Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sepasang Petani di Komunitas Pasutri

27 Januari 2014   18:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selama tiga bulan terakhir ini, saya dan istri saya sebenarnya sering berhalangan hadir dalam pertemuan-pertemuan pasangan suami-istri (pasutri) di lingkungan komunitas kami. Komunitas itu merupakan bagian dari sebuah organisasi nasional nirlaba, tempat saya mula-mula menjadi anggotanya tatkala saya masih berstatus pemuda lajang dan sebagai mahasiswa tahun pertama di kota gudeg dahulu (persisnya, sejak tahun 1985).

Setelah saya menuntaskan kuliah di program studi (prodi) pertama saya pada tahun 1990, selanjutnya saya telah mengalami beberapa kali pindah domisili antar-kota dan antar-provinsi. Serangkaian perpindahan itu merupakan bagian dari respons pribadi saya terhadap suatu kebutuhan khusus di internal organisasi nirlaba tersebut. Secara berturut-turut, saya pernah tinggal di tiga buah kota berukuran sedang dan besar di Tanah Air.

Di kota yang ketiga, di sela-sela pelaksanaan tugas-tugas pokok saya di lingkungan organisasi kami, saya menyempatkan diri untuk menempuh prodi kedua sejak tahun 1998. Ternyata, prodi kedua itu dapat saya selesaikan tuntas pada tahun 2003. Bahkan, Tuhan pun masih menambahkan dengan satu “bonus” spesial, yang nilainya lebih berharga daripada segepok kompetensi akademis: seorang istri!

Saya menikah dengan seorang mahasiswi, adik angkatan saya sendiri pada prodi kedua tersebut. Pertama kali bertemu dengannya, saya menyadari bahwa adik angkatan saya itu terkesan lebih unggul daripada saya dalam hal penguasaan materi perkuliahan bahasa-bahasa asli Kitab Suci. Hubungan kami dapat terjalin tanpa sempat melalui fase berpacaran. Kami hanya memaksimalkan kualitas interaksi pada setiap agenda kegiatan di kampus, khususnya setiap terjadi perjumpaan di dalam ruangan kuliah.

Setelah kami menikah, saya memboyong istri saya dan kami bermukim di (pinggiran) kota kembang hingga sekarang. Seorang rekan di Kantor Nasional organisasi kami pernah meledek saya, bahwa daerah kediaman kami termasuk “Bandung coret”. Saya hanya tersenyum menyambut candaan dari rekan saya. Pikir saya, toh saya juga pernah mengalami menjadi pemilik KTP sah keluaran Kota Bandung.

Bertani kecil-kecilan

Sejak beberapa tahun yang lalu saya telah menyelesaikan terminasi pengabdian formal saya di internal organisasi kami (persisnya, sejak September 2007). Tetapi sebagai individu yang sejatinya berkepribadian loyal, saya masih menjaga ikatan kebersamaan kami dengan organisasi asal saya, entah sejauh mana format hubungan kami berubah ke depan.

Selanjutnya, saya dan istri mulai bertani kecil-kecilan untuk menambah income bulanan sejak tahun 2011. Sebelumnya, saya pernah juga mengajar beberapa mata kuliah selama sekitar delapan tahun. Partisipasi kami di dalam komunitas pasutri, yang saya sebutkan pada awal tulisan ini, merupakan salah satu pilihan kami untuk menjaga kebersamaan sebelumnya.

Saya pribadi cukup memahami, bahwa imbauan yang bernas untuk hidup di dalam komunitas merupakan salah satu prinsip penting yang telah diwariskan kepada kami, manakala saya mulai bergabung dengan organisasi kami sejak usia muda. Sehingga, ke depan entah di manapun dan kepada siapa pun pertanggungjawaban kami berikutnya, prinsip-prinsip berbagi hidup di dalam sebuah komunitas yang sehat senantiasa dapat bertahan. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.

Pertemuan-pertemuan kelompok pasutri kami biasanya diadakan sebulan sekali di rumah salah satu pasutri yang ditunjuk secara bergiliran. Saya dan istri tidak kebagian giliran menjadi tuan rumah mengingat betapa imutnya ukuran pondok kediaman kami, alias kecil bin nyempil di sebuah perkampungan becek ecek-ecek.

Seni berbagi hidup

Sekarang, kami masih angkat tangan manakala harus kedatangan sekaligus beberapa orang tamu secara bersamaan. Mafhum saja, bahwa pada setiap pertemuan pasutri, biasanya setiap keluarga mengerahkan sebagian atau seluruh kekuatan “pasukan” masing-masing. Dengan jumlah seluruh yang hadir dapat mencapai lebih dari dua puluhan orang, tentu saja dapat dibayangkan keseriusan persiapan perbekalan logistiknya!

Rumah setiap pasutri yang ditunjuk biasanya berukuran cukup besar, tempat para orangtua dapat mendiskusikan pokok bahasan yang sudah ditetapkan bersama. Sedangkan anak-anak mereka, dengan usia yang sangat variatif (dari usia bayi sampai usia remaja), dapat bersosialisasi sehat di ruangan-ruangan terpisah. Tentu saja, sesekali tetap ada satu atau dua orang balita yang nyelonong berlari-larian ke sana kemari, ke ruangan tempat para orangtua sedang asyik berdiskusi.

Setiap orang dapat menikmati setiap perubahan suasana, sebab acara memang diformat cukup santai, khas untuk konsumsi keluarga dengan seluruh potensi kehebohannya. Orangtua dapat bersosialisasi dan saling menguatkan, sembari kebutuhan anak-anak tetap dapat terpenuhi. Itulah salah salah satu sisi dari seni berbagi kehidupan.

Pada serangkaian pertemuan sebelumnya, komunitas pasutri kami sedang membahas topik How to enjoy Your Marriage, yang diambil dari sebuah buku karya Paul Gunadi, Ph.D. Pada pertemuan kali ini, tuan rumah kami adalah seorang dosen bergelar S3 di sebuah universitas swasta terkenal di Kota Bandung. Rekan saya tersebut membagikan sebagian dari tiga pelajaran penting. Sebagai pasutri, beliau dan istri berusaha untuk membuat keputusan-keputusan penting bersama-sama, berusaha mencapai kesepakatan-kesepakatan bersama, dan serius menjaga keintiman dan kemesraan hidup sebagai pasutri.

Dua pria lainnya ikut berbagi, dan kedua bapak itu juga sama-sama berprofesi sebagai seorang dosen, dan masing-masing telah menyelesaikan studi lanjut dari sebuah universitas di luar negeri. Dengan mengetahui latar belakang mereka, saya pribadi dan mungkin juga istri saya telah menyadari satu hal ini, sejak pertama kali kami diundang untuk bergabung di dalam komunitas tersebut. Ternyata, kami berdua adalah sepasang “petani” kecil, yang nyempil di dalam komunitas para dosen dan kaum profesional.

Saya tidak bermaksud untuk merisaukan hal ini secara serius, karena saya percaya bahwa mungkin kami masih dapat berbagi sesuatu hingga batas-batas tertentu. Saya agak sependapat dengan salah seorang bapak, yang menanggapi setiap pernyataan pujian dari orang-orang lain dengan cara yang cukup unik.

“Jangan percaya kalau seseorang sedang memuji-muji diri saya! Itu semua bohong,” kata beliau yang kebetulan berprofesi sebagai dokter.

Tampaknya, beliau benar-benar berasal dari keluarga dokter karena ayahnya juga seorang dokter.

Lebih lanjut beliau segera menambahkan kata-katanya, “Tetapi, Anda boleh percaya kata-kata itu, sekiranya yang mengucapkannya adalah istri saya sendiri.”

Saya dapat menangkap sebagian kebenaran di dalam kata-kata beliau. Istri adalah satu pribadi yang paling jujur dapat memberikan kesaksian tentang suaminya. Seorang istri dapat mendukung keberhasilan suami atau justru sebaliknya meruntuhkan segala sesuatu yang sedang dibangun oleh suaminya. Pilihan terbaik bagi istri yang bijak ialah, berperanan tepat seoptimal mungkin sebagai penolong yang sepadan, agar keduanya dapat bersama-sama menegakkan kualitas kehidupan yang mulia dan penuh integritas.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun