Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mendulang Asa Kompasiana

4 Januari 2014   23:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir 2013, Iwanpiliang menulis “Opini: Putihkan Koruptor Hapus Diksi Korupsi” (baca di sini). Tulisan Iwan merujuktulisan Budiman Tanuredjo, “Penyakit Korupsi Tak Pernah Pergi” yang merupakan bagian dari “Tinjauan Kompas Menatap Indonesia 2014”. Tulisan mas Budiman sendiri merujuk lagi ke sebuah Tajuk di media tempatnya bekerja, Harian Kompas (14 September 1965), yang menyoal tentang pentjoleng ekonomi.

Dari sisi urut-urutannya, pembaca dapat melihat rangkaian pertalian: bung Iwan merujuk tulisan mas Budiman, dan mas Budiman merujuk tulisan yang lebih tua, yakni ke Tajuk terbitan tahun 1965. Dengan demikian, tulisan bung Iwan yang termuda meskipun berdekatan jaraknya dengan tulisan mas Budiman. Maka, “mbah”nya dari kedua tulisan itu adalah Tajuk di Harian Kompas. Tentu saja, kedua tulisan yang lebih muda, memiliki juga sumber-sumber lain di luar Tajuk tersebut.

Lazimnya di dunia kepenulisan, tatkala sebuah tulisan banyak dirujuk tulisan-tulisan berikutnya berarti kadar isinya layak kutip, penting dan relevan, serta benar-benar berharga (referensial). Tampaknya, itulah yang terjadi pada Tajuk tersebut.

Sehingga, tidaklah berlebihan bahwa para penulis serius berjuang untuk menghasilkan karya-karya yang tidak lekang oleh waktu. Kebahagiaan diartikan manakala pembaca dapat memperoleh “sesuatu” dari setiap tulisannya. Saya percaya, impetus (daya dorong) tertentu dapat menumbuhkan asa penulis untuk menghasilkan tulisan-tulisan referensialmeskipun itu tidak mudah. Tulisan-tulisan yang berkadar referensial serta inspiratif biasanya berusia cukup panjang, bahkan bertahan lebih lama daripada usia penulisnya sendiri!

Saya sempat membayangkan, bahwa cucu-cucu saya kelak dapat menikmati tulisan lawas dan tulisan baru karya sang kakek di Kompasiana! Ini memang baru sebatas berangan-angan karena itu masih jauh. Saat ini, kedua orang anak-anak kami masih seusia teman-teman sebaya mereka, yang sedang senang-senangnya bermain kelereng, mengejar layang-layang, dan asyik bermain masak-masakan.

Patron inspirasi

Secara pribadi, tungku-tungku literasi saya memang dekat dengan Kitab Suci (Nasrani). Bangsa ini beruntung karena hidup di Negeri tercinta bernama Indonesia, tempat perbedaan apa pun dapat dirayakan tanpa prasangka ekstrem. Di sebuah Negara semajemuk Indonesia ini, seyogianya para kompasioner (senior dan pendatang baru) terus membiasakan diri untuk bisa nyaman dengan kemajemukan secara genuine, tanpa perlu saling merasa terintimidasi. Jadikan Kompasiana sebagai satu model atau miniatur keindonesiaan tulen, yang benar-benar rukun dan mampu saling berbagi asa secara konstruktif. Manusia menajamkan sesamanya!

Dengan impetus literasi yang cukup kuat, saya pribadi tidak berangan-angan mampu menandingi inspirasi tulisan-tulisan di dalam Alkitab. Sejatinya, Sang Penulis Alkitab adalah TUHAN sendiri! Dialah inspirator dan sumber asli penulisan Kitab Suci. Umat berkitab dapat memiliki sebuah Kitab Suci karena pada masa lampau yang jauh, TUHAN sudah berkenan memilih beberapa orang untuk berperan sebagai jurutulis SABDA-Nya seutuhnya. Sejarah Kitab Suci Nasrani menunjukkan bahwa proses itu berlangsung selama ribuan tahun dan selesai tuntas pada akhir abad ke-1 Masehi.

TUHAN bebas menggunakan media apa pun dan sarana apa pun (entah melalui komunikasi lisan ataupun dengan tulisan) manakala bersabda kepada umat-Nya. Sejak mereka menerima Kitab Suci-Nya, terjadi perubahan yang signifikan, misalnya, acuan tertinggi untuk uji “kebenaran” tunduk di bawah otoritas SABDA yang tertulis itu. Itulah aturan main yang berlaku sejak umat berkitab menerima sebuah Kitab Suci yang lengkap!

Frasa pertama Kitab Perjanjian Lama terbaca sangat kuat, “Pada mulanya Allah…”1 Tak kalah kuatnya Perjanjian Baru juga menyatakan, “Pada mulanya adalah Firman…”2 Kedua penyataan itu sama-sama berbicara tentang Allah dan Firman-Nya (Sang Sabda atau Kalimah-Nya), yang tidak lain adalah Isa Al Masih (Yesus Kristus)! Sang Khalik sudah menyatakan Diri-Nya dan menegaskan tentang asal-muasal Penciptaan alam semesta (dunia) melalui paragraf-paragraf yang memuat kedua frasa tersebut.

Dunia kita diciptakan oleh Sabda Allah! Jikalau Sang Khalik tidak bersabda (dengan Kalimah-Nya), maka tidak pernah akan ada segala sesuatu dari yang tidak ada (Creatio Ex-Nihilo). Sejatinya, TUHAN adalah Yang Awal (Alpha), yang SUDAH ADA sebelum tercipta apa pun, dan sekaligus Yang Akhir (Omega), yang berkuasa untuk mengadakan dan mengakhiri segala sesuatu!

Homileterasi

Istilah ‘homileterasi’ ini adalah rekaan saya sendiri, sebagai perpaduan dari homiletika dan literasi. Manakala si pendulang asa ini usai menghimpun sumber-sumber yang terserak di sana-sini, termasuk menemukan sebuah tulisan ringkas milik Alyce M. McKenzie, saya melimbang semuanya itu sedemikian rupa sehingga tersusun tulisan “Mendulang Asa Kompasiana”.

McKenzie, seorang seminaris dari Perkins School of Theology, sebenarnya menulis tinjauan buku karya George Lovell dan Neil G. Richardson, berjudul Sustaining Preachers and Preaching: A Practical Guide (2011).

Sesuai judul bukunya, ruang lingkup karya Lovell dan Richardson adalah bidang Homiletika (studi tentang khotbah). Pemikiran saya spontan berusaha menemukan jalan untuk menghubungkan prinsip-prinsip Homiletika dengan praktik umum di dunia kepenulisan. Saya memiliki keyakinan,bahwa aktivitas menulis dan berkhotbah sama-sama membutuhkan penggunaan sisi-sisi kerohanian dan intelektualitas yang terlatih dengan baik. Tiga serangkai Homiletika, Hermeneutika (studi tentang metode dan praktik tafsir), dan Literasi dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk menumbuhkan asa di Kompasiana.

Saya mencatat dua adaptasi layak untuk dipertimbangkan. (1) Bagaimana menebar impetus agar kompasioner senantiasa memiliki spirit menulis, dengan “otot-otot” literer tumbuh begitu liat? Manakala kompasioner memiliki keduanya, niscaya terlihat manifestasi daya tahan, antusiasme, dan gairah tinggi untuk menulis topik apa pun. (2) Seyogianya, kompasioner dapat meningkatkan intensitas berbagi asa, tanpa membeda-bedakan warga biasa atau warga “luar biasa”. Semua dapat saling berbagi dan menebar kebaikan di Kompasiana.

_________________

1 Kejadian 1:1.

2 Yohanes 1:1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun