Mohon tunggu...
Shalsa Nabila
Shalsa Nabila Mohon Tunggu... -

Sedang belajar memegang pensil || shalball.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan

22 Oktober 2012   14:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil menyesap udara malam di pinggiran kota yang begitu sesak, sekarang akan kukenangkan pertemuan kita setahun silam. Masihkah kamu mengingatnya? Ah, sepertinya tidak. Tapi tidak apa-apa, karena bagaimanapun  juga aku akan terus mengenangnya bersama perasaan getir yang  selalu kubawa setiap kali mengenangmu.

Kita bertemu di desa kecil itu, di lereng gunung. Mungkin seperti juga aku, desa itu membuat perasaanmu menjadi begitu melankolis. Di sana, baru sekali itu aku merasakan hawa dingin yang teramat sangat. Dan baru sekali itu juga aku merasakan sebuah perasaan yang begitu ganjil kepada seorang laki-laki. Perasaan ganjil yang sampai sekarang pun tidak bisa aku pahami. Kamu tahu, aku masih bisa mengingat dengan jelas hawa dingin yang kurasakan kala itu—yang dibawa oleh angin gunung yang terus-terusan berhembus, kemudian sepatah atau dua patah kata darimu yang tiba-tiba itu langsung merembes masuk ke dalam diriku, membuat perasaanku menjadi hangat. Mungkin mirip kaus kaki yang kukenakan sebelum tidur—yang ukurannya kecil namun bisa menghangatkan tubuhku kala itu. Kurang lebih seperti itulah.

Mungkin bagimu, kenangan-kenangan singkat akan desa itu tidak begitu berarti. Kenangan akan desa yang memberikan kita hawa Subuh yang begitu dingin—yang membikin badanmu gemetar, desa yang memberikan kita lukisan matahari terbit dengan warna serupa tembaga yang terbakar di atas langit, desa yang merupakan tempatnya bintang  berserakan. Ya, mungkin bagimu kenangan-kenangan semacam itu tidak begitu berarti. Tapi mungkinkah ada sedikit ruang di memori otakmu untuk mengenangkan saat-saat kita melewati keheningan di atas gunung itu, gunung yang kita lewati dengan menembus kabut yang tidak bagitu tebal namun cukup untuk membuat pipimu dingin. Sebuah keheningan yang membuat segalanya menjadi begitu haru, seiring dengan bau belerang yang kamu hirup pelan-pelan.

Sambil mengirup udara malam yang tersisa, akan kukenangkan akhir perjalanan kita. Ketika kita harus pulang kembali ke Jakarta. Di atas bus itu, di antara warna-warni lampu jalanan dan deru bisingnya kota Jakarta, ada perasaan melankolis yang mendadak membuncah dalam diriku. Aku tidak ingin perjalanan ini segera berakhir. Tidakkah kau ingat? Tentang aku yang melihatmu, melihatmu dengan penuh kesedihan.Ah, sepertinya kau tidak ingat.

Aku menikmati perasaan getir saat mengenangmu ini, seperti aku menikmati udara dingin yang menusuk tulang di desa itu.

Di sepanjang hidupku, kamu akan selalu ku catat sebagai orang pertama yang benar-benar aku kagumi. Juga sebagai orang pertama yang membuatku menulis tulisan sepanjang ini, hanya untuk mengenangkan sebuah kegetiran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun