Fisik
4.783 (43%)
Seksual
2.807 (25%)
Psikis
2.056 (19%)
Ekonomi
1.459 (13%)
Dari data diatas yang mana sebuah gambaran umum terjadinya sebuah kekerasan terhadap perempuan, dikutip dari CATAHU 2020 dari sepanjang 2019 kekerasan yang mendapat perhatian khusus dari laporan Inses, Pelaku kekerasan yang paling banyak dilakukan merupakan ayah kandung korban, ayah tiri dan paman). Sementara itu, kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan pacaran meningkat dari 97 menjadi 281 kasus yang di laporkan kepada Komnas Perempuan. Selain itu terdapat catatan khusus tentang kondisi buruknya keamanan di Papua dan menguatnya isu rasial. Kunjungan Komnas Perempuan ke Jayapura dan Manokwari memberikan dampak pengembalian formulir dari Polres maupun PN. Sementara lembaga layanan non pemerintah dapat dibayangkan dalam kondisi yang sulit ditengah konflik terutama akses komunikasi dan informasi yang berkaitan dengan jaringan internet, dibandingkan dengan lembaga layanan pemerintah. Terkait tentang lembaga layanan tersebut, baik Papua maupun wilayah timur Indonesia lainnya serta daerah-daerah terluar di Indonesia perlu menjadi perhatian sendiri dari pemerintah.
Adapun Kesenjangan jumlah kasus yang ditangani Kepolisian namun tidak sampai ke tahap Pengadilan, terpantau banyak terjadi pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pada tahun 2018 Komnas Perempuan bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia RI didukung oleh UN Women melakukan kajian bertajuk "Urgensi Mempercepat Optimalisasi dan Efektivitas Pelaksanaan UU PKDRT." Kajian ini menemukan adanya penafsiran beragam bagaimana UU PKDRT diterapkan dimana masih dipengaruhi pandangan bahwa persoalan KDRT adalah persoalan personal dan pentingnya menjaga kelangsungan rumah tangga. Pandangan ini mempengaruhi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus KDRT, seperti menggunakan pasal yang ringan hukumannya, hingga menjatuhkan pidana yang ringan dan pidana bersyarat dengan pertimbangan untuk tidak membuat keluarga terpisah satu sama lain. Pandangan ini berdampak pula pada penyelesaian KDRT melalui restorative justice, mediasi, atau upaya damai dalam kasus KDRT di beberapa daerah di Indonesia khususnya dalam tahap di Kepolisian. Padahal pencabutan perkara maupun penyelesaian secara damai pada faktanya tidak serta merta menghentikan KDRT bahkan KDRT terjadi berulang dan lebih parah.
Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa tentang kekerasan seksual, Komnas Perempuan diundang untuk mendengarkan testimoni seorang mahasiswi yang menceritakan Ayah kandungnya sebagai pelaku kekerasan seksual. Setiap malam Ayah kandung memasuki kamar anak perempuannya, dengan cara merusak kunci dan gagang pintu kamar. Sang anak mengganjal kamarnya di malam berikutnya dengan lemari, namun sang ayah kembali memaksa masuk dan secara berulangkali tindakan percobaan perkosaan terjadi terhadap anaknya sendiri. Sang anak tidak berani melaporkan karena merasa kasihan dan tidak tega pada ibunya. Ini menunjukkan bahwa persoalan inses dan kekerasan seksual dalam keluarga bukan soal infrastruktur kamar yang terpisah atau tidak, melainkan tindakan keji predator seksual yang dilakukan Ayah kandungsendiri.
Beralih dari pembahasan diatas adapun alasan-alasan perceraian:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (Zina, Mabuk, Madat, Judi)
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya (meninggalkan salah satu pihak)
- Kekerasan dalam rumah tangga
- Salah satu pihak mendapat penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
- Antara suami istri terus-menerus terjadi perelisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (perselisihan dan pertengkaran terus-menerus)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H