ini pengunjung dapat melihat sejarah terbentuknya kabupaten Lebak. Selain itu, tepat di tengah ruangan ini, pengunjung dapat melihat prasasti Cidanghiyang yang berasal dari Kerajaan Tarumanegara
Baju Bupati yang biasa digunakan ketika acara resmi
Kain Batik Baduy yang kini sudah terkenal hingga ke seantero dunia, dulu dijahit menggunakan alat tenun ini. Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan menenun untuk waktu-waktu tertentu
Masuk ke ruangan terakhir yang berdekatan dengan pintu keluar, kamu akan menemukan 15 buku Max Havelaar yang dicetak dalam berbagai bahasa dan dipajang dalam sebuah rak bewarna putih. Selain itu, di dinding yang bersebelahan dengan buku Max Havelaar, kamu akan melihat 12 motif batik khas Lebak beserta maknanya.
Di ruangan terakhir ini juga yang bikin saya kagum adalah saya dapat melihat tokoh-tokoh asli keturunan Rangkasbitung, seperti W.S. Rendra, Tan Malaka, Mariah Ullfah, Misbach Yusa Biran dan Eugenia Van Beers.
Para tokoh yang lahir di Rangkasbitung
Max Havelaar yang diterjemahkan ke berbagai bahasa
12 Motif batik khas Lebak
Jadi, bagi kamu yang ingin berwisata edukatif, Museum Multatuli bisa dijadikan referensi untuk menghabiskan akhir pekan bersama teman maupun keluarga. Cukup naik kereta dan turun di Rangkasbitung, kamu bisa menambah ilmu pengetahuan mengenai penjajahan Belanda di masa lalu.
Multatuli dan kata-kata mutiaranya dapat kamu lihat di slide yang terpampang di ruang utama
Info:
Buka: Selasa-Minggu: 08.00-16.00
Tutup: Senin dan Libur Nasional
NB: Ada baiknya kamu yang ingin berkunjung ke sana datanglah dari pagi, khususnya akhir pekan atau hari libur nasional, sebab kereta yang menuju Rangkasbitung sering sekali mengalami kepadatan penumpang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Trip Selengkapnya