Perkembangan Media Massa di Indonesia
Surat kabar hasil cetakan pertama kali diterbitkan pada tahun 1605 oleh Johan Carolus di Jerman dan menggunakan bahasa latin. Di indonesia sendiri surat kabar pertama kali terbit sejak zaman kolonial belanda. Pada tahun 1629 Jan Pieterzoon Coen memperkrasai penerbitan newsletter dengan nama “Memorie der Nouvelles” yang berisi berita-berita dari Belanda yang dibawa ke Indonesia.
Surat kabar tersebut menggunakan tulisan tangan dan disebarkan kepada kaum elit di daeraj Batavia. Sementara surat kabar pribumi tercatat pertama kali muncul pada tahun 1850an dengan menggunakan bahasa melayu, dan pada tahun 1855 surat kabat “Bromartani” dengan meggunakan bahasa jawa terbit dikalanagan masyarakat jawa yang tersebar secara luas. Dan oada tahun 1943 terbitlah “Media Prijanji” dengan bahasa melayu yang berisi tentang gambaran situasi politik di Indonesia dari sudut pandang nasionalisme.
Kemudiana gambaran produk jurnalistik di era selanjutnya ialah di era pasca kemerdekaan surat kabar mulai digunakan sebagai alat manuver politik yang berutujuan menggunacang bahakan mendapatkan kekuasaan sebagai bentuk propaganda.
Saking memburuknya kebebasan pers di era ini pada tanggal 1 Oktober 1958 dianggap sebagai hari matinya kebebasan pers di Indonesia dengan banyak penangkapan para wartawan serta di keluarkanya dekrti preseden sebagai bentuk mutlak regulasi akan mempersempit ruang gerak dan kebebasan pers. Lanjut ke era orde baru dimana pers sangat dikuasai oleh pemerintahan dan menjadi alat untuk menghegemoni kepentingan dalam pembuatan regulasi dan pelaksanaannya.
Dalam masa ini muncul beberepa kegiatan pers yang mencoba mengadvokasi adanya korban-korban kasus hukum yang berkaitan dengan penutupan informasi berbasis media massa.
Di era rofromasi dengan adanya kebebasan pers seluas-luasnya maka sering kali ditemukan berbagai metode yang dilakukan oleh media pers dalam menginterpretasikan informasi dengan relevansi yanng berbeda-beda, kebebasan pers menjadikan informasi yang ada bersifat cair dan memahami konteks dengan informasi yang saling tumpang tindih.
Prespektif Komunikasi Media Massa dalam Culturla Sudies
Paul F. Lazarsfeld menggunakan istilah adminsitrative research dan critical research dalam memamahi komunikasi media masa. Yang dimaksudkan dengan adminsitratif ialah bagaiamana informasi diolah untuk memenuhi kepentingan institusi media, sedangkan kritikal berkembang dari prespektif marxis dengan menganalisa adanya perna dominan di media massa dalam mengkultuskan informasu yang hanya relevan pada kepentingan penguasa.
Prespektif studi komunikasi lainnya ialah cultural studies approach yang mencoba mengkaji lingkungan simbolik yang dihasilkan oleh media massa dalam peran kebudayaan masyarkaat. James Carey (1989) berpendapat bahwa kajian komunikasi selama ini didomnisasi oleh model transmisisi komunikasi dimana komunikasi dipahami sebagai mengatransmisikan pesan dalam hal kontrol sosial.
Dia menyarankan model pengganti dia sebut sebagai ritual view of communication, yang diamana berdasarkan prespektif ini tindakan mengkonsumsi surat kabar tidak lagi berkaitan dengan kontrol sosial ataupun pencarian infromasi yang terjaring melainkan sebagai upaya masyarakat sipil sebagai bentuk pemeliharaan dalam hal keyakinan berbgai komunikasi satu sama lain.