(Penulis adalah anggota Gerakan Literasi Kutai dan Pengurus Besar MGBK Indonesia masa bakti 2020-2021 yang telah menerbitkan puluhan buku solo dan antologi. Tugas utamanya saat ini sebagai Koordinator BK di MAN 2 Kutai Kartanegara)
Bimbingan dan Konseling, tak banyak stakeholder pendidikan yang benar-benar memahami fungsinya di sekolah atau madrasah. Bahkan sebagian guru, siswa dan Kepala Sekolah ataupun Kepala Madrasah masih saja mengidentikkan peran Guru BK sebagai polisi sekolah, hanya dimintai bantuan untuk “memarahi’” dan “menasihati” peserta didik yang dianggap bermasalah, bahkan “disidang” beramai-ramai dalam sebuah ruangan yang mestinya menjadi tempat teraman melepaskan segala beban.
Sehingga para remaja peserta didik, takut-takut dan menjauh pada Guru BK, seolah mau dilucuti semua kesalahannya dan dijebak dalam ruang pengadilan.
Lalu dikemanakan ilmu psikologi perkembangan, psikologi pendidikan dan psikologi remaja yang sudah dienyam selama pendidikan? Di mana pula letak urgensitas mengenal potensi diri tiap siswa tanpa terkecuali? Kiranya hanya Guru BK itu sendiri dan para pemangku kebijakan yang bisa menjawab keadaan di lapangan ini.
Perkembangan layanan Bimbingan dan Konseling adalah ke arah BK Komprehensif, Apa itu BK Komprehensif? Program bimbingan dan konseling komprehensif berorientasi pada perkembangan, yang di dalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu: Layanan Dasar, Layanan Responsif, Layanan Perencanaan Individual, dan Layanan dukungan sistem.
Sebenarnya konsep ini sudah dikemas dalam aturan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014. Namun untuk implementasinya secara rinci bagi guru BK/Konselor dalam kegiatan di sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) melalui Dirjen GTK telah menerbitkan Pedoman dan Panduan Operasional Penyelenggaran Bimbingan danKonseling (POP) di Sekolah pada tahun 2016.
Implementasinya bagaimana? Tentunya setiap pemangku jabatan mesti mengevaluasi diri apakah sudah berupaya melaksanakan empat kompoen utama program tersebut atau belum?
Jangan sampai kita terpaku pada layanan responsif yang hanya fokus pada permasalahan siswa apalagi jika respon tersebut bukan seperti yang diharapkan siswa. Karena sejatinya kita ini adalah pemberi layanan terbaik bagi kebutuhan siswa dan diharapkan juga bisa memberi respon yang profesional melalui konseling antar pribadi yang suka rela dan turut menggali pula potensi-potensi terbaik dalam diri siswa.
Lakukan konseling dengan prinsip kepercayaan dan bukan dengan prinsip kecurgiaan apalagi labelling yang merugikan aspek perkembangan psikologis siswa. Prinsip konseling yang perlu dipegang teguh lainnya adalah azaz kerahasiaan. Jadi jangan pernah umbar permasalahan siswa di depan rekan-rekan sejawat apalagi di depan siswa-siswa lainnya ya …. Eit, itu benar-benar menyalahi kode etik profesi!
Lalu apa maksudnya berorientasi pada perkembangan? Tentunya yang dimaksud di sini adalah pekembangan peserta didik. Sejauh mana program BK dapat memfasilitasi tercapainya seluruh tugas perkembangan peserta didik yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar dan karir.
Dalam komponen layanan dasar Guru BK harus memberikan berbagai informasi yang tepat mengenai empat aspek tersebut. Karena itu dalam menyusun program layanan Guru BK harus memulainya dengan need assessment selain mengacu pada tugas perkembangan remaja yang dirumuskan lebih rinci dalam rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik. Sehingga layanan BK menjadi layanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa untuk pencapaian tugas perkembangannya. Bukan sesuai kebutuhan para pemangku jabatan.