Tulisan ini merupakan resume dari Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim karya Dr. Muhammad Mahzum (judul asli Tahqiq Mawaqif Ash Shahabah fil Fitnah, alih Bahasa oleh Drs. Rosihon Anwar, M.Ag.), CV Pustaka Setia, cet. 1, 1999. Temukan pula resume ini di Medium.com dan Blogger.com
Definisi tahkim tidak dijelaskan dalam buku ini. Sebagai gambaran, tahkim berasal dari kata hakkama yuhakkimu tahkiman ( ) yang artinya pengangkatan hakim atau pembuat keputusan hukum (almaany.com). Dalam istilah fikih antara lain didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berhukumnya dua orang yang berselisih kepada orang lain agar menyelesaikan konflik yang ada di antara keduanya dengan mengikuti petunjuk hukum syara' (e-journal.metrouniv.ac.id).
Tahkim merupakan peristiwa yang memberikan pengaruh luar biasa terhadap kemunculan aliran teologi dan politik dalam Islam. Peristiwa ini terjadi pada malam Rabu, 13 hari terakhir bulan Safar tahun 37 H dan dihadiri oleh pemuka kedua belah pihak, Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy'ari dan Mu'awiyah diwakili oleh Amr bin Al 'Ash. Para sejarawan berbeda pendapat tentang locus dari peristiwa tahkim. Ath Thabari, Al Mas'udi, dan Ibnul Atsir berpendapat bahwa tahkim terjadi di Dumatul Jandal sedangkan tokoh yang lebih senior dari mereka, yakni Khulaifah dan Ibnu Sa'ad menyebutkan lokasinya di Adzruh (hlm. 27-32).
Mengutip Ath Thabari, penulis menuturkan dialog yang terjadi antara Abu Musa dan Amr di mana Amr meminta Abu Musa untuk mulai berbicara dengan motif agar Abu Musa mencopot kekhalifahan Ali, namun Abu Musa menolaknya. Amr menginginkan agar Mu'awiyah diangkat menjadi khalifah pengganti Ali tetapi Abu Musa menolaknya usulannya. Ketika Abu Musa mengusulkan Abdullah bin Umar sebagai khalifah, Amr menolaknya. Lalu Amr meminta solusi lain dari Abu Musa. Kemudian Abu Musa mengatakan bahwa kedua orang ini (Ali dan Mu'awiyah) harus diturunkan dari kedudukannya dan urusan pengangkatan pengganti mereka selanjutnya diserahkan kepada kaum muslimin secara musyawarah. Amr sepakat dengan pendapat Abu Musa dan keduanya akan menyampaikan hal yang sama di hadapan kaum muslimin.
Tatkala mereka telah berdiri di hadapan kaum muslimin, Amr mempersilakan Abu Musa maju untuk menyampaikan kesepakatan mereka berdua. Setelah Abu Musa menyampaikan apa yang mereka sepakati, lalu Amr berbicara menguatkan ucapan Abu Musa pada poin pencopotan Ali tetapi tidak berbicara tentang pencopotan Mu'awiyah, bahkan Amr justru mengangkat Mu'awiyah sebagai khalifah. Tentu saja hal ini memunculkan kegaduhan luar biasa. Abu Musa bahkan menyebut Amr sebagai anjxxx sementara Amr menyebut Abu Musa sebagai keledxx. Syuraih bin Hani, salah seorang yang hadir kala itu, menerjang Amr dan memukulnya dengan cambuk. Aksi ini dibalas oleh anak Amr terhadapnya. Pertikaian tersebut kemudian dilerai oleh orang-orang yang hadir (hlm. 33-40).
Dalam pandangan penulis, kisah yang diceritakan oleh Ath Thabari perlu dikritisi (hlm. 42-43). Poin yang perlu dipertanyakan adalah mengapa Abu Musa dan Amr bersepakat menurunkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatannya sebagai khalifah padahal faktanya adalah hanya Ali sajalah khalifah yang sah sedangkan Mu'awiyah sejak awal tidak pernah mengklaim dirinya sebagai khalifah meskipun ia telah menjadi gubernur Syam sejak masa khalifah Umar bin Khattab sampai wafatnya Utsman. Ia hanya menginginkan pengusutan tuntas kasus pembunuhan Utsman.
Keputusan tahkim yang mengecewakan ini, membuat pendukung Ali yang sejak awal menolak perdamaian dan menginginkan pertempuran dilanjutkan berbelok arah menentang Ali.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H