Setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka negara ini baru dipimpin oleh 7 orang Presiden dengan masa tersingkat oleh Presiden Habibie 1 tahun 5 bulan dan terlama oleh Presiden Suharto 30 tahun 2 bulan.
Ketika awal Indonesia baru berdiri, kekuasaan Presiden begitu besar karena aturan dan perundangan yang ada belum banyak. Semua banyak tergantung kepada persetujuan atau perindah presiden.
Seiring dengan usia negara, makin banyak aturan yang diundangkan dan kekuasaan pemerintah semakin terbatas karena harus mentaati semua perundangan yang ada. Bahkan sebuah RUU yg sudah disahkan DPR menjadi UU tak perlu menunggu tandatangan presiden untuk dapat berlaku.
Jika RUU yg sudah disahkan DPR tapi tidak di tandatangani oleh presiden otomatis akan berlaku 30 hari setelah disahkan oleh DPR. Sekiranya DPR membuat RUU yang mengatur bahwa Presiden tugasnya hanyalah membuka dan menutup pagar istana dan tak ada yg melakukan uji material UU tersebut ke MA maka tak ada jalan lain bagi presiden kecuali hanya jadi petugas buka tutup pagar istana. Presiden yg melanggar UU dapat di impeach oleh DPR.
Perubahan peta kekuasaan terbesar di negeri ini adalah disaat melakukan amandemen konstitusi UUD 1945. Pra amandemen kekuasaan presiden begitu besar karena presiden bisa dipilih kembali secara tak terbatas, gubernur dan bupati semua diangkat oleh presiden, komposisi parlemen ditentukan oleh presiden dengan memasukkan anggota parlemen hasil penunjukan dibanding yg dipilih oleh rakyat.
Paska amandemen, gubernur dan bupati dipilih langsung oleh rakyat. Presiden yg dulunya dipilih oleh MPR sekarang dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai legitimasi yg sama dengan para wakil rakyat, bahkan punya legitimasi lebih tinggi karena wakil rakyat masih bisa ditarik dari parlemen oleh fraksi sedangkan presiden hanya bisa djjjatuhkan lewat proses impeachment.
Selain itu kekuasaan juga tersebar ke banyak stakeholder. UU yang disahkan DPR bisa digugat oleh personal/kelompok/organisasi untuk dibatalkan lewat uji materil ke MK. Kepolisian yang dulunya bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sekarang berdiri sendiri dibawah Presiden dan tak lagi dibawah panglima TNI.
Sekarang banyak lembaga dan institusi baru yg belum ada pra amandemen konstitusi seperti Ombudsman, Mahkamah konstitusi, KPK, dan lain-lain.
Para sarjana ilmu politik akan beragam pendapatnya jika diminta mengevaluasi hasil amandemen konstitusi yang sudah akan berumur 20 tahun apakah amandemen konstitusi 3 kali itu membuat Indonesia lebih baik atau tidak.
Maksud tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran bahwa pangkal masalah bangsa ini bukan hanya sekedar figur kepemimpinan nasional tapi juga sistem politik itu sendiri yang membuka peluang manipulasi sistem politik untuk kepentingan pihak tertentu.
Pergantian pemimpin nasional tahun 2019 bisa membawa harapan baru, tapi bisa juga berujung kekecewaan jika masalah sistem politik tak dibenahi yang bisa menghasilkan pemerintahan yang bersih dan bekerja bagi semua rakyat.
Sistem demokrasi yang ada sekarang ini adalah sistem yg mudah dimanipulasi untuk kepentingan pemodal dan bahkan oleh negara asing dengan melihat kondisi sosial, tingkat pendidikan, dan ekonomi rakyat Indonesia.
Sistem politik sekarang ini pada hakekatnya hanya menjadikan rakyat Indonesia kuda tunggangan bagi para pengurus dan ketua partai dan kemudian untuk dibuang jika pemilu telah selesai dan mandat telah diterima.
Jika semua tak masuk dalam sekali genggaman maka baiklah targetkan dulu perubahan kepemimpinan nasional dan kemudian berpikir untuk memperbaiki sistem politik yang ada agar dihasilkan produk demokrasi terbaik menghasilkan pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H