Find me on Medium and Blogger.
Biasanya saat men-ta'rif-kan (mendefinisikan) sesuatu, ulama akan menyebutkan pengertian sesuatu tersebut dalam dua varian pengertian: lughatan dan ishthilahan, secara bahasa (etimologi) dan secara istilah (terminologi).
Al-Qur'an, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qathan (1973: 20), secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari qara'a qira'ah wa qur'anan (قَرَاَ قِرَاءَة وَقُرْاٰنًا). Kata qara'a bermakna menggabungkan dan mengumpulkan (al-jam'u wadh dhammu). Al-Qira'ah bermakna menggabungkan dan mengumpulkan huruf dan kalimat satu demi satu saat membaca.
Secara istilah, demikian Ash-Shabuni (1390/1970: 6), Al-Qur'an didefinisikan sebagai kalam (ucapan) Allah yang bersifat mukjizat (almu'jiz), yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul melalui perantaraan Jibril a.s. yang terpercaya, yang tertulis di mushaf, yang diterima oleh kita secara mutawatir, yang dinilai sebagai ibadah saat dibaca, yang diawali surah Al-Fatihah dan diakhiri surah An-Nas. Ta'rif yang demikian ini disebut oleh Ash-Shabuni sebagai ta'rif yang disepakati oleh para ulama.
Sekarang mari kita pahami ta'rif ini satu demi satu. Pertama, dengan istilah kalam di sini dimaksudkan, menyitir Ibnu Ajurrum, adalah alkalamu huwa allafzhul murakkabu almufidu bilwadh'i (lafal yang tersusun dan memiliki faedah/pengertian secara sengaja). Jika kalam disandingkan (di-idhafah-kan) dengan lafal Allah, maka pengertiannya adalah bahwa Al-Qur'an merupakan lafal-lafal yang tersusun secara sengaja dan mengandung makna, meskipun lafal-lafal tersebut hanya sekedar huruf-huruf muqatha'ah (abjad hijaiyah yang menjadi pembuka surah-surah) semisal alif lam mim, nun, qaf, dan lain-lain. Andai kata kita mengatakan bahwa huruf-huruf muqatha'ah itu tidak bermakna, maka hal tersebut bertentangan dengan spirit Al-Qur'an sebagai hudan linnas (petunjuk bagi manusia). Bagaimana mungkin sesuatu yang hampa makna menjadi petunjuk bagi manusia.
Kedua, mukjizat (almu'jiz) merupakan sesuatu yang khariqun lil'adah (luar biasa, di luar nalar) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul sebagai bukti kebenaran klaim mereka sebagai utusan Allah. Mengapa harus luar biasa dan di luar nalar? Karena klaim mereka juga merupakan sesuatu yang luar biasa dan di luar nalar. Mereka mengaku sebagai juru bicara Allah di muka bumi, maka perlu sesuatu yang luar biasa dan di luar nalar untuk membuktikannya.
Ketiga, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul (Nabi Muhammad saw.). Dengan keterangan ini, berarti wahyu yang diturunkan kepada selain beliau tidaklah disebut Al-Qur'an.
Keempat, melalui perantaraan Jibril a.s. Berarti, wahyu yang diturunkan langsung kepada Rasulullah saw. tidak disebut Al-Qur'an. Contohnya, hadits qudsi.
Kelima, yang tertulis di mushaf. Al-Qur'an pada saat turunnya di masa Nabi Muhammad saw. memang belum berbentuk sempurna seperti saat sekarang. Namun, sebagian sahabat sudah berusaha menuliskannya ke dalam berbagai media yang memungkinkan seperti pelepah kurma, kulit hewan, dan lain-lain. Dalam perkembangannya terjadi pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushaf di zaman khalifah Abu Bakar atas saran dari Umar bin Khattab dan penyalinan kembali dalam beberapa mushaf di masa khalifah Utsman bin Affan (Al-Utsaimin, 2008 : 50--56).
Keenam, yang diterima oleh kita secara mutawatir. Arti mutawatir adalah diriwayatkan oleh banyak orang. Dalam kajian ilmu hadits, sebuah riwayat dikatakan mutawatir jika dalam setiap level (thabaqat) sanadnya terdiri dari 10 orang perawi atau lebih (Rahman, 2023 : 93--4). Riwayat mutawatir statusnya dipastikan shahih secara karena tidak dimungkinkan terjadinya kesepakatan dusta antara para perawi yang banyak tersebut.
Ketujuh, yang dinilai sebagai ibadah saat dibaca. Al-Qur'an bernilai ibadah jika dibaca dengan nilai 1 huruf adalah 10 pahala. Rasulullah saw. menyatakan, "... Aku tidak mengatakan bahwa alif lam mim adalah 1 huruf, tetapi alif adalah 1 huruf, lam adalah 1 huruf, dan mim adalah 1 huruf."
Wallahu a'lam.
Diringkas oleh Syamsudin, S.Ag., M.M.
Sumber:
Al-Qathan, Manna', Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Mansyurat Al-'Ashr Al-Hadits, Cet. III, Riyadh, 1973.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Pengantar Ilmu Tafsir (Terj. Ummu Ismail), Darus Sunnah Press, Jakarta, Cet. II, 2008.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan fi 'Ulumil Qur'an, Dinamika Berkah Utama, Jakarta, t.t.
Ash-Shalih, Shubhi, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Darul 'Ilmi lil Malayin, Cet. XVII, Beirut, 1988.
Rahman, Andi, Kritik Sanad dan Matan Hadis, Yayasan Wakaf Darus Sunnah, Banten, Cet. I, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H