Lembaga legislatif DPR adalah lembaga tinggi negara yang merupakan salah satu pilar Negara Republik Indonesia. Tugas utama dari DPR adalah menyusun Undang-Undang, mengesahkan APBN,   dan melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Tugas dan wewenang DPR bisa dilihat pada tautan ini (http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tugas-dan-wewenang).
Setelah tahun 1967 dan sebelum Era Reformasi tahun 1998, DPR adalah tukang stempel dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Suharto. DPR nyaris tidak mempunyai insiatif apa-apa dan bekerja sebagai subordinat eksekutif. Reformasi tahun 1998 memberdayakan DPR dan memberikan banyak kekuasaan dan wewenang baru yang belum pernah diperoleh sebelumnya.
Sayangnya amanah reformasi yang memberdayakan DPR malah digunakan DPR untuk mencari keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya yang antara lain sebagai berikut :
1. Anggota DPR turut mengatur kebijakan eksekutif.
DPR adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah melaksanakan berbagai program pembangungan dengan mengacu kepada berbagai Undang-undang yang ada. DPR hanya bisa mengawasi tanpa perlu mengintervensi untuk memastikan apakah pemerintah menjalankan programnya dengan benar sesuai perundangan yang ada. Intervensi hanya bisa dilakukan jika Pemerintah melanggar undang-undang yaitu dengan menghentikan program tersebut dan bukan mengarahkannya.
Dalam praktek seringkali terdengar bagaimana para anggota dewan bergerilya di pemerintahan baik di berbagai badan pemerintah atau kementerian untuk turut mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Para wakil rakyat bertemu secara personal dengan pejabat di birokrat untuk membicarakan berbagai program. Program yang amat rawan intervensi adalah program bantuan baik bantuan sosial, bantuan kesehatan, bantuan keagamaan, bantuan sekolah, dan bantuan pendidikan.
Anggota dewan datang ke kementerian dengan membawa setumpuk proposal bantuan. Proposal ini bisa mewakili berbagai lembaga fiktif, rumah sakit fiktif, ataupun sekolah yang fiktif tapi dengan rekening bantuan yang asli. Kementerian terkait seharusnya sudah menyusun kriteria jelas bagi penerima bantun dan kemudian mengumumkan program bantuan kepada masyarakat. Biarkan masyrakat yang mengajukan proposal dan kementerian yang melakukan seleksi peringkat prioritas untuk menentukan penerima bantuan dari alokasi dana yang tak pernah cukup.
Jika tidak datang langsung ke berbagai kementerian maka para anggota dewan sering mengirimkan staf ahlinya yang lebih mirip asistennya dibandingkan dengan seorang expert. Staf ahli dikirim untuk menemui pejabat di birokrasi dan sang anggota dewan cukup menelepon pejabat tersebut untuk menginformasikan utusan yang dikirim untuk membawa titipannya.
2. Anggota DPR turut menentukan pos anggaran di APBN
Korupsi Al-Quran di Kementerian Agama adalah contoh kasus pelanggaran seperti ini. Dalam kasus Korupsi Al-Quran DPR bahkan melipatgandakan anggaran yang disetujui dibandingkan dengan anggaran yang diajukan oleh kementerian agama  karena Zulkarnaen Djabar berkepentingan untuk mendapatkan proyek yang lebih besar. Ini dilakukan karena pelaksana proyeknya adalah anak kandung dari anggota dewan tersebut.
Banyak pihak di berbagai kementerian yang terkaget-kaget karena usulan APBN yang diajukannya dikembalikan DPR dengan banyak tambahan baru yang tak pernah diusulkan oleh pemerintah atau kementerian terkait. Hal ini membuat birokrasi kelabakan karena program tambahan seperti ini adalah program titipan dan sudah jelas kemana proyek harus diarahkan dan dimenangkan.
3. Anggota DPR menjadi kaki tangan pengusaha dan industrialis
Hilangnya pasal Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009 adalah salah satu contoh dimana anggota dewan menjadi kaki tangan pengusaha dalam hal ini mewakili kepentingan pengusaha rokok. Tindakan ini meskipun dianggap ketidak sengajaan oleh badan kehormatan DPR Â tapi sangat bernuansa konspirasi karena pengusaha dan industrialis rokok amat berkepentingan dengan hilangnya pasal ini.
Banyak produk hukum lain di negara ini yang jika dicermati membawa kepentingan segelintir pihak tertentu yang melakukan lobby panjang dan agar kepentingannya tidak terusik dan kalau bisa produk hukumnya mendukung secara penuh dan tidak bertabrakan dengan usaha yang digelutinya. Banyak produk hukum yang lebih berpihak kepada segelintir orang terutama pengusana dan industrialis dan bukan berpihak kepada rakyat banyak.
4. Anggota DPR sering mempunyai tabrakan kepentingan pribadi dan ruang lingkup kerjanya.
Dalam kasus korupsi SKK Migas terungakap bahwa Sutan Bathoegana ternyata adalah komisaris dari PT Timas Suplindo. Harap diingat bahwa Sutan Bathoegana adalah ketua Komisi VII yang menjadi partner kerja Kementerian ESDM. Ini tentu saja menjadi tabrakan kepentingan antara tugasnya sebagai anggota Dewan apalagi di komisi VII dengan jabatan lainnya selaku komisaris PT Timas. Bahkan dalam kasus korupsi SKK Migas terlihat bagaimana Sutan Bathoegana memonitor proses tender dan menjadi pemenang karena memberikan penawaran harga yang paling rendah. Meskipun demikian hal ini adalah pelanggaran etik karena dia bisa mempengaruhi SKK Migas untuk membuat kriteria tender yang hanya akan bisa dipenuhi oleh PT Timas Suplindo.
Kesimpulan
Anggota Dewan dan para dayangnya seharusnya dilarang secara pribadi untuk menemui pejabat di birokrasi. Pertemuan bisa dilakukan dalam suatu acara dengar pendapat langsung di DPR dimana semua hal dan masalah terkait pengawasan bisa diungkapkan dan disaksikan oleh semua pihak dan dibuatkan rekaman dan catatan untuk disebarkan ke semua peserta rapat. Anggota dewan bisa berkunjung ke kementerian tertentu setelah mengantongi surat tugas dan izin dari pimpinan Dewan dan tidak berkunjung sendiri yang sangat berpotensi digunakan untuk memeras eksekutif.
Pengawasan para anggota DPR oleh Badan Kehormatan nyaris tidak berfungsi dan merupakan pengawasan setengah hati. Seringnya anggota DPR bolos dan mangkir tidak muncul disidang tapi tidak pernah ditindak. Banyak anggota yang hanya hadir 5-10% dari semua sidang yang harus dihadiri tapi gaji dan tunjangan tetap diterima 100%. Seharusnya gaji dan tunjangan yang diterima harus proporsional dengan kehadiran disidang. Bahkan anggota dewan seringkali melakukan penipuan dengan menandatangani daftar hadir dan kemudian menghilang entah kemana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H