"Peduli demit, lanjutkan saja penjelasanmu itu!"
"Baik, dengusnya. Penguasa sebagai pemegang otoritas politik, kelewat berlebihan dalam mendudukkan dirinya sebagai pihak pengatur rakyat. Kecenderungan pihak pengatur, tentu saja menginginkan aturannya dapat ditegakkan. Karena itu, harus diupayakan semaksimal mungkin menuntut ketundukkan semua orang.''
"Mereka terjebak sifar arogannya sendiri, betul?"
"Tul, Bos pinter!" canda Domokus.
"Kampret!"
"Aku lanjutkan,'' sambungnya cepat. Menghindar dari kedongkolanku. Akibat politik arogan mudah di tebak. Masyarakat kehabisan daya dan kreativitas. Dan di lain pihak, posisi kemenangan semu penguasa itu justru identik dengan kemenangan dalam kekalahan. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang sesungguhnya dari masyarakat. Dan di samping itu, banyak oknum yang lupa daratan. Mereka yang justru menjadi pihak yang tak mau di atur. Bahkan dapat dikatakan tak ada suatu aturan pun yang dapat menyentuh dan dapat menghalangi tindakan-tindakannya. Mereka sudah mewakili sebuah anarki dalam arti yang sesungguhnya. Panggung politik merupakan gambaran yang transparan dari keselingkuhan watak yang paling busuk dan menjijikan. Pengkhianat, dusta dan kesewenang-wenangan hampir terjadi di segala bidang.''
Sejurus aku tersenyum bahagia. Pengkhianat, dusta, dan tiranisme nyaris menjadi amal ibadah manusia sekarang.
"Lantas apa keterlibatanku, dan apa keuntunganku di dalamnya?"
Domokus justru tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan ia hendak menjawab pertanyaanku itu dengan terbahak-bahaknya.
"Tentu Bos tak perlu aku ajari lagi bukan, bahwa antara kekuasaan dengan moralitas sama sekali tak ada hubungannya. Yang mereka dikehendaki sekarang adalah sebuah terapi agar masyarakat tak terlampau memperdulikan keselingkuhan politiknya. Diperlukan kondisi dan situasi baru yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat''.
Aku terdiam sejurus. Aku mulai mengerti posisi Zalbak. Akh, kiranya aku telah memakai raga seorang oportunis politik.