Mohon tunggu...
Shamier Sungkar
Shamier Sungkar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FISIP UIN Jakarta - Mahasiswa FISIP UIN Jakarta

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Invasi Rusia-Ukraina hingga Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan Lokal

8 Mei 2023   12:52 Diperbarui: 8 Mei 2023   13:01 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa bulan ke belakang pasti kita semua tidak asing lagi dengan wira-wiri kabar mengenai perang antara negara Rusia dan Ukraina yang terus berseliweran. Bak api yang membara, kabar ini terus memanas dan takpernah padam. Apakah isu ini merupakan isu yang besar dan memiliki pengaruh yang begitu besarnya? Mungkin pertanyaan itu dapat penulis jawab dalam artikel ini. 

            Dalam rentetan sejarahnya, Rusia dan Ukraina bersatu di bawah federasi Uni Soviet. Akan tetapi, pada tahun 1991 Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet yang kemudian disetujui oleh Rusia. Kemudian, Presiden Rusia saat itu mendirikan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka atau Commonwealth Independent States (CIS) bersama dengan Ukraina dan Belarusia.

            Gejolak kisah persaudaraan antara Rusia dengan Ukraina pun dimulai dari sini. Pada saat itu, Ukraina menganggap bahwa CIS didirikan atas dasar upaya Rusia dalam mengendalikan negara-negara di bawah kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Namun setelahnya negara Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan Treaty of Friendship, Cooperation, and Partnership pada tahun 1997 untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Walaupun batas negara Ukraina saat itu belum diakui Rusia, keamanan Ukraina menjadi lebih baik setelah pembagian wilayah armada laut di Laut Hitam.

            Setelah itu, Rusia tetap mendapat izin untuk mempertahankan kepemilikannya akan mayoritas kapal armada Laut Hitam di Krimea, Ukraina. Tidak lupa juga pembayaran sewa atas Pelabuhan Sevastopol yang diwajibkan oleh Rusia terhadap Ukraina.

            Tidak berhenti di situ saja, pada tahun 2014 kembali memanas di antara keduanya karena Rusia berambisi untuk menyatukan wilayah Ukraina dan Krimea menjadi bagian penting dari negara Rusia. Seperti yang telah disampaikan oleh Putin, bahwa aneksasi Krimea adalah bentuk upaya penyatuan yang harus dilakukan karena Ukraina adalah saudara sebangsa dengan orang-orang Rusia. Mereka mengklaim bahwa Rusia berhak melindungi warga lintas negara dan 2/3 penduduk Ukraina. Selain itu, sekitar 90 persen penduduk di Krimea adalah orang berbahasa Rusia, yang menurut Pemerintah Rusia berarti mereka diidentifikasi sebagai orang dengan etnis Rusia.  Dapat kita simpulkan di sini bahwa Rusia lebih mengedepankan sentimen etnis daripada unsur nasionalisme. (Widiasa, 2018)

            Hal tersebut membangun negara Ukraina untuk menentang ambisi pergerakan supremasi Rusia. Sejalan dengan itu, kaum ultra-nasionalis Ukraina menginginkan untuk lepas sepenuhnya dari Rusia untuk menjadi independen seutuhnya kemudian berdiri sendiri secara demokratis. Sampai pada akhirnya massa anti pemerintah di Ukraina menjatuhkan kepemimpinan presiden pro-Rusia, Viktor Yanukovych, dan di lain sisi, ada pula separatis daerah Donetsk dan Luhansk di Ukraina Timur yang didukung oleh Rusia.

            Di samping lika-liku linimasa sejarah di antara kedua negara tersebut, timbul kecemasan bagi seluruh dunia mengenai dampak yang kemungkinan besar terjadi dari banyak sektor, terutama sektor ekonomi dan sektor pangan. Menurut Antonio Guterres yang bertugas sebagai Sekretaris Jenderal PBB, dampak konflik Rusia-Ukraina bagi dunia bisa semakin buruk. Setidaknya 1,6 miliar orang di berbagai negara bakal menanggung imbas perang antara kedua negara tersebut.

            Dilansir dari Republika, menurut Guterres saat mempresentasikan laporan kedua tentang dampak konflik Rusia-Ukraina, bahwa dampak perang terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan bersifat sistemik, parah, serta semakin cepat. Dia mengkhawatirkan krisis yang bisa muncul sebagai konsekuensi perang Rusia-Ukraina. "Bagi orang-orang di seluruh dunia, perang mengancam untuk melepaskan gelombang kelaparan dan kemelaratan yang belum pernah terjadi sebelumnya, meninggalkan kekacauan sosial serta ekonomi di belakangnya," ucapnya. (Yolandha, 2022)

            Menurut PBB, Ukraina dan Rusia memiliki pengaruh besar dalam sektor pangan dunia, mereka mewakili 53 persen perdagangan global minyak bunga matahari dan biji-bijian, serta 27 persen gandum. Selain itu mereka juga memainkan ekspor sebesar 28 persen pupuk dari nitrogen dan fosfor, serta kalium.

            Di Indonesia, sebesar 24 persen pasokan gandum didapat dari Ukraina. Berkenaan dengan jumlah yang besar ini, Presiden Joko Widodo memberi peringatan untuk bersiap dari krisis pangan dengan mencari substitusi pangan di Indonesia. Mengingat bahan baku gandum yang sangat penting diolah oleh masyarakat kita, maka harus diakali cara untuk menggantikannya.

            Hal ini juga mendukung bagi kemajuan penelitian di Indonesia untuk mencari bahan pengganti gandum yang tepat dan efektif bagi masyarakat. Beberapa peneliti beranggapan bahwa budi daya sorgum sebagai pengganti suplai gandum di Indonesia bisa manjadi jawabannnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun