[caption id="attachment_367782" align="aligncenter" width="448" caption="Photo: RAN/Steven Thomson"][/caption]
Keandalan kapal perang jenis Landing Platform Dock (LPD) semisal KRI Banda Aceh sudah terasa sepanjang operasi SAR pesawat AirAsia QZ8501. LPD kelas Makassar berbobot standar 8.400 ton tersebut terlihat berperan penting sebagai pusat koordinasi evakuasi korban AirAsia. Puing-puing serpihan pesawat naas tersebut sebelumnya terbenam di dasar Selat Karimata.
Sejak PT PAL Indonesia berhasil membangun LPD terbesar KRI Banda Aceh (diluncurkan di Surabaya pada 21 Maret 2011), maka tinggal selangkah lagi galangan kapal dalam negeri tersebut kelak akan mampu membangun kapal perang dari jenis yang lebih besar semisal Landing Helicopter Dock (LHD).
Tentu saja, itu pun jika dikehendaki pemerintah dan didukung mayoritas rakyat Indonesia, serta jika perekenomian nasional menunjukkan trend penguatan signifikan secara bersinambungan.
Sekarang ini, angkatan bersenjata kita memang belum/tidak merasa membutuhkan alutsista permukaan air sekelas kapal induk. Tetapi, pemikiran tentang keandalan kapal perang jenis LHD ternyata sudah muncul sejak tiga tahun yang lalu atau barangkali lebih awal lagi.
Kapal-kapal perang berskala LHD, sebagai pengangkut multirole strategis, meskipun lebih kecil daripada kapal induk tetapi masih lebih besar daripada LPD dan Landing Ship Tank (LST). Selain itu, tidak dimungkiri bahwa dunia kemaritiman Indonesia tidak lepas dari karakteristik geografis kita yang serba rentan untuk terpapar bencana alam. Sehingga, keberadaan LHD canggih racikan bangsa Indonesia dapat digelar untuk misi militer dan/atau untuk misi sipil pada masa damai semisal untuk penanganan dampak bencana alam dan kecelakaan transportasi.
Di kawasan Asia Pasifik, Australia tetangga dekat kita telah memiliki dua buah LHD racikan teknologi negeri matador. Spanyol sebagai mitra lama kita dalam pembuatan pesawat terbang ternyata jawara juga dalam soal pembangunan kapal induk kelas ringan. LHD pertama Australia NUSHIP Canberra berukuran panjang melebihi 230 meter dan berbobot mati sekitar 27.500 ton—kapal perang terbesar sepanjang sejarah Angkatan Laut Australia (lihat tabel “Perbandingan Ukuran Kapal-kapal Angkutan Berat”). Namun, LHD kedua mereka NUSHIP Adelaide ternyata baru akan bertugas pada tahun 2016. Sebaliknya, LHD pertama mereka telah berada di Melbourne sejak 17 Oktober 2012, setelah menempuh pelayaran yang cukup panjang dengan cara diusung kapal angkut berat Blue Marlin.
Berdasarkan laporan sebuah media online, Australia menjajal kemampuan NUSHIP Canberra sejak Maret 2014. Pada masa pengujian dan pelayaran perdana tersebut, keandalan kinerja seluruh sistemnya diuji secara ketat selama lebih dari 16 hari (atau sekitar 240 jam). Termasuk di dalamnya pemantapan kemampuan seluruh personel dalam mengoperasikan kapal tersebut, yang disimulasikan diperhadapkan dengan pelbagai tantangan dan situasi penugasan yang sangat beragam.
Sementara itu, Angkatan Laut India semakin meningkatkan kemampuan mereka untuk menggelar operasi jarak jauh sejak kapal induk INS Vikramaditya (berbobot benaman 40.000 ton) masuk di deretan alutsista cadas milik mereka. Padahal, negara pemilik garis pantai sepanjang 7.000 Km tersebut (bandingkan dengan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 54.716 Km), jauh sebelumnya (sejak 1987) telah memiliki INS Viraat (berbobot benaman 28.700 ton). INS Viraat adalah sebuah kapal induk lawas eks-HMS Hermes, yang pernah diterjunkan oleh Kerajaan Inggris untuk berlaga dalam Perang Falklands.
Pemerintah India pasti telah menimbang segala sesuatu dengan cukup matang tatkala memutuskan pembelian dua buah kapal induk lawas tersebut. INS Vikramaditya sebelumnya bernama Admiral Gorshkov, yakni kapal induk kelas Kiev di jajaran Angkatan Laut Rusia. Kini kapal perang tersebut menjadi alutsista permukaan air terbesar di jajaran Angkatan Laut India. Dimensi kapal berukuran panjang 284 meter dan lebarnya 60 meter.
[caption id="attachment_367783" align="aligncenter" width="448" caption="Photo: RAN/Tom Gibson"]
LHD racikan Indonesia
Setelah menilik ketrengginasan kinerja PT PAL sebagai pembangun kapal sipil dan kapal militer, maka tidaklah berlebihan bahwa sebagian anak bangsa berkeinginan untuk mendorong pembangunan kapal perang LHD di dalam negeri.
Simak saja, bahwa pada tahun 2000 PT PAL berhasil membangun kapal tanker MT Palu Sipat berbobot 17.500 deadweight tonnage (DWT). Pembangunan kapal-kapal tanker sekelas Palu Sipat ternyata terus berlanjut, semisal pada 2014 PT PAL berhasil menyelesaikan MT Pagerungan dan MT Pangkalan Brandan—kedua kapal didesain memiliki konstruksi lambung ganda (double hull). Selain itu, sekitar tahun 2005 (sembilan tahun yang lalu), galangan kapal strategis kebanggaan bangsa tersebut berhasil menyelesaikan pembangunan MT Fastron berukuran panjang 180 meter, lebar 30,5 meter, dan berbobot 30.000 DWT.
Bahkan, sebuah media online berbahasa Inggris pernah melaporkan bahwa sekitar tahun 2005 juga PT PAL Indonesia sedang membangun dua buah supertanker pesanan PT Pertamina, masing-masing berbobot 120.000 DWT dan 200.000 DWT! Entahlah apakah kedua supertanker tersebut dapat diselesaikan sesuai rencana semula atau sebaliknya terkapar lunglai, semisal karena ditelikung oleh intrik oknum pejabat tamak, yang berkonspirasi menguntungkan kepentingan pihak asing. Banyak kepentingan asing tidak menghendaki Indonesia tumbuh menjadi raksasa baru di bidang teknologi.
Dengan demikian, penulis bermaksud memberikan sedikit dorongan agar momentum percepatan kemandirian teknologi nasional tidak sampai hilang hanya karena kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan. Sehingga, selambat-lambatnya pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, minimal sebuah kapal perang jenis LHD telah selesai dibangun di dalam negeri. Sekadar sebuah masukan, jikalau selama ini LPD milik TNI AL diperlengkapi dengan wahana pendukung operasi amfibi berupa empat buah LCVP (Landing Craft Vehicle Personnel) dan dua buah LCU (Landing Craft Utility) tipe 24, maka pada kapal LHD dapat ditambahkan beberapa buah Landing Hovercraft Utility (LHU) produksi dalam negeri. Publik banyak yang tidak mengetahui bahwa PTDI dan Litbang TNI AD, masing-masing secara terpisah, pernah membuat purwarupa (prototype) Hovercraft kreasi anak bangsa. Bahkan, TNI AL pernah membeli beberapa buah produk jadi Hovercraft produksi sebuah perusahaan swasta dalam negeri.
Namun, sebagian publik ternyata mengetahui bahwa konon pada era sebelumnya keberadaan segelintir oknum pejabat tamak di jajaran kementerian strategis (semisal di Kementerian Riset dan Teknologi/BPPT, Perindustrian, Perhubungan, dan Pertahanan) diduga pernah menghambat dan mengkhianati pengembangan kemandirian teknologi nasional. Akibatnya, banyak purwarupa (prototype) karya anak bangsa tidak pernah berlanjut menjadi produk-produk jadi karena sering dipersulit untuk berkembang dan senantiasa terpinggirkan. Mudah-mudahan sejak era pemerintahan Kabinet Kerja dan seterusnya, seluruh pemangku kepentingan dan para penguasa lebih mementingkan keutamaan pengabdian agar mampu saling bersinergi dan tidak terulang kembali kebodohan-kebodohan masa silam. Ingatlah Indonesia berhak juga untuk tumbuh menjadi sebuah negara yang maju, damai, dan sejahtera.
Jayalah persada maritim Nusantara!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H