Mohon tunggu...
Santini
Santini Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Penulis, Ibu Rumah Tangga

Hamba Allah yang senantiasa memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi: Selingkuh, Slogan dan Sri Sultan

2 April 2024   06:38 Diperbarui: 2 April 2024   06:38 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Korupsi itu Seperti Selingkuh

Barangkali kita membenci korupsi. Tapi benci seperti apa yang sebenarnya timbul ketika kita membaca berita korupsi: pelakunya? Besaran rupiah yang diselewengkan? Apa memang korupsi itu berdampak kepada kita? Hidup kita semakin nelangsa gara-gara korupsi orang itu? Gaji kita berkurang? Kemudian kita merasa marah dan perlu menuntut hukuman mati bagi koruptor? Pertanyaan, pada akhirnya hanya akan menyudutkan kita pada kenaifan.

Korupsi, seperti yang Goenawan Mohammad ungkap di ujung tulisannya yang berjudul "Korupsi", adalah privatisasi -tapi yang selingkuh. Lumrahnya perselingkuhan yang terungkap, selalu menimbulkan keributan yang mengundang tetangga dan ketua RT. Masyarakat pun sama bereaksi dengan amarah, benci, tapi mandek sebatas itu. Sementara mahasiswa, yang masih berpikir soal negara, mungkin masih bisa turun ke jalan. Tapi tetap saja mandek di hadapan kawat berduri.

Mandek yang sama juga terjadi saat Watchdoc Image merilis film Sexy Killers pada saat menjelang hari pemilu presiden tahun 2019. Film dokumenter yang dibuka dengan adegan ranjang itu mendapat views hingga puluhan juta. Kolom komentar berisi ratusan ribu komentar netizen yang berisi rasa kaget, miris, dan marah.

Film besutan Dandhy Laksono itu bukan hanya mengajak penonton melihat alam Indonesia lebih detail hingga ke jamban-jambannya. Film itu memang dibuat untuk merekam realitas yang tidak tayang pada media massa nasional. Menjelang akhir, film itu memberitahu penontonnya untuk tidak menjadi naif kepada para pejabat negeri ini. Dua pejabat yang sedang berdebat merebutkan kursi presiden itu setidaknya cukup apik dalam bersandiwara di panggung debat. Lalu pejabat yang sederhana, pejabat yang galak, pejabat yang agamis, adalah persona sesaat yang harus mereka tunjukkan dalam sesi wawancara singkat di depan kamera. Sementara itu di belakang kamera, di dalam ruang kerjanya, kita tidak pernah tahu apa yang mereka kerja-samakan.

Sumber daya alam Indonesia yang kaya itu memang menggiurkan, untuk kita, juga para pejabat. Hanya saja konstitusi mengamanatkan pengelolaan alam yang kaya itu kepada pejabat bukan rakyat. Akibatnya kekayaan alam yang seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat pun ikutan mandek. Kemakmuran itu melekat di jaring-jaring pejabat dan kroninya. Rakyat, seperti dalam sepenggal dialog di awal film itu"...mendapat imbasnya, lumpur".

Kita tahu film itu membidik lalu menembak, tapi misilnya tak cukup membuat jatuh. Pejabat itu masih berdiri, berjalan, dan tersenyum melambaikan tangan kepada kita. Film itu memang mengejutkan, tapi daya kejut itu tak ubahnya jump-scare dalam film-film horor. Seusai film berakhir, Sexy Killers pun hanya menjadi rekomendasi film diantara banyak pilihan film dokumenter lainnya yang pernah diproduksi. Pembuat film mendapat apresiasi penonton, penonton mendapat suguhan yang berkualitas -di samping juga rasa apatis kepada pejabat, dan para pejabat pun menganggapnya hanya angin lalu.

Slogan Manis

            "...kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan..." Soe Hok Gie naik ke Semeru dan meninggal di puncaknya. Tapi pesannya mengudara sampai ke generasi selanjutnya. Gie memang skeptis, ia menabrak semua. Soekarno dan orang-orang satu generasinya, ia tabrak: "...kini mereka telah mengkhianati apa yang telah diperjuangkan."

            Gie punya nilai, tapi tak coba ia kristalkan sebagai slogan atau butir-butir nilai. Soekarno berbeda, ia mewujudkan apa yang ia temukan dalam perenungan menjadi butiran nilai. Butiran nilai itu pada hari-hari selanjutnya hingga sekarang, kita saksikan, memang lebih banyak dijadikan slogan untuk menunjukkan kekuatan yang sulit dihentikan. Soeharto tidak pernah mencaci Pancasila, apalagi hendak menggantinya. Soeharto malah mengamini Pancasila tapi "...siapa yang mengkritik saya, berarti mengkritik Pancasila" ucapnya. Soeharto pun dianggap menyalahgunakan Pancasila.

Tahun 2017, Presiden Joko Widodo membuat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Unit kerja yang selanjutnya berubah menjadi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Unit kerja ini diharapkan bisa membumikan Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pancasila pada titik ini seolah sedang berterbangan jauh dan berusaha ditangkap untuk ditanam lagi.

            Lalu kita ingat Pancasila, pada mulanya, adalah perihal yang Soekarno tawarkan kepada bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad mengalami penjajahan. Tidak mudah memang menawarkan barang baru, apalagi agar semua orang menerimanya. Akhirnya setelah semua orang menerimanya, dimana orang-orang itu meletakkan? Kok bisa berterbangan.

