- Cinta kasih (di mana kita belajar dicintai dan mencintai)
- Pertumbuhan karakter (di mana karakter kita diasah untuk menjadi semakin matang dan dewasa)
Saat kita menyadari bahwa pernikahan bukan bertujuan untuk kebahagiaan diri sendiri, melainkan sebagai tempat kita belajar cinta kasih dan karakter, maka kita mempersiapkan pikiran dan perasaan kita untuk menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan dalam pernikahan, dan memperlakukannya bukan sebagai kepahitan, melainkan sebagai ujian kenaikan kelas.
Itu jugalah  yang terjadi dengan Pak Indro. Beliau telah berhasil melalui "ujian kelulusan" dari Yang Ilahi dan naik ke jenjang berikutnya dalam kehidupannya.
2. Komitmen
Tidak ada satu pun pernikahan yang dapat bertahan tanpa kehadiran komitmen. Dari banyak pasangan yang masih mempertahankan pernikahannya, sebagian mempertahankan pernikahan hanya demi anak. Sebagian lagi bertahan karena adanya dampak perceraian yang tidak akan mampu ditanggungnya. Ini semua bukan komitmen yang kuat. Ini adalah komitmen "terpaksa" yang mengikat kita untuk tidak bisa memilih secara sukarela apa yang kita inginkan.
Pernikahan dengan komitmen "terpaksa" seperti itu hanya menunggu waktu saja. Saat anak besar, tidak ada lagi ikatan yang mengikatnya. Atau saat penghasilan diri sendiri sudah mampu menunjang hidup layak, maka pernikahan tidak lagi dibutuhkan. Perceraian pun tidak terhindarkan. Maka diperlukan usaha dan perjuangan yang keras (namun tentu tidak mustahil dilakukan) untuk memiliki komitmen yang bukan sekedar ikatan.
Komitmen dalam pernikahan yang sehat adalah komitmen yang berupa dedikasi. Komitmen yang melibatkan pengabdian penuh satu dengan yang lain, sebagai satu tim bersama yang saling mendukung dan mempunyai visi akan masa depan bersama. Dengan dedikasi, tidak ada lagi aku dan kamu, tetapi kita. Dedikasi mengutamakan kepentingan pasangan dan melihat pernikahan sebagai prioritas dalam hidupnya.
Komitmen ini yang telah membuat Pak Indro Warkop memprioritaskan istrinya dalam pengobatan kanker yang sangat memakan waktu, tenaga dan biaya, dan tetap memilih mencintai istrinya.
3. Bersahabat dengan Pasangan
Saya berulang kali membaca atau mendengar ada orang yang mengatakan "aku tidak bisa pacaran dengan sahabat sendiri." atau "aku tidak bisa jatuh cinta pada sahabat sendiri". Sayangnya untuk pernikahan yang sehat dan bahagia, friendship adalah wajib hukumnya.
Mungkin kita mencintai pasangan kita dimulai dengan daya tarik fisik atau perhatiannya. Tetapi kalau kita tidak melengkapi cinta romantis kita ini dengan persahabatan, cinta kita akan cepat kandas secepat kita jatuh cinta.
John Gottman, yang telah meneliti ribuan pasangan, mengatakan bahwa 67% pasangan mengalami hubungan yang memburuk setelah kelahiran anak mereka yang pertama. Dan hanya 33% (sepertiga) saja yang berhasil melaluinya tanpa mempunyai hubungan yang memburuk dengan pasangannya. Benang merah dari 33% pasangan tersebut adalah persahabatan dengan pasangan.
Orang yang bersahabat dengan pasangannya kenal seluk-beluk, jatuh-bangun, suka-duka, pikiran-perasaan dari pasangannya. Mereka berbagi segalanya. Bukannya sosial media yang diupdate, tetapi pasangan mereka yang diupdate dengan status-status baru, tentang apa saja yang baru dialaminya. Mulai dari lama menunggu busway, hingga makan makanan padang yang lezat. Dari kaus kaki yang robek hingga bulu mata yang rontok. Dengan selalu up-to-date dengan pasangan, kita dikatakan mempunyai Peta Cinta yang mendetail akan pasangan kita.