Mohon tunggu...
Patriot Negara
Patriot Negara Mohon Tunggu... Lainnya - warga Indonesia

Warga dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agar Dunia Usaha Tidak Terganjal Label Halal

28 Februari 2014   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agama Islam dan Yahudi mempunyai aturan yang khusus menyangkut makanan dan produk yang di konsumsi. Agama Islam mengenal produk halal yang boleh dimakan dan produk haram yang tak boleh dimakan atau digunakan.  Sedangkan agama Yahudi mengenal makanan kosher dan makanan treif. Dalam agama Islam prinsipnya semua makanan halal kecuali yang ada dalam daftar haram yang tercantum dalam Al-Quran dalam Surah Al-Baqarah 2:173 dan Al-Maidah 5:3 dan dalil lainnya, sedangkan dalam agama Yahudi yang ada justru daftar makanan kosher dan selain itu adalah makanan treif seperti yang tercantum dalam Leviticus 11:1-47 and Deuteronomy 14: 3-20.

Terlepas dari perdebatan menyangkut siapa yang berwenang untuk memberikan sertifikasi halal yang masih dalam pembahasan RUU Makanan Halal, maka implementasi sertifikasi halal bisa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut.

1. Sertifikasi halal adalah proses yang baru akan disusun belakangan di republik ini dan tertinggal dibanding negara tetangga. Artinya titik nolnya adalah tidak ada makanan dan produk yang mempunyai label halal dan secara bertahap produsen  dan penyedia makanan mengikuti ujian sertifikasi makanan halal. Jika lulus maka berhak menggunakan label halal sedangkan yang tidak lulus harus memperbaiki proses atau mengganti bahan bakunya dengan bahan baku yang halal.

2. Jika produsen dan penyedia makanan dan produk yang sudah disertifikasi  mencapai 30% maka prinsip dibalik. Semua makanan adalah halal kecuali yang ditempel dengan label non halal.  Dengan prinsip ini maka produsen yang mengeluarkan produk baru bisa segera menjual produknya dengan ditempel label non halal. Jika tidak menggunakan label non halalmaka berarti produknya adalah produk halal.  Restoranyang baru dibuka juga bisa langsung beroperasi tapi dengan memasang tanda makanan non halal. Kondisi ini mungkin bisa terjadi setelah 5-10 tahun implementasi RUU Makanan Halal.

Dengan metode ini maka dunia usaha tidak akan terhambat label halal. Konsumen muslim juga tidak perlu mencari letak piagam sertifikasi dipajang direstoran karena Label Non Halal bisa dibuat sendiri oleh penyedia jasa untuk ditempatkan di beberapa tempat di restorannya tanpa perlu pengujian apa-apa yang penting mengikuti petunjuk pembuatan label dan papan informasi adanya produk non halal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun