Mohon tunggu...
Shanty
Shanty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Mahasiswa Hukum Universitas Mulawarman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Iklan Investasi Bodong di Sosial Media: Tantangan Hukum di Era Digital

2 Oktober 2024   20:46 Diperbarui: 2 Oktober 2024   22:56 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Opini Hukum oleh : Monas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Perkembangan teknologi saat ini memberikan dampak positif yakni mempermudah penyebaran informasi. Disisi lain, perkembangan tersebut juga mempermudah oknum-oknum melakukan penipuan yang disebarkan melalui iklan-iklan investasi yang ada di internet. Di era di mana sosial media telah menjadi ruang utama untuk promosi bisnis, iklan investasi bodong menjamur tanpa kontrol yang memadai.

Investasi atau Penanaman Modal merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendaptkan hasil (keuntungan). Sedangkan Investasi bodong merupakan investasi dimana kita akan dimintai sejumlah uang untuk menanamkan modal dalam produk atau bisnis, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Orang yang menyuruh melakukan hal tersebut akan membawa kabur uang yang telah diberikan. Untuk menarik perhatian korban, pelaku akan menawarkan nilai imbal hasil atau return yang tinggi agar korban tergiur untuk menanamkan modalnya. Biasanya diiringi informasi palsu terkait pengembalian atau return yang bernilai fantastis dalam waktu singkat.

Pelaku penipuan investasi merasa lebih aman menggunakan media sosial karena mereka tidak perlu bertemu langsung dengan korban. Hal ini membuat informasi yang diterima pelaku lebih terlindungi dan mengurangi risiko karena tidak ada interaksi secara tatap muka. Penipuan semacam ini sering terjadi di internet. Pelaku biasanya menarik korban melalui iklan di media sosial, di mana mereka menawarkan iming-iming investasi dengan keuntungan besar dalam waktu singkat. Pelaku menyiapkan rencana secara detail agar terlihat profesional dan dapat dipercaya. Mereka bahkan berani mencantumkan nama lembaga seperti OJK, BI, atau bank lain di produk yang mereka tawarkan. Para korban kemudian diarahkan ke situs palsu untuk mendaftar dan mengirimkan uang. Setelah proses ini selesai, situs tersebut hilang dan tidak bisa diakses lagi, sementara pelaku menghilang bersama uang korban tanpa jejak.[1] modus penawaran trading ilegal umumnya dilakukan melalui sarana media sosial seperti iklan pada laman Facebook, Youtube atau penawaran melalui direct message pada Instagram dan Telegram.

 

Akibat dari penipuan tersebut banyak Masyarakat yang mengalami kerugian. Hal ini dapat dilihat dari data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yangmencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal atau bodong mencapai Rp139,67 triliun sepanjang 2017 hingga 2023.[2] 

 

Pada dasarnya, kasus investasi ilegal dapat dijerat dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998) , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. selain itu, Regulasi sudah mengatur terkait dengan investasi bodong/Tindak pidana penipuan secara online atau cyber crime dijerat dengan Pasal 45 ayat (2) Jo. 28 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP yang berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.

 

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus investasi bodong yang menjerat masyarakat. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang pengelolaan keuangan, yang sering dimanfaatkan oleh pelaku investasi bodong untuk meraup keuntungan. Selain itu, sistem yang digunakan oleh pelaku investasi ilegal sering kali dirancang agar sulit dilacak. Menurut Friderica, ada beberapa alasan mengapa seseorang bisa menjadi korban investasi ilegal. Salah satu faktor utamanya adalah psikologis, di mana individu cenderung mudah tergiur ketika ditawari keuntungan besar dalam waktu singkat. Selain itu, terbatasnya akses masyarakat ke produk keuangan formal, seperti perbankan, juga dapat mendorong mereka untuk beralih ke investasi ilegal. Friderica juga menekankan bahwa kemajuan teknologi saat ini mempermudah penyebaran informasi, termasuk hoaks, yang semakin memperparah situasi.[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun