Mohon tunggu...
shally pristine
shally pristine Mohon Tunggu... profesional -

arsitek gadungan. mantan jurnalis pemula. penikmat hujan. | www.shallypristine.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Insiden Oksibil, Trigana Harus dievaluasi

17 Agustus 2015   08:20 Diperbarui: 17 Agustus 2015   08:38 2706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musibah hilangnya pesawat ATR 42 dengan nomor penerbangan IL-457 milik Trigana Air tujuan Oksibil, Papua Barat telah menambah daftar insiden keselamatan transportasi yang menjadi perhatian kita bersama.

Dalam berita yang dirilis Kompascom, disebutkan bahwa penerbangan Jayapura ke Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang telah hilang kontak sekitar pukul 15.00 WIT setelah lepas landas dari Bandara Sentani pada hari Minggu, 16 Agustus 2015. Hingga saat ini, upaya evakuasi terus dilakukan untuk memastikan kondisi terakhir pesawat yang membawa 54 penumpang dan kru itu.

Kecelakaan pesawat memang kejadian di luar kuasa manusia. Namun ada banyak hal yang bisa manusia lakukan untuk menekan kemungkinan terjadinya hal terburuk. Dalam kasus ini, saya ingin menggarisbawahi pentingnya Trigana Air memperbaiki layanan penerbangan agar sesuai standar keselamatan.

Saat kasus AirAsia QZ8501 mencuat beberapa waktu lalu, saya sempat diminta pendapat oleh wartawan sebuah surat kabar mengenai rencana pemerintah melakukan pengetatan pengawasan layanan low cost carrier (LCC). Saat itu saya bilang, pemerintah sebaiknya memperketat pengawasan bukan hanya untuk LCC namun juga bagi penerbangan semacam Trigana Air.

Pendapat tersebut berdasarkan pengalaman ketika saya menggunakan layanan maskapai segmen medium cost itu untuk perjalanan Ambon-Saumlaki di akhir Oktober 2014. Waktu itu, saya mendapatkan layanan yang sama sekali berbeda dengan yang biasa diberikan oleh maskapai lain, bahkan dibandingkan maskapai yang sering bermasalah delay seperti Lion Air.

Ketika itu, saya dalam perjalanan dinas dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta ke lokasi penempatan kami di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Setelah transit beberapa jam di Bandara Pattimura, Ambon saya membawa bukti pemesanan yang sudah dicetak sebelumnya ke check in counter Trigana di area keberangkatan. Wanita tidak berseragam yang berjaga di counter tampak kebingungan menerima bukti pemesanan saya, kemudian dia mengajak saya mengecek ke orang yang saya asumsikan adalah atasannya di ruangan tim Trigana, letaknya di salah satu bilik berkaca gelap seberang counter.

Setelah melihat bukti cetak, orang di ruangan tersebut mengiyakan bahwa saya memang benar penumpang penerbangan ke Saumlaki. Kemudian wanita tadi membawa saya kembali ke check in counter dan memberikan tiket jadi atas nama saya dalam tulisan tangan. Karena tidak ada keterangan nomor tempat duduk, saya bertanya kepada wanita tersebut. Jawabnya, "Nanti saja." Saya pun dipersilakan menuju di ruang tunggu.

[caption caption="Tiket Trigana untuk penerbangan saya ke Saumlaki. Ditulis tangan dan tanpa nomor tempat duduk."][/caption]

Ternyata keanehan tidak berhenti sampai di sana. Coba Anda perhatikan tahapan apa yang tidak saya lakukan dibandingkan proses check in pada umumnya? Ya, betul. Sepanjang proses check in, wanita tadi tidak meminta tanda pengenal sebagai alat validasi identitas penumpang. Karena agak kaget dengan seluruh proses yang tidak standar ini, saya pun lupa menanyakan hal itu dan baru sadar ketika sampai ruang tunggu.

Di ruang tunggu pun saya tidak berhenti kebingungan. Nama penerbangan yang digawangi Trigana tidak tertera di papan elektronik yang memuat kedatangan dan keberangkatan pesawat. Ketika lebih dari 1 jam belum ada kabar keberangkatan maupun delay, saya bertanya kepada petugas dan katanya akan berangkat sebentar lagi.

Sekitar 15 menit kemudian, wanita dari check in counter berjalan ke arah gerbang 1 keberangkatan. Dia membuka pintu yang mengarah ke landasan pacu lalu memanggil agak keras berkali-kali ke seantero ruang tunggu, "TRIGANA TUJUAN SAUMLAKI SILAKAN NAIK!" Lagi-lagi saya kaget. Baru kali ini saya naik pesawat yang model boarding-nya dengan dipanggil manual seperti itu.

Keheranan saya tidak berhenti sampai di situ, karena ketika saya bertanya sekali lagi soal letak kursi, wanita tersebut menjawab kalau prinsipnya siapa cepat dia dapat. Sungguh baru kali ini saya naik pesawat yang proses boarding-nya seriuh hari pertama sekolah karena ada proses pilih bangku favorit.

Selebihnya, kecuali kondisi pesawat yang kelihatan sudah uzur dan interior kabin yang sangat buluk, penerbangan Trigana Air ke Saumlaki berjalan hampir seperti yang lainnya. Masih ada pramugari yang bertugas memberikan peragaan keselamatan sebelum lepas landas. Masih ada kartu petunjuk keselamatan sesuai tipe pesawat di kantung kursi.

[caption caption="Kartu Petunjuk Keselamatan di penerbangan saya ke Saumlaki"]

[/caption]

Alhamdulillah cuaca pun bersahabat dan saya sampai di Saumlaki tanpa kurang suatu apapun. Namun saya langsung berpesan kepada bagian administrasi di kantor agar jangan memesankan tiket pulang dengan Trigana, pasalnya karena seluruh proses persiapan keberangkatan yang longgar telah membuat saya tidak tenang.

Pagi ini saya teringat lagi dengan pengalaman terbang dengan Trigana karena dalam berita yang beredar ada 3 nama atasan saya di Indonesia Mengajar yang disebut naik penerbangan ke Oksibil. Mereka tercatat di manifes dengan nomor 18, 19, dan 20. Padahal ketiganya batal berangkat karena tidak kebagian pesawat dari Jakarta ke Jayapura dalam jadwal yang direncanakan. Memang tim kami sempat pesan tiket untuk penerbangan tersebut, namun tidak pernah ikut lepas landas dari Sentani.

Anehnya, manifes berisi daftar nama penumpang yang "hilang" menyertakan nama ketiganya. Salah satu di antaranya mengatakan, dia menerima ratusan pesan WhatsApp, SMS, dan telepon yang menanyakan kabar juga memastikan keselamatan. Sayangnya, ralat dari pihak berwenang yang menglarifikasi daftar nama tersebut baru muncul setelah perwakilan tim kami bicara ke media.

Ketika mengingat kembali pengalaman saya ke Saumlaki, kecolongan data seperti di penerbangan Oksibil ini jadi mungkin saja terjadi. Lemahnya pengawasan mutu pelayanan saat penumpang check in untuk menyatakan dirinya akan naik pesawat tersebut jadi pangkalnya. Selain tidak ada validasi kartu identitas, pihak Trigana juga tidak mencocokan data dari bukti pemesanan yang saya bawa dengan data yang mereka pegang.

[caption caption="Pesawat ATR 42 yang saya naiki ke Saumlaki. Tipenya sama dengan yang hilang dalam perjalanan ke Oksibil."]

[/caption]

Belum lagi tidak ada aturan tempat duduk sehingga sulit memastikan posisi penumpang di pesawat. Bandingkan dengan kejadian kecelakaan AirAsia saat identifikasi korban yang ditemukan di tempat duduk bisa dikerucutkan berdasarkan data posisi tempat duduk saat check in. Dalam layanan Trigana, ada terlalu banyak celah yang bisa jadi pangkal kejadian buruk yang tidak kita inginkan bersama.

Barangkali Anda akan bilang, memang beginilah realita dunia transportasi kita, terutama yang di daerah timur. Namun bagaimanapun, saya pikir keselamatan adalah hak setiap Warga Negara Indonesia yang sudah membayar jasa transportasi, di manapun dia berada. Entah sedang naik pesawat besar, baling-baling, bahkan perintis yang konon setiap penumpang yang naik harus menimbang berat badan agar bisa mengatur posisi duduk dan keseimbangan pesawat.

Ada terlalu banyak pemakluman yang kita berikan untuk layanan seperti yang diberikan Trigana karena alasan maskapai ini melayani daerah Indonesia Timur yang fasilitasnya masih terbatas. Bukankah dulu para bapak bangsa memperjuangkan kemerdekaan agar seluruh bangsa Indonesia bisa sampai ke depan pintu gerbang kesejahteraan bangsa, tanpa terkecuali? Semoga ada terang bagi keluarga penumpang dan kru dalam insiden Oksibil ini.

Mari sama-sama jadikan kejadian Oksibil ini sebagai momentum evaluasi untuk memperbaiki kualitas layanan penerbangan dalam negeri. Sehingga semua orang di seluruh Nusantara bisa merasa dirinya bagian tak terpisahkan dari Tanah Air Indonesia karena kita sudah terhubung begitu eratnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun