Keheranan saya tidak berhenti sampai di situ, karena ketika saya bertanya sekali lagi soal letak kursi, wanita tersebut menjawab kalau prinsipnya siapa cepat dia dapat. Sungguh baru kali ini saya naik pesawat yang proses boarding-nya seriuh hari pertama sekolah karena ada proses pilih bangku favorit.
Selebihnya, kecuali kondisi pesawat yang kelihatan sudah uzur dan interior kabin yang sangat buluk, penerbangan Trigana Air ke Saumlaki berjalan hampir seperti yang lainnya. Masih ada pramugari yang bertugas memberikan peragaan keselamatan sebelum lepas landas. Masih ada kartu petunjuk keselamatan sesuai tipe pesawat di kantung kursi.
[caption caption="Kartu Petunjuk Keselamatan di penerbangan saya ke Saumlaki"]
Alhamdulillah cuaca pun bersahabat dan saya sampai di Saumlaki tanpa kurang suatu apapun. Namun saya langsung berpesan kepada bagian administrasi di kantor agar jangan memesankan tiket pulang dengan Trigana, pasalnya karena seluruh proses persiapan keberangkatan yang longgar telah membuat saya tidak tenang.
Pagi ini saya teringat lagi dengan pengalaman terbang dengan Trigana karena dalam berita yang beredar ada 3 nama atasan saya di Indonesia Mengajar yang disebut naik penerbangan ke Oksibil. Mereka tercatat di manifes dengan nomor 18, 19, dan 20. Padahal ketiganya batal berangkat karena tidak kebagian pesawat dari Jakarta ke Jayapura dalam jadwal yang direncanakan. Memang tim kami sempat pesan tiket untuk penerbangan tersebut, namun tidak pernah ikut lepas landas dari Sentani.
Anehnya, manifes berisi daftar nama penumpang yang "hilang" menyertakan nama ketiganya. Salah satu di antaranya mengatakan, dia menerima ratusan pesan WhatsApp, SMS, dan telepon yang menanyakan kabar juga memastikan keselamatan. Sayangnya, ralat dari pihak berwenang yang menglarifikasi daftar nama tersebut baru muncul setelah perwakilan tim kami bicara ke media.
Ketika mengingat kembali pengalaman saya ke Saumlaki, kecolongan data seperti di penerbangan Oksibil ini jadi mungkin saja terjadi. Lemahnya pengawasan mutu pelayanan saat penumpang check in untuk menyatakan dirinya akan naik pesawat tersebut jadi pangkalnya. Selain tidak ada validasi kartu identitas, pihak Trigana juga tidak mencocokan data dari bukti pemesanan yang saya bawa dengan data yang mereka pegang.
[caption caption="Pesawat ATR 42 yang saya naiki ke Saumlaki. Tipenya sama dengan yang hilang dalam perjalanan ke Oksibil."]
Belum lagi tidak ada aturan tempat duduk sehingga sulit memastikan posisi penumpang di pesawat. Bandingkan dengan kejadian kecelakaan AirAsia saat identifikasi korban yang ditemukan di tempat duduk bisa dikerucutkan berdasarkan data posisi tempat duduk saat check in. Dalam layanan Trigana, ada terlalu banyak celah yang bisa jadi pangkal kejadian buruk yang tidak kita inginkan bersama.
Barangkali Anda akan bilang, memang beginilah realita dunia transportasi kita, terutama yang di daerah timur. Namun bagaimanapun, saya pikir keselamatan adalah hak setiap Warga Negara Indonesia yang sudah membayar jasa transportasi, di manapun dia berada. Entah sedang naik pesawat besar, baling-baling, bahkan perintis yang konon setiap penumpang yang naik harus menimbang berat badan agar bisa mengatur posisi duduk dan keseimbangan pesawat.
Ada terlalu banyak pemakluman yang kita berikan untuk layanan seperti yang diberikan Trigana karena alasan maskapai ini melayani daerah Indonesia Timur yang fasilitasnya masih terbatas. Bukankah dulu para bapak bangsa memperjuangkan kemerdekaan agar seluruh bangsa Indonesia bisa sampai ke depan pintu gerbang kesejahteraan bangsa, tanpa terkecuali? Semoga ada terang bagi keluarga penumpang dan kru dalam insiden Oksibil ini.