Mohon tunggu...
Shanti Agustiani
Shanti Agustiani Mohon Tunggu... Guru - Smart and Simple

Penulis, Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Pela dan Jakarta

7 November 2020   10:02 Diperbarui: 3 Desember 2020   10:19 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Pixabay

Debur ombak yang beradu mesin speedboat itu masih terngiang di telinga Kumala, gadis dengan rambut ikal dan kulit kuning langsat yang ke mana-mana sering memakai sandal tipis atau sepatu Kets. Jika beruntung, Kumala akan menjumpai pesut-pesut yang berlompatan  melintasi sungai Mahakam. Bahagia hatinya, juga Kahala yang dulu menggengam jemarinya sembari berteriak memanggil pesut- pesut langka itu.

Pesut-pesut itu sejenis lumba-lumba, hanya saja mamalia air tawar khas Kalimantan itu berwarna abu-abu mengkilap dan memiliki bentuk wajah yang bulat menyerupai bayi beluga. Sementara lumba-lumba memiliki moncong yang seikit lebih panjang. Pesut memiliki tubuh berwarna abu-abu pada seluruh bagian tubuhnya, tapi warna tubuhnya tampak lebih terang pada bagian perutnya.

Kahala dulu selalu menjadi teman perjalanan Kumala ke Pela, menemui mamak dengan sulam tumpar dan manik-manik di tangannya. Di sisa usia, perempuan berdarah Kutai–Banjar itu ingin terus produktif dan enggan menggantungkan diri pada gaji Kumala sebagai penyiar berita di Ibukota. Senyum Kahala dan mamak adalah kenangan yang tak pernah terhapus oleh badai hujan ibukota yang semakin tenggelam.

Kahala memiliki dada bidang, Kumala selalu tenang bersandar pada dada itu di kala gundah melanda dan rindu mengaduk asmara. Tapi sayang, pertunangan mereka berakhir di tahun yang sama ketika Kumala diterima bekerja. Kahala enggan menunggu Kumala, cintanya tak lebih setia kepada pesut-pesut Mahakam. Lagipula mulai akrabnya Kumala dengan ibukota bukanlah tanpa api kecemburuan yang mendalam.

***

 “Pulanglah, Kumala. Manfaatkan waktu cutimu yang cuma satu kali setahun,” kata Badwi semalam. Kekasih baru Kumala, sesama reporter.

 “Di musim Korona begini?” tanya Kumala tak yakin. Ia mencari jawaban pada binar mata Badwi yang menatapnya lekat-lekat. Lelaki berkulit bersih dengan kaca mata minus tiga yang hanya dilepasnya saat menyiarkan berita.

 “Rindumu sudah cukup membuat sesak di dada yang lebih menyakitkan dari virus manapun juga. Pulanglah … kau bisa lakukan isolasi mandiri sebelum bertemu mamak.”

Akhirnya meskipun masih ragu, Kumala membeli tiket pulang, Bukan ragu bahwa ia bisa menjaga diri dengan standar protokol kesehatan selama perjalanan dan pulang nanti, tetapi lebih pada keraguan jika ia akan kembali bertemu Kahala. Entah kecamuk apa di hatinya. Toh tiket itu tetap ia genggam bersama Badwi yang mengantarkannya ke bandara setelah memastikan hasil tes Swab mandiri.

“Maaf … aku belum bisa menjenguk mamak. Suatu saat nanti  … ketika aku melamarmu, aku akan datang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun