Mohon tunggu...
Syamsudin
Syamsudin Mohon Tunggu... Guru - Pencari Ilmu

Seorang musafir dari alam ruh dalam perjalanan singkatnya menuju alam ukhrawi, dari ketiadaan menuju keabadian, yang berusaha meninggalkan atsar/legacy.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Salat Lagi

30 Juli 2024   22:12 Diperbarui: 30 Juli 2024   22:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Temukan pula tulisan ini di Blogger.com dan Medium.com 

Bagi muslim, salat merupakan bagian terpenting dalam keseharian hidupnya. Fondasi dari pandangan seperti ini didasarkan atas pesan Rasulullah saw. bahwa salat merupakan tiang agama (ash-shalatu 'imaduddin), salat merupakan pembeda status kemusliman dengan non muslim (al-'ahdulladzi bainana wa bainahumush-shalatu faman tarakaha faqad kafar), dan salat merupakan amaliah pertama yang dihitung di hari akhir (awwalu ma yuhasabu bihil-'abdu min 'amalihi shalatuh). Maka bagi seorang muslim, meningkatkan pengetahuan terhadap salat secara teknis pelaksanaan maupun pemahaman terhadap pesan moralnya merupakan sebuah kebutuhan yang harus senantiasa dijalani, laksana makan atau minum yang selalu ia butuhkan untuk kehidupannya, meskipun tentu saja kesadaran ini belum muncul di sebagian kalangan muslim.

Sebagian muslim sudah merasa cukup dengan pengetahuan yang telah diberikan secara turun temurun oleh orang tua dan gurunya di masa kecil. Mereka tidak lagi merasa butuh menambah ilmu tentang salat. Alasannya bisa beragam, entah karena sudah merasa yakin salatnya benar (uhuyyy) atau bisa jadi sekedar malas (na'udzu billah) atau bahkan hanya karena lelah usai bekerja (ya semua orang perlu istirahat, sih). Hal ini tentu saja dapat berakibat pada status salat yang menjadi sekedar rutinitas belaka. Padahal, dalam olah raga katakanlah, akurasi gerakan yang benar atau yang sesuai petunjuk coach saat melakukannya akan berdampak signifikan terhadap kesehatan tubuh. Olah raga yang benar akan menguatkan jasmani dan menyehatkan, sedangkan olah raga yang asal-asalan maka dapat dikatakan tidak akan berdampak positif. Begitu pula dalam menari. Murid yang belajar menari akan berusaha meniru gurunya dengan baik dan sang gurupun akan memperbaiki gerakan tangan, kaki, dan postur tubuh sang murid agar terlihat lebih estetik.

Demikianlah dengan olah raga dan seni tari. Akurasi gerakan sesuai contoh pelatih sangat dipentingkan. Bagaimana dengan salat kita? Salat memang bukan olah raga, apalagi seni tari. Mungkin analogiku kurang tepat, tapi yang kumaksudkan adalah andaikata kita sedemikian serius dengan olah raga dan menari, mengapa kita tidak serius dengan salat kita?

Salat memang banyak versi gerakan dan bacaan, namun syukurnya adalah seluruh mazhab fiqh yang berafiliasi pada firqah Ahlussunnah waljama'ah (Sunni) dapat digunakan sebagai rujukan. Mari kita ambil niat sebagai contoh. Para ulama Sunni sepakat bahwa niat merupakan hal penting dalam ibadah, termasuk salat. Namun mereka berbeda pandangan dalam hal positioning niat, apakah ia sebagai syarat salat ataukah sebagai rukun salat? 

Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah (perlu diingat bahwa Imam Malik adalah guru Imam Asy Syafi'i) berpendapat bahwa niat merupakan rukun salat. Term "rukun" secara mudah dapat diartikan sebagai salah satu bagian pokok dari sekian banyak bagian pokok. Oleh sebab itu, dalam pengertian ini, niat menyatu dalam salat. Ketika dipraktikkan, niat dilakukan di dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram. Tidak sah kita berniat dari rumah dan bertakbiratul ihram di masjid.

Sementara menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah niat adalah syarat salat (perlu diingat bahwa Imam Hanbali adalah murid Imam Asy Syafi'i sedangkan Imam Hanafi lebih senior daripada mereka berdua. Imam Hanafi wafat 150 H, Imam Syafi'i lahir 150 H, dan Imam Hanbali lahir 164 H). Dalam pengertian ini, niat tidak perlu dilakukan bersamaan dengan salat. Niat sebagai syarat artinya niat merupakan bagian terpisah dari salat. Namun, ia menjadi syarat diterimanya salat. Seseorang boleh berniat dari rumah untuk salat di masjid. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam praktiknya ada orang yang berjalan masuk masjid lalu berdiri diam sebentar langsung takbiratul ihram. Kemungkinan besar orang tersebut mengikuti mazhab hanafi atau mazhab hanbali. Sementara orang yang masuk masjid lalu berdiri diam sedikit lebih lama seakan melakukan conditioning, maka kemungkinan ia bermazhab maliki atau mazhab syafi'i karena bisa jadi ia sedang melafalkan niat secara lisan, lalu bertakbiratul ihram secara lisan sambil menyesuaikan pengucapan niat di dalam kalbunya.

Intinya kurasa, di tengah hiruk pikuk aktivitas kita, semua kita perlu belajar salat lagi. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun