Kajian Kasus Fintech Syariah Ilegal :Dari Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dalam dunia Hukum Ekonomi Syariah saat ini adalah maraknya fintech syariah ilegal yang beroperasi tanpa mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meskipun fintech berbasis syariah diharapkan mampu menyediakan layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, kemunculan fintech ilegal malah membawa dampak negatif bagi konsumen. Banyak masyarakat yang terjebak dalam transaksi yang tidak jelas, yang pada akhirnya merugikan baik secara finansial maupun moral. Artikel ini akan menguraikan masalah fintech syariah ilegal dari berbagai perspektif, mulai dari kaidah hukum, norma hukum, aturan hukum, hingga analisis dari sudut pandang positivisme hukum dan sociological jurisprudence.
1. Kaidah Hukum yang Berlaku dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal
Dalam Hukum Ekonomi Syariah, terdapat sejumlah kaidah yang relevan dengan masalah fintech syariah ilegal. Salah satu kaidah yang penting adalah maslahah, yang menekankan pentingnya setiap transaksi dalam keuangan syariah membawa manfaat dan menghindarkan kerugian bagi masyarakat. Fintech ilegal seringkali bertentangan dengan kaidah ini karena operasionalnya yang tidak diatur dapat merugikan konsumen. Selain itu, kaidah al-gharar, yang melarang adanya ketidakpastian berlebih dalam transaksi, juga sangat relevan karena banyak fintech ilegal yang beroperasi tanpa transparansi. Kaidah lain seperti dharar dan la dharar wa la dhirar yang menekankan untuk menghindari bahaya dan kerugian timbal balik juga penting dalam menilai praktik fintech syariah ilegal.
2. Norma Hukum dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal
Norma hukum yang berkaitan dengan fintech syariah ilegal menekankan pentingnya perlindungan konsumen. Norma perlindungan konsumen mengharuskan bahwa setiap layanan keuangan harus dilakukan secara transparan, adil, dan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat. Dalam praktiknya, fintech ilegal sering melanggar norma ini karena ketidakjelasan operasional yang mengabaikan prinsip keuangan syariah. Norma keadilan dan akuntabilitas juga menjadi landasan penting yang mengharuskan setiap penyedia layanan keuangan bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik secara hukum maupun sesuai dengan prinsip syariah.
3. Aturan Hukum dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal
Terdapat sejumlah aturan hukum yang mengatur fintech syariah di Indonesia. Salah satu regulasi utama adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 yang mengatur layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, yang mewajibkan perusahaan fintech untuk memiliki izin resmi. Fintech syariah ilegal yang beroperasi tanpa izin jelas melanggar aturan ini. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menjadi dasar hukum untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat praktik keuangan yang tidak bertanggung jawab. Fatwa DSN-MUI terkait produk keuangan syariah juga harus diikuti oleh semua fintech syariah untuk memastikan mereka mematuhi prinsip-prinsip syariah seperti menghindari riba, gharar, dan maysir.
4. Perspektif Positivisme Hukum terhadap Fintech Syariah Ilegal
Dari sudut pandang positivisme hukum, fintech syariah ilegal merupakan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Aliran ini menekankan bahwa hukum yang tertulis harus ditegakkan tanpa pengecualian. Oleh karena itu, fintech yang beroperasi tanpa izin dari OJK atau melanggar aturan syariah harus dikenai sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Positivisme hukum melihat pentingnya aspek legalitas dan menilai bahwa hukum harus dipatuhi tanpa memandang aspek sosial atau moral di luar aturan yang ada.