Tidak usah dilanjutkan, toh juga ini hanyalah kisah yang aka berakhir sama dengan romantika Pujangga dan Siti. Tidak pantas berlama-lama dengan kesedihan. Pesannya telah sampai, bahwa Pujangga lebih meridukan Cahaya daripada Siti. Â Cahaya adalah satu dari sekian banyak manusia yang pernah melukis hari-harinya. Ia telah pergi dari hidup sang Pujangga, memilih kehidupan tanpa bayang-bayang Pujangga.
Lumalong adalah aku yang menulis kisah ini, tetapi aku bukan Pujangga dalam cerita ini. Meski Lumalong telah lama mati, setidaknya aku adalah aku, anak terbuang dari tanah datar di bantaran Sungai Mambie. Pesan cinta dalam kisah Pujangga, Siti dan Cahaya sesungguhnya hanyalah pemanis dalam cerita panjang ini.
Aku menulis tanpa henti, menakar Cahaya dan Siti untuk mereka pecinta yang malang. Malang karena gerombolan orang tabiat buruk, propagandanya berhasil mengantar perjalanan hidup ini.
Adalah mereka yang dengan mudahnya duduk manis di kursi damping Gubernur. Tanpa menoleh kebelakang, melihat tanah moyangku yang porak poranda. Manusianya berhamburan, berlari, menangis meninggalkan sawah ladangnya. Aku lelah dengan kepura-puraan ini, menulis sindiran lewat syair dan puisi. Kenapa kalau aku berterus terang? Menunjuk muka gerombolan penghianat itu? Jawabannya sukar di jelaskan, sebab itu adalah bangkai yang aromanya menembus langit tujuh tingkat. Selamat jalan Cahaya-ku. Jangan ragu dengan kehidupan ini, nestapamu telah aku selami beberapa waktu yang lalu. Oktober 2012, kita sepakat menjalin rasa. Tetapi tak berselang lama dia hadir menjemputku, menyadarkan aku bahwa kau adalah milik orang lain. Terimaksih dalam buku ini kutuliskan, semoga kelak senyummu warnai setiap halaman catatan ini. Jangan bertanya mengapa kisah mu kutulis, cukup tanya kenapa dirimu memikatku waktu itu. Dan maaf sekai lagi, tak bisa kujelaskan lebih jauh tentang hubungan kita. Aku menyadari ada hati yang harus aku jaga, dan begitupun adanya dirimu. Aku telah jadi saksi dalam janji suci kalian berdua. Aku melihat tatapan cinta yang hakiki dari lelaki yang bersamamu saat ini. Begitu juga perempuan yang menemaniku menyusuri lorong waktu kehidupan. Dia segalanya untukku. Kelak, suatu waktu kita semua akan berkumpul di tanah leluhur, bercengkrama ria dengan suasana yang berbeda. Semua di balut rasa kekeluargaan. Mungkin anak-anak kita akan bermain bersama di halaman Kakek dan Neneknya. Atau sekedar mengadu pusara Pahlawan: yang telah mengantar kelahiranku. Ialah ibu kandungmu. Salam, aku pamit yah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H