Mungkin kita bertanya, apakah kita lahir di saat yang tepat? Pertanyaan yang mungkin pernah terlintas di benak sebagian dari kita. Apakah abad 21, yang dikatakan abad modern, adalah saat yang tepat untuk menikmati hidup?
Banyak hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan jawaban. Di jaman ini kita tidak butuh pedang untuk mempertahankan kehidupan. Kita hanya butuh duduk di bangku sekolah, atau kuliah, belajar dengan baik, dengan itu hidup kita menjadi lancar. Mengapa? Karena jaman sekarang nilai dan prestasi lebih dibanggakan ketimbang kekuatan.
Di zaman dahulu kita bisa melihat peperangan yang terjadi dimana-mana dari orang yang terus mempertahankan egonya untuk naik kekuasaan. Bagaimana tiap bangsa saat itu berperang agar wilayahnya semakin luas, rasnya semakin diakui. Apakah sekarang tidak? Kalau tidak lalu apa yang terjadi di Korea utara. Mengapa Amerika terus mempersiapkan tentaranya untuk perang dunia ketiga yang bakal pecah. Apa perbedaan dengan dulu? Tentu jika dulu yang digunakan adalah panah dan pedang, sekarang yang digunakan senapan dan nuklir. Jika dulu menggunakan utusan untuk berbincang, sekarang menggunakan diplomasi.
Ada perbedaan mendasar pada kedua hal tersebut. Dahulu kala perluasan wilayah cenderung kepada Ego. Namun abad sekarang cenderung kepada propaganda. Ketakutan, dan konflik kesalahpahaman. Bagaimanakah perang disebut kesalahpahaman? Kita bisa melihat di negara kita, konflik agama yang terjadi, kedua belah pihak merasa dirinya benar. Merasa agama yang satu menyerang agama yang lain. Padahal yang terjadi adalah mereka berusaha mempertahankan agama mereka, karena mereka merasa kedua hal itu saling menyerang.
Beberapa hal dapat dijadikan pemikiran, bagaimana pada masa Sultan Muhammad Al Fatih menaklukan konstantinopel, disana bagaimana setiap agama di benarkan menjalankan ibadahnya sendiri-sendiri. Itu yang terjadi, bagaimana sebuah agama harus dapat saling damai dan berdampingan menyampingkan politik yang memiliki kepentingan.
Perang adalah politik. Sedangkan agama adalah holistik. Agama itu suci, sakral, maka jangan sampai ada kepentingan politik yang memanfaatkan agama.
Berpikir mengenai orang-orang yang merasa gampang tersinggung oleh sentimen dendam dan sejarah. Sejarah memang kuat, bahkan Bung Karno mengatakan dalam pidatonya. “Jas Merah.” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Namun sejarah itu bagaikan pisau bermata dua. Pembangkit ghirah/semangat, atau pembawa luka lama. Bagaimana konflik yang ada antar berbagai negara di jaman modern yang maju ini lebih banyak karena hal-hal lama yang belum selesai.
Pada saat jaman purba, manusia berusaha bertahan hidup melawan binatang buas dan kelaparan. Di masa traditional, orang mulai menciptakan adat dan budaya, lalu hidup berdampingan dengan sukunya masing-masing. Di masa abad 9-17. Perang atas nama ego dimulai namun masih dengan senjata tajam. Abad 19-20 mulai ada perubahan dari pedang menjadi senapan, dari panah menjadi granat. Di zaman sekarang di saat seluruh dunia terkoneksi melalui sebuah aplikasi, sebut saja facebook, instagram, atau whats app.
Haruskah kita masih harus berpikir konflik? Memikirkan tentang ras sendiri dan melupakan masalah utama yang dihadapi? Global warming, dan badai matahari. Semua harus menjadi sebuah pertimbangan dimana ketika semua sudah menjadi sangat dekat. Saatnya terus membangkitkan diri untuk membuat sistem yang damai.
Haruskah kita berlomba-lomba untuk menjadi yang paling maju lalu melupakan yang tertinggal. Melupakan apa yang leluhur kita dulu pernah ajarkan, saling merangkul. Haruskah kelaparan di Somalia dan Ethiopia terjadi? Bukankah pada dasarnya kita lahir kedunia dengan pikiran yang suci.
Kita harus melihat dari masa anak-anak. Saat kita kecil semua indah, hanya bermain dan kasih sayang. Begitu beranjak dewasa dan remaja nilai-nilah luhur, bakat alami kita itu mulai punah tergerus oleh pola berpikir dunia.
Ada kalanya kita merasa perlu membanggakan diri sendiri. Namun menolong sesama lebih indah. Sudahi konflik, sudahi perang, mari saling merangkul, hidup dalam toleransi dan menjalankan Agama dengan damai sesuai perintah keyakinannya. Musuh utama kita bukan orang lain, musuh utama kita adalah diri kita.’
Shanan Asyi dr., CHt
Kamar kecil, Banda Aceh, seusai shubuh.
Author of Diari Sang Juara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H