Sri Sultan

Gelarnya Ngarsadalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sanga. "Keterlaluan! Sungguh keterlaluan. Sampai begitu berani mereka mencoba menyuap saya, coba, sebuah mobil Mercedes Benz dan sekoper penuh uang. Berani disodorkan ke muka saya guna mendapatkan fasilitas yang mereka inginkan. Akibatnya dapat menghalangi Dwi Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera..." ucapnya ketika konon ada pihak yang berusaha menyuap demi bisa import vetsin ke Indonesia.

Kita tahu kita bukan orang tersebut, seorang Sultan, dengan segala privilege yang dia punya: singgasana, wilayah, prajurit, dan nasab. Kita juga bukan pejabat menteri yang hanya dengan tanda-tangan bisa menghasilkan uang. Kita hanya rakyat, yang banyak, yang seperti rumput berjejalan dibawah pohon yang kokoh. Tapi rumput dan pohon kiranya sama, perlu tanah untuk hidup. Perlu juga matahari, udara, air dan elemen hidup lainnya.

Apa yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu bukan semata teladan dalam bernegosiasi antara penguasa dengan pengusaha yang berbalut luapan emosi. Sekurangnya, secuil peristiwa itu mengingatkan anak bangsa, siapa saja, pada waktunya, mungkin akan mendapati dirinya pada keadaan yang menggiurkan untuk dirinya sendiri. Sementara di tempat lain, anak bangsa yang lain, sedang terlantar, menunggu dan bertaruh nasib.

Penolakan Hamengkubuwono IX terhadap suap itu -yang berarti pula penolakan impor. Sama halnya bilamana seorang hakim menolak jual-beli putusan pengadilan, juga panitia seleksi calon pegawai negeri sipil menolak dibayar peserta seleksi supaya diloloskan. Atau Gubernur atau Bupati yang menolak menggelembungkan anggaran belanja, juga aparat polisi yang enggan jual-beli perkara kriminal. Serta berarti pula rakyat yang bisa menolak jual-beli suara saat pemilu. Penolakan itu nyatanya bisa diduplikasi. Di sisi lain, pengusaha itu -yang tidak pernah lagi diketahui namanya, apa yang dilakukannya adalah juga apa yang bisa kita lakukan dan akan terus terjadi. Kepentingan pribadi dan golongan hendak menggusur kepentingan hajat rakyat yang banyak.  

Tapi Hamengkubuwono IX, sama hal-nya dengan kita, manusia yang bisa saja luput lalu menjadi khilaf. Keadaan yang menggiurkan itu bisa menggoyahkan nurani. Tak ubahnya hari ini yang silih berganti berita tentang korupsi menghiasi dunia berita. Baik korupsi skala besar -baik nominal maupun jabatannya. Ataupun skala yang lebih kecil dibawahnya, dibawahnya, dan dibawahnya lagi. Korupsi -yang berarti penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok yang mengakibatkan kerugian negara, kiranya memang berjenjang sesuai dengan hierarki kekuasaan yang berlaku. Jika akhirnya kita tahu kekuasaan yang bertingkat itu berlumutan oleh korupsi, suap, dan nepotisme, adakah cukup Pancasila hadir sebagai sebuah slogan? Pertanyaan, memang hanya akan menyudutkan kita pada kenaifan.

Pancasila

Pancasila, yang sudah hadir kiranya adalah titik temu semua kepentingan pendiri bangsa. Butir-butir sila itu, Soekarno temukan dari sudut pandang arif-nya dalam melihat kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad sebelum kemerdekaan. Bagaimana cara mereka hidup, bekerja, bermasyarakat, dan hal-hal lain yang banyak bertaut perihal "kata kerja yang aktif". Tak ayal, Soekarno sendiri mengutarakan bahwa Pancasila jika pun harus diperas menjadi satu sila, maka itu adalah gotong royong. Sebuah terminologi yang erat tapi tetap aktif dan dinamis sebagai nilai berbangsa.

Nilai-nilai Pancasila pada prosesnya memang harus merasuk dalam sikap-tindakan-perbuatan kita dalam keseharian dengan segala entitas kita di masyarakat. Bukan sebagai slogan yang menggelegar terus menguap hilang. Butiran sila itu memang harus ditanam, dipelihara, tumbuh berbuah untuk bisa dinikmati oleh diri sendiri maupun bersama.

Hamengkubuwono IX telah wafat, tapi sejarah terus berjalan menemui generasi hari ini dengan membawa bebannya. Beban itu, bukan hanya tentang Hamengkubuwono IX yang pernah menolak suap tapi juga tentang Soeharto yang membuka lebar pintu investasi untuk asing. Bukan hanya tentang Soe Hok Gie yang menabrak tapi juga nepotisme yang masih menggurita. Barangkali begitulah cara sejarah berulang.

Goenawan Mohammad benar, tulisannya pada tahun 2003 itu terbukti, privatisasi yang selingkuh itu diungkap Dandhy Laksono dalam Sexy Killers pada tahun 2019. Saya yang salah: perselingkuhan itu semakin lumrah, dan semakin tidak menimbulkan keributan atau kegaduhan. Mentok ia hanya trending di jagad media sosial kemudian berlalu oleh trending yang lain. Para pejabat yang selingkuh itu terus saja melenggang, tapi Goenawan Mohammad malah membersamai. Sementara Dandhy Laksono tetap berdiri di seberang dan masih membidik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun