Seseorang yang dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam aturan Presidential Threshold. Presidential Threshold merujuk pada ketentuan yang mengatur ambang batas dukungan yang diperlukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dapat berupa perolehan suara (ballot) atau perolehan kursi (seat) yang harus diraih oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh minimal 20% dari jumlah kursi DPR untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pasangan calon tersebut harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursi sekurang-kurangnya 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh minimal 25% dari total suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. (Jateng 2023)
Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan sistem Presidential Threshold di Indonesia, terdapat pandangan bahwa mekanisme ini tidak selalu mencerminkan keadilan bagi partai politik peserta pemilu. Sistem ini juga tidak melibatkan rakyat secara langsung dalam penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, adanya ambang batas tersebut membatasi kemungkinan munculnya calon independen yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Beberapa pihak berpendapat bahwa Presidential Threshold dapat mengurangi hak warga negara untuk dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia. (Ansori 2017) Oleh karena itu, telah ada sejumlah gugatan terhadap ketentuan Presidential Threshold yang diajukan untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan jumlah permohonan yang mencapai 36 kali. Namun, baru-baru ini, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan penghapusan ambang batas Presidential Threshold.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan permohonan penghapusan Presidential Threshold dipandang dapat membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika politik di Indonesia. Putusan ini diumumkan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 pada hari Kamis, 2 Januari 2025. Dalam putusannya, Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, menyatakan, "Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat." Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam mengubah ketentuan hukum yang sebelumnya membatasi proses pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Penghapusan Presidential Threshold dapat mendorong terbentuknya koalisi antar partai politik yang didasarkan pada kesamaan ideologi dan misi, bukan sekadar untuk memenuhi persyaratan ambang batas yang dapat menurunkan kualitas demokrasi. Koalisi yang terbentuk dengan tujuan memenuhi ambang batas tidak selalu mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara nyata. Selain itu, penghapusan Presidential Threshold berpotensi meningkatkan minat dan partisipasi politik, karena memberikan lebih banyak pilihan calon presiden yang tersedia. Hal ini dapat menciptakan sistem politik yang lebih terbuka dan kompetitif, di mana siapa pun yang memenuhi syarat dapat mencalonkan diri. Keputusan ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang berkembang di Indonesia, karena memberikan ruang bagi partisipasi yang lebih luas dari seluruh rakyat. Penghapusan Presidential Threshold juga membuka peluang bagi regenerasi kepemimpinan di Indonesia, mengingat proses pencalonan tidak lagi terhalang oleh ketentuan 20% yang sebelumnya diberlakukan.
Penghapusan Presidential Threshold dapat menghasilkan lebih dari dua pasangan calon presiden, yang pada gilirannya akan mengurangi dominasi oligarki politik dalam mendukung figur calon presiden. Langkah ini juga berpotensi mengurangi kebijakan-kebijakan yang bersifat titipan, yang seringkali merugikan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Penghapusan ambang batas presidensial merupakan sebuah langkah progresif dalam mewujudkan demokrasi yang lebih matang di Indonesia. Dengan dihapusnya pembatasan yang tidak konstitusional terhadap kandidat oleh partai politik, diharapkan politik transaksional dapat berkurang, dan representasi politik tidak lagi terbatas pada pemenuhan ambang batas. Demokrasi yang maju memerlukan sistem politik yang lebih terbuka, di mana semua kandidat potensial diberikan kesempatan yang setara untuk bersaing dengan ketentuan yang adil dan sama.
Penghapusan Presidential Threshold merupakan langkah penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, karena memungkinkan partai politik dan calon presiden untuk berkompetisi dengan lebih bebas, tanpa terhambat oleh persyaratan yang tidak selalu mencerminkan aspirasi rakyat. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan penghapusan ambang batas ini membuka peluang bagi terbentuknya koalisi yang lebih berbasis pada kesamaan ideologi dan misi, serta mengurangi praktik politik transaksional yang merugikan masyarakat. Dengan lebih banyak pilihan calon presiden yang tersedia, sistem politik menjadi lebih terbuka dan kompetitif, meningkatkan partisipasi politik, dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi regenerasi kepemimpinan. Langkah ini juga mengurangi dominasi oligarki politik, memperkaya representasi politik, dan mengarah pada terciptanya demokrasi yang lebih berkualitas dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Ansori, Lutfil. 2017. "Telaah Terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019." Jurnal Yuridis.
Jateng, Tim detik. 2023. Apa Itu Presidential Threshold dalam Pemilu 2024? Ini Penjelasannya. 1 Februari. Accessed Februari 2, 2025. https://www.detik.com/jateng/berita/d-6545799/apa-itu-presidential-threshold-dalam-pemilu-2024-ini-penjelasannya.
Jimly  Asshiddiqie. 2010. Pengantar  Ilmu  Hukum  Tata  Negara.Jakarta:  PT  Raja Grafindo Utama