Mohon tunggu...
Shanty Tindaon
Shanty Tindaon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A dreamer who believes in her dreams and will make it happen by the faith and the power of God. www.shantycr7.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Pengalaman Buruk Naik bus dari Pulogadung Menuju Yogyakarta

14 Juni 2016   21:12 Diperbarui: 14 Juni 2016   23:31 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc Pribadi. Supir dan 4 anak buahnya sedang duduk santai sementara penumpang gelisah di dalam bus

Berawal dari keteledoran saya yang lupa memasang alarm pukul 03.00 di HP. Saat itu hari Jumat, 3 Juni 2016 pukul 05.00 kurang 10 menit saya terbangun dengan sangat kaget karena saya sudah sangat telat bangun, ya saya telat 2 jam dari jadwal bangun yang telah saya set sebelumnya. Hari itu adalah hari keberangkatan saya bersama abang ke Yogyakarta untuk sekadar holiday. Kami sudah memesan tiket kereta dari stasiun Pasar Senen Jakarta menuju stasiun Tugu Yogyakarta dengan keberangkatan pukul 06.45. Saya sedang berdomisili di Tangerang daerah Cisauk jadi butuh waktu sekitar 2 jam menuju stasiun Pasar Senen. Dengan sangat terburu-buru, akhirnya kami berangkat dari Tangerang menuju stasiun Pasar Senen pukul 05.30. Kami pun menaiki kereta apa saja yang mengarah ke stasiun tujuan yang penting memungkinkan untuk tiba dengan segera.

Sesampainya di Pasar Senen, kereta menuju stasiun Tugu sudah berangkat, kami telat 15 menit dan tiketpun hangus. Kami berdua sangat menyesal dengan keadaan itu. Kami sudah berusaha mencari cara lain namun pilihan terakhir adalah naik bus dari terminal Pulogadung menuju Yogyakarta, suatu pilihan yang sangat tidak saya sukai, namun karena tiket kereta dari Yogyakarta-Jakarta dan penginapan sudah dipesan, maka saya pun mengiyakan tawaran naik bus oleh siabang.


Dari stasiun Pasar Senen menuju terminal Pulogadung kami menaiki salah satu mobil yang menggunakan fitur online booking. Sesampainya di terminal (tepatnya masih sekitar 5 meter dari pintu masuk terminal), kami dengan cepat didatangi oleh seorang lelaki paruh baya yang dengan tergesa-gesa menanyai tujuan kami untuk diarahkan ke bus tertentu sambil seolah menahan langkah kami yang berjalan mencari bus yang menurut abang saya cukup nyaman. Tentu saja bus yang ditawarkan tapi tidak dia sebutkan namanya itu bertolakbelakang dengan kemauan kami, namun dia terus memaksa kami mengikuti dia, abang saya meminta baik-baik untuk membiarkan kami mencari bus tujuan kami karena sepengalaman abang, mereka yang notabene adalah calo itu sekadar mementingkan keuntungan pribadi tanpa melihat kepuasan penumpang.
“Mohon maaf ya Pak, kami sedang mencari bus yang lain, nanti kalau tidak ada yang cocok, kami ketempat Bapak”, kata abang saya sambil tersenyum ramah. Si Bapak tadi pun mundur perlahan dengan raut wajah yang terpaksa sambil terus memperhatikan arah langkah kami.

PO (Perusahaan Otobus) di terminal itu sangatlah banyak jadi kami agak kesulitan menemukan PO yang dimaksudkan abang saya terlebih kami baru pertama kali ke terminal tersebut. Selang beberapa detik terlepas dari bujuk rayu pria paruh baya tadi, kami dikejutkan dengan kedatangan seorang pria yang usianya sekitar 30an. Wajahnya menyeramkan, cara bicaranya benar-benar jauh dari sopan, tidak beretika. Tujuannya sama dengan si Bapak pertama yang membuntuti kami tadi; mengarahkan kami untuk menaiki bus tertentu pilihan mereka sehingga mereka akan mendapatkan komisi dari pihak PO dan akan meminta uang dari kami dengan dalih “uang antar”(begitu pengalaman abang saya ketika dulu pernah naik bus di kota lain).

“Mau kemana kalian bg! Sini kuantar kesana (sambil menunjuk kearah PO yang dia maksud), bisa untuk semua tujuan itu!”kata pria menyeramkan itu dengan nada membentak.
 Sambil mengangkat tangan pertanda agar dia berhenti mengikuti kami karena kami sudah punya pilihan sendiri, abang saya hanya bisa mengatakan berulang-ulang bahwa bukan bus yang dia maksud yang kami cari, dan lagi kami sangat merasa tidak nyaman ditarik-tarik atau didesak yang membuat pikiran kami semakin buyar apalagi mereka nantinya akan meminta tips jasa mengantar. Si pria itu malah ngotot agar kami mengikut dia. Benar-benar keras kepala.
“Ayok lah lek, ini uda bus terbaik, memangnya kalian mau nyari bus apa sih? Mau kemana sih, kok susah kali kau jawab itu!” kata pria itu terus menerus padahal kami sudah berulang kali menjawab dengan tegas bahwa kami akan mencari pilihan kami dulu baru kemudian kalua tidak ada yang cocok maka kami akan mengikut dia.
“Maaf ya bang, kami mau mencari-cari dulu, yang jelas nanti kami akan ke PO abang kalau sudah mentok. Tolong hargai kami bang, kami jadi semakin sulit bergerak kalau abang haling-halangi dan desak begini” kata abang saya dengan nada memelah.
“Ayok lah bang, jangan bandal kalau dibilangi! Biar cepat juga kalian berangkat! Ga mungkinlah kalian kubohongi, ayok lah, udah salah arah kalian jalan ini, mana ada bus arah ke Jogja dari sana (sambil menunjuk area yang akan kami datangi)!” kata pria itu membabi buta kata-kata seolah memaksakan sekali kehendaknya. Dia berbicara dengan nada yang sangat tinggi sambil tangannya sesekali menyentuh abang saya seolah ingin mengajak ribut. Saya sendiri sempat panik, takut abang saya dilukai pria seram tak beretika itu. Pada akhirnya datanglah seorang lelaki paruh baya yang lain (sepertinya seorang calo) membujuk kami dengan nada sedikit lembut sambil memberi kode kepada pria seram tadi agar dia tidak lagi memaksakan kehendaknya.
“Udah sana kau biar aku aja yang mengarahkan mereka, jangan kau tarik-tarik gitu lek” 
Akhirnya si pria seram tak beretika itu mundur perlahan namun tetap memelototi arah langkah kami sambil memasang raut muka yang sangat tidak enak.
Karena sudah pusing dan lelah batin ditarik ulur beberapa orang (belum lagi karena melihat tatapan calo-calo, penumpang yang sedang menunggu keberangkatan berbagai tujuan, dan entah siapa lagi diterminal itu) kami pun mengikuti arah langkah si lelaki paruh baya (sebut saja namanya A) yang perilakunya cukup sopan dan ramah pada kami sambil abang saya berulangkali memperingatkan bahwa kami tidak akan memberikan tips tambahan apapun. Si lelaki itu setuju dan berjanji dengan sangat meyakinkan bahwa beliau tidak akan mengharapkan tips apapun, beliau mengaku ikhlas membantu kami menemukan PO yang sesuai. Awalnya saya sudah curiga terhadap tindak tanduk para calo di terminal bus terlebih di Pulogadung, namun saya mengikuti arah abang saya.

Sesampainya di PO yang dimaksud si lelaki itu (saya lupa apa nama POnya yang jelas ada kata PRIMA di nama PO itu, mungkin Primajaya) kami diarahkan si A ke lelaki lain yang bertugas mencatat nama penumpang PO sekaligus menerima ongkos (sebut saja namanya B). Kami memilih bus AC, yang jelas bukan bus Ekonomi karena sepengalaman abang saya naik bus dikota lain, bus ekonomi ini jalannya sangat lambat, tidak melalui tol, melewati beberapa desa-desa kecil dan sering berhenti dibeberapa tempat sehingga lama sampai ditujuan belum lagi suasana didalamnya yang tidak nyaman.
“On lae laho tu Jogja, suratton jo goarna (nih mereka mau ke Jogja, tolong tulis namanya)” kata si A pada si B”
“Oh oke, kalian mau ke Jogja ya, tenang sebentar lagi busnya datang dan langsung berangkat, kukasih sama klen bus AC tapi cukup bayar yang ekonomi” cetus si B dengan nada dan raut wajah yang sangat meyakinkan kami. Abang saya dengan polos merasa yakin akan ucapan si B ditambah dengan kata-kata si A dan calo lain disekitar situ yang mendukung perkataan si B.
“Nah, kamu yang bayar ongkos, abang ke toilet dulu” kata abang saya sambil menyerahkan dompet kepada saya. Sedari awal saya sudah sangat curiga dengan tindak tanduk orang-orang diterminal bus terlebih para calo yang kebanyakan hanya mementingkan keuntungan semata. Saya berulang kali menanyakan apakah memang benar kami akan menaiki bus kelas AC namun hanya membayar ongkos setara bus ekonomi (Rp. 200.000/orang). Namun si B terus meyakinkan saya dengan kata-katanya yang seolah mengatakan “kalua kalian tidak naik bus AC maka nyawa saya taruhannya”.
Saya juga mencoba memastikan jam keberangkatan. Saat itu sudah pukul 09.00. Si B meyakinkan saya bahwa bus akan datang 15 menit lagi. Dengan agak berat hati sayapun menyerahkan ongkos Rp. 400.000/2 orang tujuan Jogja. Setelah proses transaksi selesai, si A dengan cepat langsung meminta “uang rokok” karena telah membantu kami menemukan PO. Saya dengan tegas say big no karena dari awal kami sudah menegaskan bahwa kami tidak akan memberikan tips atau uang apapun selain ongkos. Si B bukannya membela saya malah ikut membujuk saya agar memberikan uang minimal Rp. 5000 kepada si A. ini bukan persoalan nominal uang namun harga diri dan ketegasan yang sedari awal sudah mengatakan tidak akan memberikan apa-apa. Akhirnya si A mundur perlahan setelah merasa lelah meminta uang namun tak saya berikan.

Abang saya pun datang dan kembali menanyakan jam keberangkatan. Kembali si B meyakinkan kami bahwa bus akan tiba sebentar lagi dan akan langsung berangkat.Kami tidak tau “sebentar lagi” ini pukul berapa karena kami sudah menunggu 15 menit namun tanda-tanda bus datang sama sekali tidak ada. Saya kembali menananyakan estimasi waktu kedatangan dan keberangkatan bus, apakah 15 menit lagi, 30 menit atau sejam. Abang saya juga merasa seperti dipermainkan dengan ketidakpastian jadwal bus.
“Tolong dikonfirmasi donk Pak jam berapa kira-kira busnya berangkat, karena dari tadi 15 menit lagi, sebentar lagi, tapi busnya belum juga datang. Kalau memang sejam atau 2 jam lagi, tolong beritahu Pak, setidaknya kami bisa cari makanan dulu” kataku pada si B.

Kami kesal dengan jawaban si B yang mengatakan bahwa bus akan datang sekitar sejam lagi. Kekesalan kami semakin bertambah saat melihat bus-bus lain dari PO sebelah yang sudah berangkat mendahului kami. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 namun tanda-tanda PO si B belum juga datang, kami konfirmasi berulangkali namun jawaban si B dengan raut wajah merasa tak bersalah hanya bisa berkata tunggu, tunggu, dan tunggu. Ongkos sudah terlanjur kami berikan, kami juga sudah lama menunggu jadi kami memutuskan untuk menikmati penantian kami yang kurang pasti itu.

Jam menunjukkan pukul 10.30, sebuah bus kelas ekonomi bernama PO. Langsung Jaya (LJ) plat 1719 datang persis berhenti disamping PO yang akan kami telah bayar ongkosnya. Dengan cepat dan tergesa-gesa si B menyuruh kami untuk menaiki bus LJ kelas ekonomi itu, abang saya dengan cepat naik pertama, kemudian dengan berat hati saya lihat busnya kok seperti bukan kelas AC dan lagi rasanya sangat tidak nyaman, agak bau. Sebelum naik saya kembali bertanya pada si B, “Pak, kenapa kami naik bus yang ini? Ini kan bus ekonomi dan lagi nama busnya kok tidak sesuai dengan yang tertulis di kertas tiket ini?”
Kemudian si B menjawab dengan tampang tak bersalah dan merasa benar: “udah naik aja, sama saja itu, uda ga ada lagi bus lain yang mau ke Jogja, hanya itu aja”
“Lah, kami kan tadi pesan yang AC dan bukan bus yang ini? Kenapa jadinya yang ini sih? tolong bertanggungjawab donk atas kenyamanan penumpang!”
kata saya kepada si B dengan nada sangat kecewa. Namun bukannya minta maaf malah mendiamkan kami, merasa seolah “masa bodo”. Saya dan abang hanya bisa diam duduk di bangku bus LJ kelas ekonomi yang sangat tidak nyaman. Melihat kerasnya sifat orang-orang yang ada diterminal itu, khususnya si B yang mau menang sendiri, kamipun berharap semoga bus LJ ini tidak seperti bus ekonomi lain yang lambat. Tapi kami salah besar, kami sangat amat kecewa dengan pelayanan bus Langsung Jaya.

Mesin bus menandakan akan segera berangkat, namun ternyata masih harus menunggu lagi, menunggu sampai penumpangnya penuh. Saat itu sudah pukul 11 namun bus belum kunjung bergerak. Kami sangat  kepanasan didalam juga merasakan pengap. 15 menit kemudian LJ mulai jalan namun sangat lambat, bermaksud terus mencari tambahan penumpang sampai tak ada lagi tempat duduk tersisa. 15 menit kemudian bus LJ berhenti untuk menunggu penumpang, barangkali ada yang mau naik. Berhentinya terasa sangat lama mengingat kami ingin cepat tiba di Yogyakarta, belum lagi dengan kondisi bus yang setidaknyaman itu. Setelah berhenti sekitar 15 menit, LJ kembali jalan dengan lambat juga (saya pikir bisa lebih cepat). Mungkin kecepatan saya bersepeda santai setara dengan kecepatan bus itu.  

Tidak cukup membuat kesal sampai disitu, si Bus LJ ini kembali berulah dengan kembali berhenti di sudut jalan kecil tepat sekitar pukul 12.00. saya mulai curiga ada yang salah dengan bus LJ ini, karena saya lihat sepertinya supirnya kurang professional, belum lagi kaki tangan supir yang ikut menemari sang supir (saya perhatikan jumlahnya 4 orang). Bukan hanya saya dan abang saya yang sangat gelisah, namun juga hampir semua penumpang mulai sangat tidak nyaman dengan keadaan itu, lagi-lagi kami dibuatnya menunggu lama, menunggu di tempat yang bukan halte resmi atau persinggahan PO. LJ tapi di tepi jalan yang memungkinkan adanya penumpang baru lagi padahal kursi sudah hampir penuh (mungkin tersisa 4 kursi lagi dari puluhan kursi). Saya juga pernah naik bus sejenis LJ ini di Medan, namun pelayanannya tidak sejelek itu, sangat merugikan penumpang.
Para penumpang di dalam bus yang sudah kepanasan dan gelisah bergantian menanyakan kepada supir perihal lambannya bus LJ ini bergerak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun