KONDISI politik nasional dalam kondisi kurang stabil pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 60/PUU-XXII/2024. Akibat putusan MK tersebut, muncul perlawanan dari elit politik khsususnya dari DPR RI yang menerima setengah hati atas amar putusan yang telah ditetapkan 20 Agustus 2024 lalu. Efek domino lainnya, selain membuat KPU RI dan jajarannya menjadi serba salah mengambil keputusan (revisi PKPU pencalonan), juga menjadi cikal bakal ancaman penundaan Pilkada Serentak 2024 khususnya pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, 27-29 Agustus 2024 di masing-masing daerah secara serentak.
Perlawanan yang dilakukan mayoritas fraksi-fraksi di DPR RI untuk merevisi RUU Pilkada secepat kilat yang hanya mengakomodir sebagian putusan MK Nomor 60 tersebut mendapat perlawanan keras dari berbagai elemen masyarakat yang pro demokrasi (pro putusan MK Nomor 60) yang digelar diberbagai daerah di Indonesia.
"Kondisi politik Nasional yang terjadi saat ini sangat berpengaruh dampaknya di Daerah, membuat para bapaslon merasa was-was baik yang telah mendapat rekomendasi dukungan partai politik atau yang belum menerima, apalagi pembukaan pendaftaran tinggal menghitung hari yang akan dimulai 27 Agustus 2024," kata Muhammad Aris, SH, Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari, Jambi. Lembaga JaDi Kabupaten Batang Hari adalah lembaga resmi Pemantau Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batang Hari 2024 yang telah menerima sertifikasi akreditasi dari KPU Kabupaten Batang Hari.
Akibat kondisi politik Nasional tersebut, ungkap Aris, KPU RI yang punya kewenangan untuk menyusun dan merevisi Peraturan KPU khususnya berkaitan dengan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tentunya akan menghadapi dua tembok yang sama kuatnya, yakni; tembok pembuat UU (DPR RI dan Pemerintah) dengan putusan MK yang final dan mengikat. Persoalan dilematis akan dihadapi KPU RI, pada saat KPU RI akan merevisi Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota untuk mengakomodir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentunya akan dikonsultasikan ke DPR RI sebelum ditetapkan. "Kalau KPU RI dalam revisi PKPU Nomor 8 Tahun 2024 akan mengakomodir bulat-bulat putusan MK Nomor 60 tersebut, tentunya DPR RI akan menolaknya, yang akhirnya penyelenggara berada dipersimpangan jalan, apakah mau menerima putusan MK atau menerima hasil konsultasi dengan DPR RI," jelas Aris yang juga berprofesi Advokat ini.
Buah Simalakama.
Menurut Aris, meski dalam UU Pemilu dan UU Pilkada telah memberikan wewenang kepada KPU RI untuk penyusunan peraturan teknis melalui peraturan KPU terkait pedoman penyelenggaraan tahapan Pemilu dan Pilkada. Namun dalam ketentuan Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016, tegas bahwa salahsatu tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis lainnya untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. "Ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada itulah yang bisa membuat KPU RI menjadi terhambat untuk bisa mengakomodir seluruh amar putusan MK Nomor 60 tersebut, dan terkendala mempercepat revisi PKPU pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah," kata Aris.
Melihat kondisi seperti ini, kata Aris yang juga Komisioner KPU Kabupaten Batang Hari 2008-2013, membuat para pimpinan dan anggota KPU RI diposisi terjepit, jika mengakomodir bulat-bulat putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dalam revisi PKPU pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah,  maka pihak yang kontra dengan putusan MK tersebut akan mempermasalahkan  PKPU tersebut, dan pasti akan berujung pelaporan ke penegak hukum dan DKPP. Begitupun sebaliknya, KPU RI mengakomodir keinginan DPR RI yang hanya mengakomodir sebagian dari amar putusan MK tersebut, maka elemen masyarakat yang pro putusan MK 60 tersebut juga akan melakukan tindakan hukum yang sama. "Kondisi ini, membuat posisi KPU RI sebagai lembaga yang diberi wewenang menyusun, merevisi dan menetapkan Peraturan KPU, betul-betul berada diposisi dalam istilah buah simalakama," ungkap Aris. Â
Syarat Ajukan RUU.
Kenapa DPR RI bisa secepat kilat melakukan perubahan RUU Pilkada. Jika kita berkaca pada ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, lanjut Aris, bahwa dalam penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dimuat dalam daftar komulatif terbuka yang terdiri dari; pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah Konstitusi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), pembentukan/pemekaran/penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, Penetapan/Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kemudian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Pemerintah dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) diluar prolegnas mencakup; untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam, dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum. "Saya menilai, tidak ada urgensi nasional atau keadaan luar biasa yang dialami masyarakat akibat putusan MK tersebut, yang kontra hanya para elit-elit politik yang berada di Pusat yang punya kepentingan langsung di Pilkada Serentak 2024," ungkap Aris.
Ancaman Penundaan.
Tarik ulur kepentingan antara pro dan kontra atas Putusan MK RI Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuat masyarakat was-was, karena penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 dalam ancaman penundaan, khususnya pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang akan dilakukan serentak di 545 daerah di seluruh Indonesia. "Kalau tidak ada titik temu penyelesaian pasca putusan MK tersebut, maka akan berdampak pada revisi PKPU yang tidak akan tuntas menjelang atau pada saat pembukaan pendaftaran pada 27-29 Agustus 2024, karena tidak ada pijakan hukum yang bisa menjadi pedoman bagi penyelenggara di Daerah (KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota) untuk menerima berkas administrasi bapaslon, apakah berdasarkan penghitungan persentasi minimal alokasi kursi atau persentase perolehan suara sah berdasarkan jumlah penduduk dalam DPT," kata Aris.
Final and binding.
Mungkin masyarakat umum sering mendengar atau membaca istilah final and binding tapi tidak paham maknanya. Untuk menjawab itu, bisa kita melihat ketentuan penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
"Mengacu pada ketentuan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 tahun 2011 yang putusan MK adalah final and binding, maka semua pihak harus menghormati putusan MK itu termasuk DPR RI dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang," kata Aris. (*)
(*Penulis adalah Muhammad Aris, SH/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari, Jambi/Komisioner KPU Kabupaten Batang Hari 2008-2013/Advokat yang berdomisili di Kabupaten Batang Hari, Jambi).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI