Mohon tunggu...
Shannon Jesselyn Tjoanda
Shannon Jesselyn Tjoanda Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Ilmu Komunikasi

My goal is to be a person who is not only useful to myself, but also useful to everyone. Easy going and dare to try new things are two representing attributes which will be beneficial not only for me in creating new connections but also for the organization to gain more attention from the public.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Pandemi Sudah Selesai, Mau Liburan ke Mana?

13 September 2020   15:27 Diperbarui: 13 September 2020   15:40 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jateng.tribunnews.com

Masa liburan yang ditunggu-tunggu

Sudah hampir enam bulan lamanya Indonesia mengalami pandemi COVID-19. Masyarakat berusaha mencegah penyebaran tersebut dengan melakukan karantina mandiri di rumah. Sebisa mungkin melakukan segala aktivitas dari rumah, belajar dari rumah, dan juga bekerja dari rumah. 

Banyak hal positif dan negatif yang didapat selama menjalani karantina ini. Masyarakat menjadi tertantang untuk lebih kreatif agar bisa tetap produktif selama masa pandemi ini.

Namun setelah menjalani karantina, tentu sebagian besar masyarakat merasakan jenuh dan ingin mencari suasana yang baru. Hal tersebut seringkali menyebabkan sebagian masyarakat sudah mulai merencanakan liburan setelah pandemi COVID-19 ini selesai lho!!

Pentingnya belajar komunikasi antar budaya

Eitss tunggu dulu!! Sebelum kalian merencanakan liburan, wajib banget kalian mempelajari komunikasi antar budaya.

Ketika seorang individu berkomunikasi dengan individu dari budaya lain maka makna dalam pesan akan selalu berubah mengikuti dan dipengaruhi budaya masing-masing (Samovar, 2017).

Sebaiknya sebelum kalian menentukan tujuan liburan, usahakan mempelajari mengenai kebudayaan dan kebiasaan di daerah tersebut. Hal itu harus kalian lakukan agar tidak "kaget" dengan kebiasaan-kebiasaan yang tentunya berbeda dengan kebiasaan dari daerah asal kalian.  Seperti yang tertulis pada buku Communication Between Cultures, salah satu komponen dalam berkomunikasi adalah komunikasi yang bersifat simbolik.

Seringkali manusia berinteraksi menggunakan simbol, simbol-simbol tersebut yang nantinya akan di terima dan dimaknai oleh penerima pesan (komunikan). Apabila seorang komunikan tidak memiliki wawasan yang cukup terhadap budaya komunikator, maka dapat terjadi kesalahpahaman dan juga salah penafsiran. 

Suasana Yogyakarta 

Salah satu contoh pengalaman ini dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya mempelajari komunikasi antar budaya. Saya merupakan orang asli Yogyakarta, sejak lahir hingga saat ini saya dibesarkan dengan budaya Yogyakarta. Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota yang masih menjunjung tinggi tata krama dan sifat kekeluargaan.

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, filosofi mengenai kerukunan dan kekeluargaan yang sering digunakan di Yogyakarta.

Seringkali orang Jogja mengucapkan "kula nuwun" yang berarti "permisi", sering menyapa dan memberikan senyuman ke setiap orang dan bahkan ke orang yang tidak dikenal sekalipun sebagai bentuk sifat menjalin rasa kekeluargaan. Apabila melewati orang yang lebih tua, umumnya orang-orang menundukan badannya sebagai bentuk menghargai dan menghormati orang tua yang dilewatinya. 

Selain itu, masyarakat asli Jogja umumnya menggunakan bahasa yang halus dan bersifat implisit karena sifat tidak enakan dan takut merusak rasa kekeluargaan tersebut.

Pertama kalinya mengunjungi Surabaya

Saat itu saya pertama kali mengunjungi kota Surabaya dan sebelumnya saya tidak mencari tahu mengenai kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat di Surabaya. 

Sesampainya saya disana, saya merasa sangat kaget karena melihat orang-orang berbicara dengan suara yang cukup keras saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Saya mengira orang tersebut sedang berkelahi dan membuat saya merasa sangat takut.

Selain itu juga, hal lain terjadi pada saat saya memesan makanan di sebuah warung di Surabaya. Pada saat itu penjual mengatakan kalimat "Gak ono nasi goreng e Ce, tadi lo wes tak omongi".

Kalimat tersebut sempat membuat saya cukup terkejut, saya merasa saya dibentak dengan kalimat serta nada yang digunakan oleh penjual tersebut. Namun setelah kejadian tersebut saya mencoba untuk menceritakan pengalaman itu ke teman saya dan akhirnya saya dijelaskan mengenai hal tersebut yang sudah dianggap menjadi kebiasaan di Surabaya.

Telusuri lebih lanjut destinasi liburan kalian

Berdasarkan video yang diberikan oleh Bapak Nobertus Ribut Santosa, SS, MA tentang pengalamannya di Filipina. Melalui video tersebut, beliau banyak menjelaskan mengenai budaya yang membuatnya cukup kaget karena hal tersebut jarang ditemui di Indonesia. 

Seperti contoh budaya mengantri secara rapi saat ingin menaiki angkutan umum dan juga minuman beralkohol yang di jual bebas untuk yang berusia diatas 18 tahun, dan juga salah satu makanan khas Filipina yang berasal dari embrio bebek.

Dari cerita dan pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila kita tidak menyiapkan diri untuk belajar dan mengetahui budaya yang dimiliki oleh daerah lain maka kita akan mengalami banyak perbedaan persepsi sehingga menyebabkan komunikasi yang terjadi akan terganggu. 

Mulailah menambah wawasan mengenai budaya orang lain, tidak hanya sekedar bermanfaat sebagai pengetahuan tetapi juga untuk menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.

#kabuajy03

Sumber:

Samovar, Larry A. 2017. Communication Between Cultures (9th ed.). USA: Cengage Learning. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun